Jakarta, 6 Oktober 2025 — Ilmu hukum dan sains kerap berjalan di jalur yang berbeda: hukum berbicara tentang norma dan keadilan, sedangkan sains berurusan dengan fakta dan data. Namun dalam konteks perkara lingkungan hidup, keduanya harus saling melengkapi. Hal inilah yang ditekankan oleh Dr. Antonius Widyarsono dalam paparannya berjudul “Ontologi dan Epistemologi Hukum dan Sains” pada sesi awal Diklat Hakim Lingkungan Lanjut yang diselenggarakan oleh Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan Peradilan Mahkamah Agung RI (BSDK MA) bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan RI dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Mercure Harmoni Jakarta, 6-9 Oktober 2025.
Menurut Dr. Antonius, memahami ontologi berarti memahami hakikat dari “apa yang ada” dalam suatu bidang ilmu, sementara epistemologi membahas bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan divalidasi. “Sains menjelaskan dunia nyata berdasarkan fakta yang bisa diukur, sedangkan hukum menjelaskan dunia norma yang berlandaskan keadilan dan kewajiban,” jelasnya. Dengan demikian, seorang hakim lingkungan tidak cukup hanya memahami aspek normatif hukum, tetapi juga perlu mengerti realitas ekologis yang dijelaskan oleh sains.
Dalam konteks perkara lingkungan, Dr. Antonius mencontohkan perbedaan pendekatan hukum dan sains dalam melihat kerusakan hutan. “Bagi hukum, hutan adalah objek hukum dengan status dan perlindungan tertentu. Bagi sains, hutan adalah ekosistem biologis yang kompleks. Dua perspektif ini harus dipertemukan agar putusan hakim tidak hanya benar secara hukum, tetapi juga bermanfaat secara ekologis,” ujarnya.
Beliau juga menyoroti bahwa epistemologi hukum bertumpu pada penafsiran norma, asas, dan doktrin, sementara epistemologi sains berlandaskan pada observasi, eksperimen, serta data empiris. “Perkara lingkungan sering kali menuntut hakim untuk menilai bukti ilmiah yang tidak selalu pasti. Di sinilah pentingnya kemampuan epistemologis seorang hakim — untuk menimbang antara keyakinan hukum dan kebenaran ilmiah,” tambahnya.
Dalam sesi yang diikuti oleh puluhan hakim dari berbagai daerah ini, Dr. Antonius menekankan bahwa sinergi antara hukum dan sains bukan hanya ideal akademik, melainkan kebutuhan nyata dalam penegakan hukum lingkungan modern. Ia mengingatkan, tanpa pemahaman ilmiah, hukum bisa kehilangan pijakan faktual; sebaliknya, tanpa nilai hukum, sains kehilangan arah etis dan tanggung jawab sosial. Pria yang dikenal sebagai akademisi dan rohaniwan ini juga mengingatkan bahwa hakim lingkungan perlu memiliki mindset interdisipliner — memadukan rasionalitas ilmiah dengan sensitivitas moral. “Kita tidak sedang mengadili pohon atau tanah semata, tetapi kehidupan manusia dan makhluk lain yang bergantung padanya,” tutupnya. (IM)


