Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

October 11, 2025

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 2025

Refleksi Kritis: Mengembalikan Marwah Widyaiswara dalam Ekosistem Pendidikan dan Pelatihan

October 10, 2025
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Home » Dekonstruksi Putusan Hakim : Perjuangan Hakim Keluar Dari Labirin Positivisme Hukum
Features

Dekonstruksi Putusan Hakim : Perjuangan Hakim Keluar Dari Labirin Positivisme Hukum

Syamsul Arief --- Kepala Badan Strajak Diklat Kumdil MA
September 29, 202515 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp
Post Views: 104

Seandainya John Austin jadi Presiden Konoha dan membuat aturan ngopi dilarang, siapapun yang melanggarnya akan dijatuhi pidana penjara maka niscaya kita semua para penikmat kopi akan berada di Bui. John Austin (1790 –1859) Filsuf dan ahli teori hukum Inggris itu bisa saja berdalih bahwa ngopi itu merusak kesehatan karena kandungan kafein di dalamnya bisa mengakibatkan asam lambung naik. Penderita asam lambung naik yang disebut Gerd bisa menjadi tidak produktif, memenuhi rumah sakit dan membebani anggaran kesehatan negara. Lagi pula Austin sedari awal curiga para penikmat kopi itu saban hari memenuhi warkop dan cafe cekikikan tidak mengenal waktu. Bergosip politik, mengkritik destruktif, provokatif dan ujung-ujungnya subversif, menyerang kekuasaan presiden. Begitu seandainya. Tapi John Austin tidak mungkin jadi Presiden negara manapun. Beliau sudah meninggal 166 tahun lalu. Jadi tenang gaes kita masih bisa tetap ngopi.

Hukum dalam pasal peraturan perundangan bisa dibuat semau pembuat peraturan UU. Dibuat semaunya oleh manusia yang berkuasa karena memang peraturan perundangan adalah produk kekuasaan manusia. Rumus siapa yang berkuasa dia yang membuat aturan adalah fakta politik hukum sejak masa lampau. Tapi idealnya aturan itu dibuat bukan tentang apa untuk siapa, tapi juga penting untuk tujuan kemuliaan apa. Sehingga tidak lagi banyak aturan hukum dibuat tapi tidak mengandung kebijaksanaan. Sebaik apapun aturan hukum dibuat [apalagi tidak baik] ia bergantung pada pelaksananya. Salah satu pelaksananya adalah hakim.

Hakim harus mengikuti perkembangan aturan hukum dan memahami aturan hukum dibuat merujuk pada konteks kebutuhan sosial zamannya. Itu sebabnya hukum yang dibuat manusia pasti mengandung kelemahan maka perlu ada tafsir selalu ada kebaharuan.

Saya akan mengurai diskripsi tentang kontradiksi klasik hakim di pengadilan yang gagal menemukan keadilan dibunyi peraturan perundangan tapi hakim enggan untuk menggali nilai keadilan. Meskipun hakim itu sadar jika peraturan perundangan yang tersedia sebenarnya tidak bisa dijadikan sandaran dalam memutus perkara yang diperiksanya karena tidak masuk rasa dan masuk akal untuk menghasilkan keadilan. Tapi sayangnya meskipun menyadarinya masih ada Hakim yang memilih hukum tidak adil yang tertulis dan berlaku itu adalah hukum yang paling aman baginya untuk diterapkan.

Hukum tertulis dipahami sebagian hakim sebagai dogma yang mengancam [padahal tujuannya melindungi]. Mengancam pihak yang diadilinya dan mengancam diri hakim itu sendiri. Hukum itu berlaku bukan hanya bagi pelaku kriminal tapi juga berlaku bagi hakim yang melanggar hukum yang tertulis. Konon kabarnya konsekwensi bagi hakim Indonesia yang melanggar hukum tertulis mendapat sanksi disiplin unprofesional conduct dari Badan Pengawasan MA. Ada beberapa hukuman disiplin Bawas kepada hakim yang memutus perkara tidak sesuai dengan ketentuan hukum tertulis yang berlaku dijatuhi hukuman disiplin unprofesional conduct. Tapi ada juga hakim yang memutus perkara melanggar ketentuan tertulis tidak dijatuhi sanksi disiplin yang sama.

Mahasiswa hukum semester awal dalam kuliah Pengantar Ilmu Hukum diajari fiksi hukum presumptio iures de iure. Semua orang dianggap tahu hukum. Ketika suatu peraturan perundangan telah diundangkan dan dipublikasikan maka setiap orang dianggap telah mengetahui hukum tersebut. Begitulah tegasnya pemberlakuan hukum. Sebagian hakim memahami fiksi hukum itu dengan menghubungkan pada kepatuhan pada hukum tertulis itu sebagai hukum yang absolut. Jika hukum tertulis sudah diundangkan maka terapkanlah demikian tak perlu analogi tak guna tafsir. Mungkin hakim itu lupa bahwa etimologi kata “hakim” yang berasal dari bahasa arab itu artinya bukan “hukum tertulis” tapi berakar dari kata “hikmah,” “hikam”, “hakim” yang berarti “kebijaksanaan”.

Dialektika Positivisme Hukum

Dalam bahasa Latin, “positivus” berasal dari kata “positus” yang memiliki arti ” to posit” yakni meletakan, menempatkan dan menetapkan. Jadi ini bukan istilah positif lawan kata negatif. Istilah ini dipakai untuk maksud makna “sesuai dengan pengalaman” atau “dapat diuji”. Kata ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang didasarkan pada fakta dan pengalaman yang dapat diamati, atau sesuatu yang benar dan nyata. Positif diadopsi dalam bahasa Prancis untuk merujuk pada pengetahuan yang “dipaksakan pada pikiran melalui pengalaman”. Pada akhirnya secara semantik kata “positivus” ini berarti hanya berurusan dengan fakta yang pasti dapat dialami dan dibuktikan, bukan hal-hal yang hanya berdasarkan angan-angan atau spekulasi.

Dalam pandangan John Austin manusia adalah pembuat hukum dan bukan Tuhan yang membuatnya. Hukum yang dibuat manusia itu bersumber dari fakta dan pengalaman sosial manusia bukan dari angan-angan kepala manusia serta bukan pula dari dogma agama yang diklaim sebagai nilai yang berasal dari kekuatan metafisik. Konten hukum itu hanya datang dari fakta dan pengalaman yang ada dan bukan pada norma yang seharusnya. misalnya hukum orang yang mengambil barang orang lain tanpa ijin itu merugikan maka ganjarannya pelaku diancam sanksi. Jika perkosaan itu adalah persetubuhan coitus yang memaksa dan mengancam maka persetubuhan diluar coitus adalah cabul, memiliki konsekwensi sanksi berbeda. Jika menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau tidak sengaja itu disepakati sebagai perbuatan yang dicela sebagai pembunuhan atau karena lalai menyebabkan mati maka pelakunya dihukum mati atau sekedar dijebloskan di penjara. Norma hukum itu kemudian dibuat tertulis dan ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat sebagai hukum dan UU guna mengatur sekaligus memaksakan tatanan hidup sosial agar tertib. Soal bahwa sanksi pidana mati itu dirasa tidak adil di suatu zaman. Soal coitus dan bukan coitus seharusnya sama saja hukumnya karena keduanya tindakan penghinaan terhadap martabat tubuh. Sepanjang norma itu tidak ditulis maka dia bukan hukum yang ada yang perlu dipatuhi. Segala norma tidak tertulis bukan urusan norma tertulis yang sudah berlaku. “Yang penting normanya kalian tulis!”, begitu kira-kira Opung Austin bersabda. Doktrinnya pasti : “law as command of sovereign,” bahwa hukum adalah perintah tertulis dari penguasa berdaulat yang harus ditaati dan ada sanksi. Bagi Austin aturan tertulis asalnya dari fakta sosial yang dapat diamati lalu validitasnya tidak bergantung pada moralitas. Pemikiran klasik John Austin ini disebut doktrin Positivisme Hukum. Biang segala doktrin Kepastian Hukum. Pemikirannya termuat dalam banyak tulisan salah satunya tertuang dalam karya bukunya The Province of Jurisprudence Determined (1832).

Doktrin positivisme hukum menimbulkan banyak reaksi kritik para ahli hukum lainnya. Karena hukum tertulis sebagai perintah yang dibuat manusia dan ditetapkan penguasa berdaulat bisa tergelincir pada absurditas: mana aturan sebagai kaidah hukum dan mana aturan sebagai perintah penguasa. Dimata pengkritik bila pilihan pada yang pertama bukankah kaidah hukum tertulis itu selalu tertinggal dari dinamika sosial dan tidak bisa dipaksakan pada suatu waktu dan pada setiap tempat. Jika pilhan pada hukum sebagai perintah penguasa maka aturan hukum berpotensi bukan untuk hikmah kebaikan tapi diselewengkan jadi alat pemukul penguasa.

Demikianlah konsekwensi wajah Doktrin Positivisme Hukum. Bisa menghasilkan kebaikan berupa kepastian karena memaksa serta tidak memberi peluang analogi dan tafsir. Tapi kepastian dalam hukum tertulis itu bisa pula berubah jadi alat kekuasaan penguasa yang zolim.
Bahkan Gustav Radbruch seorang positivis yang terkenal itu saja kapok dengan positivisme hukum dan kemudian meninggalkannya beralih ke aliran hukum kodrat. Radbruch taubat nasuha menolak hukum yang menekankan kepastian hukum terpisah dari moralitas setelah menyaksikan kekejaman rezim Nazi. Ia mengalami sendiri kekejaman Nazi yang melarangnya mengajar dan mencopot jabatannya. Sehingga Radbruch mengubah pandangannya secara drastis. Dari seorang positivis beralih menjadi pendukung hukum kodrat/alam. Radbruch insyaf usai menyadari fakta kontroversial dari posisi positivisme hukum dalam menghadapi rezim otoriter dan tirani Nazi yang tetap teguh memegang doktrin pemisahan hukum dan moralitas. Radbruch muak dengan kaum positivis Jerman yg berprinsip positivisme hukum sebagai “law as law/Gesetz als Gesetz” dan gagal melawan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dengan mengatasnamakan hukum. Sehingga postivisme hukum dinilainya memberi sumbangan besar pada tragedi kemanusiaan yang terjadi saat rezim Nazi berkuasa. Dari pengalaman itu Gustav Radbruch filsuf Jerman itu setelah perang dunia menulis “Funf Minuten Rechtsphilosophie” (Lima Menit Filsafat Hukum) dan kemudian dikembangkan dalam esai “Ketidakadilan Hukum dan Hukum Supra-Hukum” (posisi hukum di atas hukum) memuat formula tujuan dasar hukum yang terkenal yakni Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan Hukum.

Mungkin efek jahat dari doktrin positivisme hukum ini tidak pernah terpikirkan bahkan oleh yang membuat dan mendukung aliran pemikiran ini. Mungkin bahkan jika bapak positivisme hukum John Austin ini jadi Presiden pemegang kekuasaan hari-hari ini, jangan-jangan dia pun bisa terperangkap dalam racun kekuasaan. Austin bisa saja sesuka kekuasaanya membuat aturan ngopi dilarang karena subversif.

Pemikiran klasik Austin datang bukan dari angan-angan Austin sendiri. Alam pikirannya pertama kali tentu dipengaruhi dari gurunya yakni Jeremy Bentham (1748–1832) filsuf dan ahli hukum Inggris peletak dasar aliran utilitarianisme. Positivisme Hukum juga dipengaruhi oleh Aguste Comte [1798-1857] Filsuf Prancis yang dijuluki Bapak Sosiologi. Dialah yang menemukan konsep Positivisme dalam bidang sosiologi. Tapi Comte belajar banyak dari Francis Bacon [1561–1626] Filsuf Inggris yang menetapkan dasar-dasar empirisme melalui penggunaan metode penalaran induktif. Itu sebabnya Bacon dikenal sebagai Bapak Penalaran Induktif. Bila mau menelusuri lebih jauh hingga hulu sejarah, doktrin positivis [hukum tertulis] itu akarnya dari zaman Renaisance [era antitesis atas pengalaman zaman kegelapan]. Zaman renaisance adalah era rasionalitas dan kebebasan berpikir banyak dijunjung tinggi. Pada zaman itu pikiran para intlektual sudah disandarkan pada pengalaman empirik-rasionalitas manusia untuk melawan segala hal-hal yang bersifat transendental dan spekulatif.

Dekonstruksi dikotomi Kepastian Hukum versus Keadilan

Peseteruan kepastian hukum versus keadilan hari ini sesungguhnya episode kesekian kali dari pertempuran panjang tentang ide mana yang lebih baik antara hukum positivisme hukum yang pasti [meski bisa salah] melawan moralitas [belum tentu juga benar] yang bersumber dari nurani kemanusian hukum kodrat/natural/alam yang di-klaim melekat ditubuh manusia karena datang dari Tuhan melalui kitab suci dan fatwa teolog yang dimata kaum positivis bersifat metafisik spekulatif [sejarah abad kegelapan dogma agama adalah musuh sains]. Dikotomi ini juga adalah tema debat panjang pemisahan atau relasi mutlak hukum dan moral antara HLA Hart dan Lon L Fuller. Debat keduanya bukan pertarungan tinju yang dibatasi ronde. Ini adalah pertarungan ide yang panjang tiada yang terkalahkan bagaikan labirin yang menyesatkan bila nalar dan logika tidak digunakan.

Saya lebih suka pendekatan kritik dekonstruksi Jacques Derrida guna membongkar dan mempertanyakan hierarki makna dan sejarah yang tersembunyi pada dikotomi Positivisme Hukum dan moralitas kodrat ini. Saya memungut cara berfikir Filsuf Prancis Tampan Flamboyan keturunan Aljazair ini guna membongkar (dekonstruksi) doktrin Kepastian Hukum dan Keadilan sebagai kritik oposisi biner. Dengan mengurai dialektika pemikiran Positivisme Hukum Austin, positivisme hukum Bentham, Positivisme Sosiologi Comte, emperisme Bacon dan Rasionalisme Zaman Renaisance akibat antitesis sains atas sesat dogma di zaman kegelapan sampai debat Hart vs Fuller kita bisa membongkar makna hirarki tersembunyi pada kepastian hukum versus keadilan. Dari upaya dekonstruksi ini tersingkap fakta tersembunyi dari kritik oposisi biner kedua doktrin ini sesungguhnya soal dikotomi hukum tertulis versus hukum tidak tertulis. Jadi jangan libatkan soal keadilan dalam dikotomi ini karena keadilan itu menjadi tujuan yang sama bagi kaum hukum tertulis maupun kaum hukum tidak tertulis. Bahkan Gustav Radbruch menempatkannya pada formula yang pertama dari teori dasar tujuan hukumnya. Jadi tidak ada kesalahan dan kebenaran yang absolut pada hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis itu. Hikmah yang seharusnya dipetik adalah ada kebijaksanaan dalam hukum yang tertulis itu yakni kepastian hukum yang dalam konteks tertentu benar dan mengandung keadilan. Demikian pula hikmah kebijaksanaan dalam hukum tidak tertulis itu adalah nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup itu bisa tumbuh dari moralitas, etika, adat, agama yang berlaku dimasyarakat yang didalamnya mengandung nilai pengormatan pada kemanusian dan penghormatan semesta alam, inilah inti keadilan.

Hakim itu Merdeka dan Mandiri

Hakim memang profesi yang merdeka dan mandiri. Cobalah tengok bunyi Konstitusi Pasal 24 ayat [1] UUD 1945, Pasal 1 UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal-pasal lain UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kemerdekaan dan Kemandirian Hakim itu ada pada putusan dan penetapan yang dibuatnya berdasarkan alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar dari hukum tertulis dan nilai hukum hidup di masyarakat yang tidak tertulis [baca Pasal 53 Jo Pasal 50 ayat 1]. Jadi apalagi yang membuatmu takut untuk menjadi merdeka dan mandiri wahai hakim?

Memang kemerdekaan hakim itu tidak tak terbatas. Sama seperti kekuasaan pembuat UU hakim pun dibatasi pada segala tindakan hukum yang hanya dimaksudkan pada tujuan keadilan bukan pada kesewenangan. Itu sebabnya agar hakim sebagai manusia tidak tergelincir dalam sesat pikir dan sesat tindak maka kemuliaan profesi Hakim dilindungi dengan Hukum Formil, Hukum Materiil dan kode etik pedoman perilaku.

Tapi sebagaimana hukum materiil begitupula hukum formil [baca : Hukum Acara] adalah produk hukum yang isinya tidak selalu berlaku absolut. Bisa benar dalam konteks tempat dan waktu tertentu tapi tidak bisa dipertahankan pada tempat dan waktu tertentu lainnya. Saya ambil contoh pemberlakuan hukum acara pemeriksaan terdakwa dipersidangan pengadilan pada Pasal 189 KUHAP menegaskan bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan oleh terdakwa di muka sidang pengadilan. Demikian pula Pemeriksaan saksi di persidangan pengadilan di Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Kedua norma pemeriksaan terhadap terdakwa dan saksi dipersidangan harus langsung diperiksa dimuka persidangan. Tapi dimasa pandemi Covid 19 lahir Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 yang telah diubah oleh Perma Nomor 8 Tahun 2022, mengatur pelaksanaan persidangan perkara pidana secara elektronik memungkinkan terdakwa dan saksi diperiksa tidak secara langsung dimuka persidangan melainkan bisa melalui pemeriksaan secara online/elektronik. Itu artinya Mahkamah Agung melakukan penafsiran sosiologis atas perubahan situasi masyarakat sehingga Mahkamah Agung membuat hukum (judge made law) menyimpangi hukum acara karena kebutuhan demi tetap berlangsungnya persidangan di tengah situasi pembatasan sosial akibat pandemi Covid 19. Lalu apakah sebelum terjadi pandemi dan sebelum ada Perma yang mengatur persidangan pidana secara elektronik hukum acara terkait pemeriksaan terdakwa dan saksi tidak ada hakim yang pernah berani melanggarnya? Sudah pernah ada kok hakim yang berani melakukan penafsiran progresif. Pada tahun 2002 Majelis Hakim Jakarta selatan memeriksa Mantan Presiden BJ Habibie dari dari Kantor Konsulat Jerman RI di Hamburg secara video teleconference kerjasama stasiun SCTV dengan PN Jakarta Selatan. Lalu Pada Tahun 2013 majelis hakim PN Lubuk Linggau dalam perkara pidana perkosaan dan pencurian pemberatan pernah melakukan pemeriksaan persidangan secara online pertama kali menggunkan aplikasi gratis Skype. Saksi korban yang mengalami trauma berat itu harus pindah dari sekolahnya di kota Lubuk Linggau ke kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Saksi korban diperiksa secara elektronik melalui aplikasi Skype dari sekolahnya di SMA di Purworejo. Itu artinya sudah pernah ada hakim yang mengedepankan pandangan pribadinya menginterpretasi hukum acara pidana secara progresif bahwa saksi/korban tidak harus diperiksa secara langsung dimuka persidangan.

Pada contoh lain misalnya MA melalui Pasal 3 Perma No 4/2014 berani membuat norma hukum baru bawa Diversi Anak dapat dilaksanakan dalam tindak pidana yang yang didakwa dengan ancaman hukuman lebih dari 7 Tahun. Padahal bunyi pasal 7 UU 11/2012 tentang UU Sistem Peradilan Pidana Anakn(SPPA) menyatakan bahwa diversi hanya bisa dilaksanakan terhadap anak yang didakwa dengan ancaman pidana kurang dari 7 Tahun. MA kembali menyimpangi UU demi mengisi kelemahan norma dari aturan UU yang tidak masuk rasa dan masuk akal untuk bisa menghasilkan keadilan.

Yang menarik pada Tahun 2024, putusan hakim di PN Paser Penajam berani melanggar ketentuan pasal 81 ayat (6) UU SPPA yang mengatur bahwa pelaku anak hanya boleh dijatuhi pidana penjara paling lama 10 tahun jika anak melakukan pidana yang diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Hakim-hakim muda PN Paser Penajam memutus perkara pelaku anak usia 16 tahun yang membunuh 5 orang [1 keluarga] itu dengan vonis 20 Tahun penjara. Majelis Hakim PN Paser Penajam menyatakan pelaku anak terbukti melakukan pembunuhan berencana pada 5 orang korban yang mana 3 diantaranya korban anak-anak. Meski jaksa menuntut 10 tahun penjara namun Majelis Hakim justru menjatuhkan vonis pidana lebih berat yakni 20 tahun penjara. Dengan pertimbangan keadaan yang memberatkan pelaku anak itu selain membunuh 3 korban anak dan 2 korban dewasa, pelaku juga menyetubuhi 2 korban yang sudah jadi mayat.

Putusan hakim ini sangat menarik karena mengandung dikotomi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Keadilan akhirnya ditegakan hakim dengan menginternalisasi kekejaman secara psikologis dengan menilai cara pelaku dan jumlah korban yang dibunuh. Yang bahkan orang dewasa sekalipun tidak mampu melakukannya. Pelaku anak membunuh 5 korbannya dengan membacokan parang ke kepala dan leher para korban yang 4 orang diataranya sedang tidur dan lalu setelah mati 2 korban diataranya disetubuhi pelaku dengan motif sakit hati dendam merasa pernah dihina.

Dalam sebuah kelas pelatihan sertifikasi hakim anak berjumlah 80 orang secara sederhana saya lakukan riset penalaran induktif dengan ajukan pertanyaan apakah tindakan pelaku anak kejam? Masing-masing hakim dari 80 hakim menjawab tindakan pelaku sangat kejam. Lalu saya ajukan pertanyaan, apakah jika 80 hakim itu disodori kasus serupa mereka akan memutus perkara sesuai aturan hukum tertulis yang hanya boleh menjatuhi pidana penjara 10 Tahun? 80 Hakim menjawab bahwa mereka mendukung putusan hakim PN Paser Penajam dan jika 80 Hakim dikelas itu yang menangani perkara yang sama mereka memilih tidak mengikuti aturan hukum positif dalam pasal 81 ayat (6) UU SPPA tersebut.

Hukum tertulis adalah hukum tidak tertulis yang belum ditulis

Saya memahami keresahan hakim PN Paser Penajam atas dikotomi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis itu adalah keresahan banyak hakim lainnya. Saya memandang bahwa konsep kepastian hukum dalam hukum tertulis sesungguhnya tidak ada pertentangannya dengan hukum tidak tertulis. Karena hukum tertulis itu sesungguhnya hukum tidak tertulis yang belum ditulis. Jika hukum tertulis itu diperbaharui dalam proses legislasi UU baru dan memasukan norma keadilan dari hukum tidak tertulis maka pasti hukum tidak tertulis itu akan menjadi hukum tertulis yang adil. Maka hakim wajib menemukan makna keadilan dalam hukum tertulis dengan membaca kembali filosofi dan tujuan dari dibentuknya peraturan perundangan itu jika ia tidak temukan secara letterlijk pada pasal aturan. Hakim juga wajib menemukan makna keadilan bahkan dari bunyi dan filosofi peraturan perundangan lain. Jika belum juga ditemukan maka hakim wajib menggali nilai-nilai kebijaksanaan pada hukum tidak tertulis. Bahkan secara terang terang benderang Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang bunyinya senyawa dengan doktrin Gustav Radbruch berbunyi : jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka hakim wajib mengutamakan keadilan.

Syamsul Arief
Kepala Badan Strajak Diklat Kumdil MA


Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 2025

Menatap Langit Halimun: Belajar Keadilan dari Sayap Elang Jawa

October 9, 2025

PANDORA: ANTARA ETIK DAN TUJUAN HUKUM DALAM KEADILAN BERMARTABAT

October 9, 2025
Demo
Top Posts

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

October 11, 2025

Kelas Inpirasi : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Hukum Keadilan

May 16, 2024

Badan Strajak Diklat Kumdil Gelar Donor Darah dalam Rangka HUT RI dan HUT MA RI Ke-80

August 21, 2025
Don't Miss

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

By SuaraBSDKOctober 11, 2025

Bogor, 10 Oktober 2025 – Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Teknis Peradilan Badan Strajak Diklat…

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 2025

Refleksi Kritis: Mengembalikan Marwah Widyaiswara dalam Ekosistem Pendidikan dan Pelatihan

October 10, 2025

Judicial Well-Being: Fondasi Tersembunyi Keadilan

October 10, 2025
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Contact Us

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

category
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Connect US
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3
Logo 4 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.