Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Rumusan Kamar Mengisi Kekosongan Hukum Agar Keadilan Benar Secara Hukum, Pasti dan Bermanfaat Bagi Masyarakat

10 November 2025 – 23:30 WIB

Pelatihan Singkat Hak Kekayaan Intelektual Gelombang Kedua: Menguatkan Kapasitas Hakim Indonesia Melalui Sinergi Strategis Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI dan JICA

10 November 2025 – 21:57 WIB

YM Dr. Dwiarso Budi resmi menjadi WKMA Non Yudisial

10 November 2025 – 18:32 WIB
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Home » Diantara Tugas, Jejak Karbon, Gas  Rumah Kaca dan Perubahan Iklim
Uncategorized

Diantara Tugas, Jejak Karbon, Gas  Rumah Kaca dan Perubahan Iklim

10 October 2025 – 08:26 WIB8 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp
Ari Gunawan, S.H., M.H. Hakim Yustisial BSDK MARI

PENDAHULUAN

Sobat pembaca yang budiman, pernahkah Anda memperhatikan ada yang berbeda dengan tampilan tiket kereta api yang sekarang? Bisakah Anda menebak apa yang berbeda?

Bagi penglaju seperti saya, yang mungkin awalnya tidak memperhatikan dan tidak mengetahui bahwa ada informasi baru dan penting yang terdapat pada tiket tersebut, saya mulai menyadari hal tersebut seiring berjalannya waktu. Setelah menjadi anggota PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad), saya menyadari adanya informasi terbaru yang terkait dengan Carbon Footprint pada tiket tersebut. Carbon Footprint merupakan emisi CO2e yang dihasilkan oleh perjalanan kereta api, yaitu proses pelepasan gas karbon dioksida ke atmosfer bumi. Jumlah karbon yang dihasilkan dari suatu aktivitas dapat diukur melalui indikator jejak karbon.

Sebagai contoh, ketika saya naik kereta api jarak jauh, yakni kereta api Brantas (perlu dicatat, tulisan ini bukan promosi atau endorsement dari PT KAI), maka pada tiket akan ditampilkan emisi CO2 yang dihasilkan oleh perjalanan kereta api tersebut. Terlihat informasi yang ditampilkan mengenai jejak karbon, yakni emisi sebesar 5,26 kg CO2. Sementara itu, mobil dengan kapasitas mesin di bawah 2000 cc menghasilkan 17,92 kg CO2, dan pesawat komersial jenis ekonomi menghasilkan 70,22 kg CO2. Perhitungan ini diklaim oleh PT KAI sudah sesuai dengan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan mengacu pada Kyoto Protocol, GHG Protocol, serta SNI ISO 14064-1:2018, yang hasilnya telah divalidasi melalui studi literatur dan benchmarking dengan studi-studi lain di dalam dan luar negeri.

Informasi terkait dengan jejak karbon seringkali tidak disadari dan dianggap remeh, padahal jika kita telaah lebih lanjut, terdapat konsep besar yang luhur, yaitu upaya untuk melindungi lingkungan hidup yang kita tinggali sekarang, agar dapat terus dihuni oleh anak cucu kita kelak. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih dan melakukan kegiatan yang memanfaatkan hal-hal yang ramah terhadap lingkungan.

GAS RUMAH KACA  DAN PERUBAHAN  IKLIM

            Gas rumah kaca adalah gas yang ada di atmosfer yang dapat menimbulkan pengaruh atau efek rumah kaca. Gas-gas yang ada di atmosfer sebenarnya adalah gas alami, namun dengan adanya peningkatan aktivitas manusia, terutama terkait pembakaran bahan bakar fosil, jumlah gas rumah kaca ini meningkat di atmosfer. Gas rumah kaca ini sesungguhnya diperlukan agar suhu bumi tidak terlalu dingin. Namun, jika jumlahnya berlebihan, gas ini dapat menyebabkan pemanasan global.

Alasan mendasar mengapa kita perlu memikirkan hal tersebut adalah karena konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang terus menumpuk di atmosfer, yang menyebabkan efek rumah kaca menjadi lebih intens. Hal ini mengakibatkan kenaikan suhu rata-rata di seluruh dunia. Pemanasan global yang terjadi kini membawa malapetaka serius, mengganggu berbagai sektor biosfer, mulai dari tatanan alam hingga segala bentuk aktivitas manusia.

Peningkatan emisi gas rumah kaca yang berkelanjutan telah menyebabkan pemanasan bumi dan dampaknya telah dirasakan oleh semua negara di dunia. Berdasarkan laporan dari National Center for Environmental Information pada Maret 2025, suhu permukaan global pada bulan Januari–Maret menempati peringkat kedua terhangat dalam catatan 176 tahun, yaitu sebesar 1,31°C (2,36°F) di atas rata-rata suhu abad ke-20 yang sebesar 12,3°C (54,1°F). Meskipun kenaikan suhu adalah manifestasi paling awal, perubahan iklim melibatkan lebih dari sekadar pemanasan. Sistem bumi saling terhubung, yang berarti perubahan di satu area memengaruhi semua area lainnya. Konsekuensinya meluas, mencakup adanya bencana alam ekstrem, kekeringan dan kebakaran hebat, badai dahsyat, banjir, permasalahan air dan laut, naiknya permukaan laut, serta pencairan es di kutub. Di bidang ekologi, dampaknya adalah penurunan keanekaragaman hayati.

Masyarakat dunia kemudian menyadari betapa pentingnya untuk  menjaga kondisi iklim dan menghindari dampak buruk dari pemanasan global yang berakibat percepatan terjadinya perubahan iklim yang  tentunya akan berdampak terhadap lingkungan hidup didunia. Upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan juga oleh Perserikatan Bangsa – bangsa dengan mengadakan pertemuan diantara  negara negara didunia dan akhirnya berhasil dicapai kesepakatan yang lebih dikenal dengan Protocol Kyoto,

Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Perjanjian ini dirancang untuk mengatasi peningkatan ancaman pemanasan global dengan mewajibkan negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Protokol ini diadopsi pada 11 Desember 1997 di Kyoto, Jepang, dan mulai berlaku sebagai hukum internasional pada 16 Februari 2005.

Upaya terus-menerus untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim akhirnya berlanjut dengan diadakannya dan disepakatinya Perjanjian Paris, yang berlaku pada tanggal 4 November 2016. Perjanjian Paris ini diadopsi oleh 195 pihak dengan tujuan utamanya untuk menahan peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan mengejar upaya untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri.

Indonesia secara tegas mencantumkan hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam konstitusi dasar negara, yaitu Undang-Undang 1945 Pasal 28C yang menyatakan bahwa lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi warga negara. Namun, penurunan kualitas lingkungan yang terjadi saat ini menjadi tantangan besar.

Untuk menjawab masalah ini dan memenuhi harapan akan lingkungan yang sehat, diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang konsisten dan sungguh-sungguh dari semua pemangku kepentingan. Sebagai komitmen terkait perubahan iklim, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris 2015 dengan mengeluarkan UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Dukungan dan komitmen Indonesia diwujudkan dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution), yang berisi target penurunan emisi gas rumah kaca, yakni 29% dengan upaya sendiri pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Upaya nasional untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca dan memerangi perubahan iklim dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Aturan karbon atau mekanisme karbon, yang sering disebut sebagai nilai ekonomi karbon, mengacu pada berbagai kebijakan dan sistem yang dibuat untuk memberikan harga pada emisi karbon dioksida (CO2) dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya. Tujuan dari mekanisme ini adalah agar perusahaan dan negara mengurangi emisi mereka dengan menggunakan beberapa instrumen, antara lain:

Perdagangan Karbon (Carbon Trading), di mana perusahaan atau negara dapat membeli dan menjual izin kuota emisi karbon dan unit karbon. Regulasi terkait dengan perdagangan karbon diatur dan diperjelas dengan Peraturan Menteri dan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.

Pajak Karbon adalah pungutan yang dikenakan terhadap setiap produk atau kegiatan yang menghasilkan emisi GRK. Pajak ini dikenakan berdasarkan jumlah emisi yang dihasilkan, sehingga mendorong penggunaan energi dan teknologi yang lebih bersih. Dasar hukumnya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Implementasi pelaksanaannya mencakup penyelarasan mekanisme perdagangan karbon dengan tarif paling rendah yang ditetapkan sebesar Rp 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), yang akan dilakukan secara bertahap.

Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (Carbon Capture and Storage – CCS) merupakan penggunaan teknologi yang terkait dengan upaya mitigasi karbon melalui proses tiga langkah untuk mengurangi emisi dari sumber besar, seperti pembangkit listrik dan industri. Proses ini meliputi penangkapan dan pemisahan CO2 serta gas buang industri, transportasi (memampatkan dan mengirim CO2) melalui pipa, dan penyimpanan atau menginjeksikan CO2 ke dalam formasi geologi yang dalam dan aman di bawah tanah untuk penyimpanan permanen.

Dasar hukum terkait penangkapan karbon dapat ditemukan pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan, Penangkapan, dan Penyimpanan Karbon serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon.

PENUTUP

Perlu kita sadari bahwa pemanasan global, yang sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim, mau tidak mau akan sangat berdampak terhadap kehidupan kita dan anak cucu kita di masa mendatang. Kita tidak ingin pemanasan global mengarah pada kenaikan permukaan air laut yang menjadi ancaman serius bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh dunia. Kenaikan air laut ini dipicu oleh pencairan es kutub dan gletser, ekspansi termal air laut, dan pengurangan aliran air tanah. Kenaikan air laut tentunya juga mengancam wilayah pesisir, termasuk Jakarta dan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terancam tenggelam jika hal ini terjadi.

Pemerintah telah melakukan upaya dengan menerbitkan regulasi yang mengatur upaya mengatasi pemanasan global yang berkaitan dengan perubahan iklim, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Peraturan Menteri dan Otoritas Jasa Keuangan, yakni Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon, serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan, Penangkapan, dan Penyimpanan Karbon serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon. Sebagai warga negara, kita punya kewajiban juga untuk mendukung usaha mengurangi pemanasan global dengan melakukan langkah kecil dan nyata dari diri kita sendiri sebagai bentuk kepedulian kita terhadap lingkungan yang akan kita wariskan di masa depan. Langkah kecil itu dapat kita mulai dengan hal-hal sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, membawa tas belanja sendiri saat berbelanja untuk mengurangi penggunaan plastik, mematikan alat listrik jika tidak digunakan, dan juga memilih moda transportasi yang ramah lingkungan ketika kita diharuskan menjalankan tugas dan kewajiban, baik kepada keluarga, lembaga, maupun negara. Meskipun tidak serta-merta langsung menaikkan kualitas lingkungan hidup kita, saya rasa ini adalah langkah sederhana yang berdampak pada lingkungan. Pemilihan transportasi publik, seperti kereta api, juga perlu dipikirkan karena transportasi kereta api memainkan peran penting dalam mengurangi emisi karbon, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap mitigasi dampak lingkungan.

Ari Gunawan, S.H., M.H. Hakim Yustisial BSDK MARI
Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Mahkamah Agung Gelar Pelatihan Teknis Yudisial Online Bertema Filsafat Keadilan, Kuota Hanya 200 Peserta

24 October 2025 – 11:45 WIB
Demo
Top Posts

Rumusan Kamar Mengisi Kekosongan Hukum Agar Keadilan Benar Secara Hukum, Pasti dan Bermanfaat Bagi Masyarakat

10 November 2025 – 23:30 WIB

Kelas Inpirasi : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Hukum Keadilan

16 May 2024 – 18:01 WIB

Badan Strajak Diklat Kumdil Gelar Donor Darah dalam Rangka HUT RI dan HUT MA RI Ke-80

21 August 2025 – 11:42 WIB
Don't Miss

Rumusan Kamar Mengisi Kekosongan Hukum Agar Keadilan Benar Secara Hukum, Pasti dan Bermanfaat Bagi Masyarakat

By Kontributor SuaraBSDK10 November 2025 – 23:30 WIB

Penutupan Rapat Pleno Kamar MA ditutup Ketua MA, YM Sunarto Senin malam (10/11) di Convention…

Pelatihan Singkat Hak Kekayaan Intelektual Gelombang Kedua: Menguatkan Kapasitas Hakim Indonesia Melalui Sinergi Strategis Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI dan JICA

10 November 2025 – 21:57 WIB

YM Dr. Dwiarso Budi resmi menjadi WKMA Non Yudisial

10 November 2025 – 18:32 WIB

A Digital Witness

10 November 2025 – 16:51 WIB
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Hubungi Kami

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

Kategori
Beranda Artikel Berita Features Sosok
Filsafat Roman Satire SuaraBSDK Video
Connect With Us
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3 Logo 3
Logo 4 Logo 4 Logo 4 Logo 5 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.