Jakarta, 6 Oktober 2025 — “Pengelolaan hutan di Indonesia tidak bisa dipahami tanpa memahami sejarah kekuasaan atas pengetahuan.” Kalimat itu menjadi pembuka kuat dalam paparan Dr. Suraya Afiff, antropolog lingkungan dari Universitas Indonesia, dalam sesi talk show bertajuk “Scientific Forestry dalam Aspek Sosial-Ekologis: Tantangan Pengelolaan Hutan di Indonesia.” Materi ini disampaikan pada Diklat Hakim Lingkungan Lanjut yang diselenggarakan oleh Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan Peradilan Mahkamah Agung RI (BSDK MA) bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan RI dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Mercure Harmoni Jakarta, 6-9 Oktober 2025
Menurut Dr. Suraya, konsep scientific forestry atau kehutanan ilmiah yang berkembang sejak masa kolonial Belanda tidak hanya berdimensi teknis, tetapi juga politis. “Sejak awal abad ke-19, pengelolaan hutan di Jawa didesain untuk kepentingan negara kolonial, bukan untuk masyarakat lokal. Prinsipnya sederhana: hutan adalah milik negara, rakyat hanya penonton,” jelasnya. Dalam pandangan ilmuwan kolonial, hutan menjadi laboratorium produksi kayu jati dan sumber devisa, sementara masyarakat adat yang hidup…
Suraya menjelaskan bahwa scientific forestry dibangun atas dasar pengetahuan Barat yang rasional, sistematis, dan berorientasi produksi, yang kemudian dianggap lebih unggul dibanding pengetahuan lokal yang dicap “tradisional” dan “irasional.” Dikotomi ini, menurutnya, melahirkan hierarki pengetahuan yang membuat kebijakan kehutanan Indonesia modern cenderung mengabaikan praktik-praktik pengelolaan berbasis kearifan lokal. “ Padahal, masyarakat adat telah ratusan tahun mengelola hutan dengan cara-cara yang berkelanjutan,” tegasnya.
Dalam paparannya, Suraya menelusuri bagaimana warisan kolonial tersebut berlanjut hingga masa kemerdekaan. Melalui konsep Hak Menguasai Negara dalam Pasal 33 UUD 1945 dan berbagai undang-undang sektoral, negara mempertahankan kontrol penuh atas kawasan hutan. “Sampai hari ini, lebih dari separuh daratan Indonesia masih diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara — atau yang saya sebut sebagai hutan politik,” paparnya, merujuk pada data Kementerian LHK tahun 2024 yang menunjukkan bahwa sekitar 120 juta hektar wilayah Indonesia masuk dalam kategori tersebut
Lebih lanjut, Suraya menyoroti dampak sosial dari paradigma ini. Ribuan desa di Indonesia berada di dalam atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan politik. “Ada lebih dari 3.000 desa yang secara administratif masuk kawasan hutan. Artinya, kehidupan sehari-hari mereka secara hukum berada di wilayah yang mereka tidak punya hak atasnya,” ungkapnya. Kondisi tersebut kerap menjadi akar konflik agraria dan kriminalisasi masyarakat adat yang masih berlangsung hingga kini.
Namun demikian, Suraya tidak menolak pentingnya sains dalam pengelolaan hutan. Ia justru mendorong agar pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dipadukan. Mengutip pandangan Agrawal (1995), ia menyebut bahwa perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan pengetahuan tradisional tidak perlu dipertentangkan. “Keduanya bisa saling memperkaya. Ilmuwan belajar dari praktik masyarakat, masyarakat belajar dari pendekatan ilmiah — hasilnya bisa lebih kontekstual dan berkeadilan,” ujarnya.
Dalam sesi diskusi, beberapa peserta hakim mengaitkan materi ini dengan praktik peradilan lingkungan. Mereka menilai, memahami konteks historis dan sosial pengelolaan hutan dapat membantu hakim dalam menafsirkan perkara agraria atau lingkungan yang sering kali bersinggungan dengan hak masyarakat adat. Suraya menanggapi positif respons tersebut. “Hakim memiliki posisi strategis untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya berpihak pada teks, tetapi juga pada kehidupan dan keadilan sosial,” katanya. Sesi yang berlangsung hampir dua jam itu ditutup dengan pesan reflektif dari Dr. Suraya. “Kita tidak bisa mengelola hutan hanya dengan logika ekonomi atau legalistik. Hutan adalah ruang kehidupan — sosial, ekologis, dan kultural. Ketika kita memahami itu, barulah keadilan lingkungan menjadi nyata,” tutupnya disambut tepuk tangan peserta. (IM)


