Di era globalisasi dan perdagangan bebas, individu dan perusahaan sering menjalin hubungan serta kerja sama lintas negara mulai dari memperluas usaha, meminjam modal, berinvestasi, hingga membeli aset. Namun, dunia bisnis tidak selalu mulus. Meski harapan selalu untung, tak jarang suatu usaha menghadapi tekanan finansial parah yang jika tidak ditangani dengan baik bisa berujung pada kebangkrutan (kepailitan).
Proses kebangkrutan menjadi rumit apabila aset yang bangkrut berada pada lebih dari satu negara (lintas batas). Ini karena banyak negara masih menganut prinsip teritorialitas, yang berarti putusan pailit hanya berlaku untuk aset yang ada di dalam wilayah negara tersebut.
Kondisi ini menyulitkan pengumpulan seluruh aset debitur dan merusak prinsip kesetaraan kreditur (paritas creditorium). Kreditur di negara lain bisa saja mencari pembayaran secara terpisah (separate proceedings). Masalah juga diperparah oleh perbedaan hukum kebangkrutan antarnegara, termasuk perbedaan kategori kreditur (separatis, preferen, konkuren) dan prosedur pengakuan putusan asing, yang membuat kesetaraan penuh sulit tercapai.
Apa Itu Asas Kesetaraan Kreditur (Paritas Creditorium)?
Asas dalam kepailitan lintas batas negara mengandung makna bahwa semua kreditur (baik kreditur dalam negeri maupun kreditur asing) pada dasarnya memiliki kedudukan yang setara dan hak yang sama atas seluruh kekayaan (boedel) debitur, terlepas dari lokasi aset atau asal kreditur tersebut.
Secara ringkas, implikasi utama asas ini dalam kepailitan lintas batas adalah berkaitan dengan konsep kesetaraan hak kreditur. Dimana Asas paritas creditorium menjamin bahwa, secara umum, harta kekayaan debitur menjadi jaminan bersama untuk semua utang kepada para kreditur, dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional (pari\ passu\ pro\ rata\ parte) di antara mereka, sesuai dengan besar piutang masing-masing, setelah dikurangi biaya-biaya kepailitan dan pembayaran kepada kreditur yang dijamin (separatis) atau yang memiliki hak istimewa (preferen).
Dalam konteks lintas batas, ini berarti maka Kreditur asing harus diperlakukan setara dengan kreditur domestik dan apabila kita hubungkan dengan tujuan terkait dengan distribusi aset seharusnya ada pembagian yang adil dan proporsional kepada semua kreditur, tanpa diskriminasi berdasarkan kebangsaan atau lokasi mereka.
Salah satu model penyelesaian yang mengakomodir dan menjamin asas paritas creditoum ini sangat berkaitan dengan prinsip universalitas sebagai antitesa prinsip territorialitas. Prinsip universalitas berpandangan bahwa proses kepailitan yang dibuka di satu negara harus mencakup seluruh aset debitur di seluruh dunia dan diakui secara global.
Jika suatu negara menganut universalitas, maka akan lebih mudah untuk memastikan bahwa semua kreditur (di mana pun mereka berada) memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan klaim dan mendapatkan bagian yang proporsional dari seluruh aset debitur, sehingga menegakkan paritas creditorium.
Indonesia sendiri masih menganut asas territorial dengan ditandai dengan masih berlakunya pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) menetapkan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan asing pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan atau dieksekusi di wilayah Indonesia, kecuali jika undang-undang, seperti Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau peraturan lain, menentukan sebaliknya. Selanjutnya, perkara yang telah diputus oleh pengadilan luar negeri tersebut dapat diajukan kembali dan diputuskan oleh badan peradilan di Indonesia.
Ketentuan dari pasal 436 RV di negeri pembuatnya yakni di negara Belanda sudah mulai dilunakkan dan tidak lagi menganut asas territorial murni dan cenderung mengakui juga asas universalitas dengan memodifikasi dalam kepailitan uni eropa dan perjanjian bilateral. Jika di negeri asalnya sendiri prinsip territorial sudah mulai dilunakkan maka Indonesia juga sebetulnya juga dapat nelonggarkan prinsip ini dan mengadopsi aturan hukumnya terkaitan kepailitan lintas batas.
Mengapa adopsi UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency?
Indonesia dapat mengadopsi kerangka hukum kepailitan lintas batas negara yang telah digagas oleh perserikatan bangsa-bangsa di bawah Majelis Umum PBB. Sejarah UNCITRAL Model Law (Hukum Model UNCITRAL) secara umum terkait erat dengan upaya harmonisasi hukum perdagangan internasional yang dilakukan oleh United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), yang dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum No. 2205 (XXI) pada tanggal 17 Desember 1966, dengan tujuan untuk mempromosikan harmonisasi dan unifikasi hukum di bidang perdagangan internasional
UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency menawarkan solusi yang telah diadopsi oleh banyak negara seperti Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, dan Thailand. Model ini mengusung prinsip universalisme, di mana satu proses kepailitan utama dibuka di negara pusat kepentingan utama perusahaan, dan putusan tersebut diakui serta dilaksanakan di negara lain.
Empat hal utama (atau prinsip/tujuan) yang menjadi fokus dalam UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency (Hukum Model UNCITRAL tentang Kepailitan Lintas Batas) adalah:
UNCITRAL Model Law memberikan hak kepada perwakilan asing (seperti kurator atau administrator yang ditunjuk di negara lain) untuk mengajukan permohonan langsung ke pengadilan di negara pengadopsi (negara tempat aset berada). Hal ini bertujuan untuk memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses kepailitan domestik atau meminta pengakuan atas proses kepailitan yang sedang berlangsung di negara asal (negara asing).
UNCITRAL Model Law menyediakan mekanisme yang efisien bagi pengadilan domestik untuk mengakui proses kepailitan asing sebagai proses utama asing: Jika kepentingan utama debitur berada di negara asing tersebut. Pengakuan ini memberikan efek hukum yang lebih luas dan otomatis dan proses non-utama asing: Jika debitur hanya memiliki tempat kegiatan usaha di negara asing tersebut.
UNCITRAL Model Law mengatur bantuan otomatis yang dapat diberikan (misalnya, penangguhan sementara atas eksekusi dan penjualan aset). Selain itu, pengadilan dapat memberikan bantuan diskresioner (bantuan tambahan) untuk melindungi aset debitur dan kepentingan para kreditur.
UNCITRAL Model Law juga memfasilitasi kerja sama dan komunikasi langsung antara: Pengadilan di negara pengadopsi dengan pengadilan asing , Pengadilan di negara pengadopsi dengan perwakilan asing, dan Perwakilan dari proses yang berbeda dalam kasus kepailitan ganda yang melibatkan negara yang berbeda. Tujuan dari koordinasi ini adalah untuk memastikan pengelolaan aset yang paling efisien, menghindari proses yang duplikatif dan berpotensi merugikan, serta mendistribusikan aset secara adil kepada seluruh kreditur.
Dengan menerapkan dan mengadopsi UNCITRAL Model Law maka secara tidak langsung akan menjamin akan eksistensi asas paritas creditorium karena secara nyata bahwa UNCITRAL Model Law akan menjamin bahwa tidak ada perbedaan dan memberikan perlindungan yang sama baik itu kreditur dalam negeri maupun kreditur asing karena pada dasarnya memiliki kedudukan yang setara dan hak yang sama atas seluruh kekayaan (boedel) debitur, terlepas dari lokasi aset atau asal kreditur tersebut.
Sebagai Langkah konkrit dalam menjamin secara utuh eksistensi asas paritas Creditorium maka diperlukan penyempurnaan UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan mengadopsi aturan yang ada di UNCITRAL Model Law, Mahkamah Agung juga dapat menjamin agar asas tersebut tidak hanya sebatas das sollen akan tetapi juga berlaku di das sein maka perlu membuat panduan teknis terkait dengan pelaksanaan asas tersebut secara konkrit. Di samping penguatan dalam segi aturan maka yang tak kalah pentingnya adalah penguatan kerjasama antar negara baik bilateral, regional maupun secara multilateral untuk mengurangi hambatan-hambatan yang timbul khususnya terkait dengan kepailitan lintas batas negara.
Sebelum ditutup ijinkan kami membuatkan puisi berikut ini sebagai pengingat akan pentinganya asas yang dimaksud.
Nyanyian Lintas Batas
Dimana aset tersebar, melintas Samudera
Debitur jatuh, janji pun sirna
Hukum lokal menjerit, “ini milikku” !
Namun hukum global berbisik , “Kita satu“
Teritorialisme, benteng kedaulatan
Menolak tangan asing dalam kerumitan
Univesalitas mencari benang emas
Agar Keadilan tak tepecah dan tak terhempas
UNCUTRAL Model Law, jembatan yang disulam
Memanggil kurator untuk saling berjabatan
Disitulah letak tantangan para yuris
Menyatukan dunia didalam satu krisis.


