Pendahuluan
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengancam sendi-sendi perekonomian negara dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Di Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Terdapat 13 pasal yang kemudian dirumuskan ke dalam 7 jenis delik, salah satunya adalah delik kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Salah satu unsur pokok dalam delik ini adalah adanya perbuatan yang “merugikan keuangan negara”. Pengertian keuangan negara sendiri memiliki cakupan luas, baik menurut UU Tipikor, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, maupun UU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam konstruksi tersebut, kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebelumnya dipandang sebagai bagian dari keuangan negara.
Namun, sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (selanjutnya disebut Revisi Ketiga UU BUMN), terjadi perubahan paradigma yang signifikan: kerugian BUMN tidak lagi dipandang sebagai kerugian negara. Perubahan ini memunculkan perdebatan, apakah kerugian BUMN masih dapat dijerat dengan UU Tipikor atau tidak.
Definisi Keuangan Negara dan Kerugian BUMN
Dalam Penjelasan Umum UU Tipikor ditegaskan bahwa keuangan negara mencakup seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk yang berada dalam penguasaan BUMN. Definisi ini dipertegas dalam:
- Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara;
- Pasal 1 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara;
- Pasal 7 ayat (1) UU BPK.
Berdasarkan konstruksi tersebut, sebelum revisi, kerugian yang dialami BUMN dianggap sebagai kerugian negara. Hal ini tercermin dalam beberapa kasus besar, misalnya kasus korupsi LNG Pertamina yang melibatkan Karen Agustiawan, di mana kerugian perusahaan dihitung sebagai kerugian negara hingga Rp2,1 triliun, dan menjadi dasar pemidanaan.
Perubahan Paradigma Pasca Revisi UU BUMN
Revisi Ketiga UU BUMN membawa perubahan mendasar. Pasal 4B UU Nomor 1 Tahun 2025 menyatakan bahwa kerugian BUMN tidak lagi dikualifikasikan sebagai kerugian negara. Substansi perubahan ini didasarkan pada pertimbangan:
- Rasio Legis
Jika kerugian BUMN selalu dianggap kerugian negara, maka setiap utang atau kerugian usaha BUMN akan membebani keuangan negara secara langsung. Bahkan, secara ekstrem, negara berpotensi “dipailitkan” bila BUMN tidak mampu melunasi utangnya.
- Paradigma Korporasi
BUMN dipandang sebagai entitas korporasi dengan prinsip separate legal entity. Kerugian yang dialami merupakan risiko bisnis (business loss), bukan kerugian negara. Direksi BUMN sebagai organ perusahaan dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rule (BJR), selama keputusan diambil dengan itikad baik dan berdasarkan kajian yang wajar.
- Naskah Akademik RUU BUMN
Paradigma lama dianggap menghambat keberanian direksi untuk berinvestasi. Dengan adanya pemisahan antara kerugian usaha dan tindak pidana korupsi, diharapkan BUMN lebih leluasa berinovasi tanpa khawatir dikriminalisasi.
Teori Badan Hukum dan Transformasi Hukum
- Teori Badan Hukum (Separate Legal Entity)
Menurut teori badan hukum, BUMN sebagai perseroan adalah entitas hukum yang terpisah dari negara. Ia memiliki organ sendiri (direksi, komisaris, RUPS) dan kekayaan yang terpisah. Dengan demikian, kerugian BUMN adalah kerugian korporasi, bukan kerugian negara.
- Teori Transformasi Hukum (Arifin P. Soeria Atmadja)
Teori ini menegaskan bahwa terjadi transformasi status keuangan negara menjadi keuangan korporasi (waterdicht principle). Begitu kekayaan negara dipisahkan sebagai modal BUMN, maka pengelolaannya tunduk pada hukum privat dengan prinsip Good Corporate Governance, bukan hukum publik.
Business Judgment Rule (BJR) dan Perlindungan Direksi
Prinsip Business Judgment Rule memberikan perlindungan hukum kepada direksi sepanjang keputusan bisnis diambil berdasarkan:
- Fiduciary duty (tanggung jawab kepercayaan);
- Statutory good faith (itikad baik menurut hukum);
- Kajian rasional dan proporsional.
Apabila keputusan tersebut menimbulkan kerugian, direksi tidak dapat dituntut secara pidana, sepanjang tidak terbukti ada niat jahat (mens rea). Bahkan, jika pertanggungjawaban direksi diterima oleh RUPS, maka direksi memperoleh pembebasan tanggung jawab penuh (volledig acquit a de charge).
Perspektif Hukum Internasional (UNCAC)
Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) memberikan batasan yang berbeda:
- Pasal 20 UNCAC: mengatur illicit enrichment yang hanya berlaku untuk pejabat publik, bukan pejabat korporasi.
- Pasal 22 UNCAC: mengatur penggelapan di sektor privat, tanpa kaitan dengan keuangan negara.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam praktik internasional, kerugian BUMN tidak serta-merta menjadi isu korupsi negara. Fokusnya adalah pada integritas pejabat publik dan tata kelola sektor privat.
Implikasi Hukum Pasca Revisi Ketiga UU BUMN
- Lex Posterior Derogat Legi Priori
Revisi Ketiga UU BUMN sebagai regulasi terbaru mengenyampingkan pengaturan sebelumnya dalam UU Tipikor, UU Keuangan Negara, dan UU BPK sepanjang mengenai kerugian BUMN.
- Konsep Omnibus Law
Pasal 94A huruf b UU Nomor 1 Tahun 2025 menegaskan bahwa semua ketentuan peraturan perundangan lain mengenai pengelolaan keuangan negara atas kekayaan BUMN tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam UU BUMN.
- Delik Kerugian Negara Tidak Lagi Berlaku untuk BUMN
Unsur “merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak dapat dikenakan terhadap kerugian BUMN. Dengan demikian, kerugian BUMN dikualifikasikan sebagai kerugian Badan Usaha itu sendiri, bukan kerugian negara.
- Asas Lex Favor Reo
Berdasarkan Teori material tak terbatas, dengan adanya perubahan ketentuan mengenai kerugian BUMN yang bukan merupakan kerugian keuangan negara maka ketentuan tersebutjuga diberlakukan terhadap perkara yang masih berjalan dengan orientasi pada yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Sehingga penerapan ketentuan pidana korupsi terhadap perbuatan tersebut mempertimbangkan asas keadilan substantif dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak terdakwa.
Penutup
Revisi Ketiga UU BUMN membawa perubahan mendasar dalam konstruksi hukum pengelolaan BUMN. Kerugian BUMN kini tidak lagi dipandang sebagai kerugian negara. Perubahan ini menegaskan paradigma korporasi yang menempatkan BUMN sebagai entitas privat dengan tanggung jawab bisnisnya sendiri. Meskipun demikian, bukan berarti BUMN kebal dari hukum. Perbuatan direksi atau pejabat BUMN tetap dapat dijerat pidana bila terbukti ada niat jahat, kolusi, atau penggelapan yang jelas. Namun, kerugian usaha murni akibat keputusan bisnis tidak lagi diproses dengan UU Tipikor. Dengan demikian, Indonesia memasuki babak baru dalam menyeimbangkan perlindungan investasi BUMN dengan pemberantasan korupsi, yang diharapkan mampu menciptakan iklim usaha lebih sehat dan tetap menjaga akuntabilitas publik.
