Dalam negara hukum, keadilan tidak hanya menjadi hak bagi masyarakat pencari keadilan, tetapi juga harus menjadi hak bagi mereka yang menegakkannya. Hakim dan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Mahkamah Agung memikul tanggung jawab besar untuk menjaga tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Namun ironisnya, di balik tugas mulia itu, tidak sedikit di antara mereka yang justru menghadapi tekanan sosial, politik, dan bahkan ancaman hukum akibat pelaksanaan tugas negara yang sah.
Hakim dan ASN peradilan menjadi pihak yang rentan terhadap pelaporan dan kriminalisasi. Mereka dapat dengan mudah dilaporkan ke aparat penegak hukum lain atau digugat di Pengadilan hanya karena putusan atau kebijakan administratif yang diambil tidak memuaskan pihak tertentu. Situasi ini menciptakan paradoks, mereka yang seharusnya menjadi simbol tegaknya hukum justru sering kali menjadi sasaran proses hukum, bahkan sebelum ada kepastian bahwa tindakan yang mereka lakukan benar-benar melanggar ketentuan hukum.
Negara Hukum dan Hak atas Perlindungan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu konsekuensi dari prinsip ini adalah adanya jaminan perlindungan hukum yang setara bagi semua warga negara, termasuk Hakim dan ASN peradilan. Perlindungan hukum bukanlah bentuk istimewa yang menjadikan seseorang menjadi kebal hukum, melainkan mekanisme untuk memastikan setiap warga negara, tanpa terkecuali, mendapatkan keadilan sesuai dengan kedudukannya.
Dalam konteks Hakim dan ASN, perlindungan hukum bersifat khusus karena tugas mereka berada di ruang yang sangat sensitif—antara kepentingan hukum, moral, dan politik. Hakim, misalnya, kerap menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan. Demikian pula ASN di lingkungan peradilan, sering terlibat dalam urusan administratif yang mudah disalahartikan sebagai penyalahgunaan wewenang. Dalam kondisi seperti ini, bantuan hukum kelembagaan bukan hanya diperlukan, tetapi menjadi keharusan.
Perlindungan hukum bagi aparatur peradilan sejatinya juga merupakan bagian dari jaminan konstitusional atas independensi kekuasaan kehakiman, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945. Kemerdekaan kehakiman tidak akan mungkin terwujud bila hakim dan aparatur pendukungnya bekerja dalam kerentanan. Mereka harus memiliki keyakinan bahwa selama melaksanakan tugas sesuai hukum, lembaga tempat mereka bernaung akan hadir untuk melindungi.
Landasan Hukum dan Tanggung Jawab Kelembagaan
Hak atas bantuan hukum ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 56 disebutkan bahwa “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum khususnya untuk pejabat pemerintahan juga diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Hakim dan ASN dapat diposisikan sebagai pejabat pemerintahan karena posisinya sebagai unsur pelaksana fungsi pemerintahan. Terutama bagi Hakim dan ASN yang menduduki jabatan misalnya sebagai Pimpinan Mahkamah Agung, Pimpinan Tinggi Madya dan Pratama, ataupun Pimpinan Pengadilan baik tingkat pertama maupun tingkat banding.
Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b UU AP menyebutkan ruang lingkup pejabat pemerintahan salah satunya adalah “Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif”. Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2) huruf i diatur mengenai hak-hak yang diterima yaitu “memperoleh jaminan perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya” dan huruf j “memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya”. Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) komponen hak pejabat pemerintahan dalam hal ini Hakim dan ASN dalam bidang hukum, yakni perlindungan hukum, jaminan keamanan, dan bantuan hukum selama dalam lingkup pelaksanaan tugas. Pemenuhan hak atas ketiga komponen tersebut belum dapat dilaksanakan secara penuh selama Mahkamah Agung belum memiliki pedoman yang mengatur mekanisme dan ruang lingkupnya.
Dasar yuridis bagi perlindungan ini semakin kuat sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Undang-Undang tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap ASN berhak memperoleh perlindungan, termasuk dalam bentuk bantuan hukum ketika menghadapi masalah hukum akibat pelaksanaan tugas. Pasal 70 UU ASN bahkan menegaskan bahwa instansi pemerintah wajib memberikan perlindungan terhadap ASN, baik dari ancaman fisik maupun dari permasalahan hukum yang timbul dalam menjalankan tugas kedinasan.
Selain dari peraturan nasional, prinsip perlindungan terhadap aparat peradilan juga mendapat dukungan dari norma internasional. Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan bahwa setiap hakim berhak atas perlindungan hukum yang memadai agar dapat menjalankan tugasnya secara bebas dan tidak memihak. Dengan kata lain, perlindungan terhadap hakim bukanlah bentuk kemewahan, melainkan bagian dari standar internasional yang harus dipenuhi oleh setiap negara hukum yang demokratis.
Realitas Sosial: Antara Tekanan dan Kriminalisasi
Dalam praktiknya, banyak Hakim dan ASN peradilan yang menghadapi risiko hukum bukan karena pelanggaran etik, melainkan karena situasi kerja yang kompleks. Tidak semuanya berakhir dengan pembuktian bersalah, tetapi proses hukum yang panjang dan sorotan publik yang keras sering kali menimbulkan trauma serta mencoreng wibawa lembaga peradilan.
Sebagian dari kasus tersebut bahkan menunjukkan kecenderungan kriminalisasi terhadap aparatur yang sebenarnya menjalankan tugas sesuai prosedur. Ketika seorang Hakim memutus perkara dan pihak yang kalah melaporkannya dengan tuduhan keberpihakan, atau ketika pegawai pengadilan menjalankan perintah kedinasan dan kemudian dituduh melakukan maladministrasi, mereka tidak hanya menghadapi tekanan hukum, tetapi juga tekanan sosial. Tanpa adanya mekanisme bantuan hukum kelembagaan, mereka cenderung menghadapi situasi itu seorang diri.
Kondisi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga dapat mengancam independensi kelembagaan. Hakim atau ASN peradilan yang merasa tidak terlindungi akan cenderung bersikap hati-hati secara berlebihan atau bahkan enggan mengambil keputusan tegas dalam tugasnya. Akibatnya, kualitas pelayanan peradilan dapat menurun, dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan semakin tergerus.
Perlindungan Bukan Pembenaran
Sering kali muncul kekhawatiran bahwa pemberian bantuan hukum bagi Hakim dan ASN peradilan akan menimbulkan kesan seolah lembaga ingin melindungi pelanggaran atau menciptakan impunitas. Pandangan semacam ini perlu diluruskan. Bantuan hukum kelembagaan tidak identik dengan pembenaran terhadap perbuatan melanggar hukum. Sebaliknya, pedoman bantuan hukum justru menjadi mekanisme untuk menilai secara objektif apakah tindakan yang dilakukan aparatur benar-benar berkaitan dengan tugas kedinasan atau merupakan penyimpangan pribadi.
Mahkamah Agung sebagai puncak lembaga peradilan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan seluruh aparatur di bawahnya bekerja dalam sistem yang adil dan aman. Kehadiran pedoman bantuan hukum akan menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya menuntut integritas dari aparaturnya, tetapi juga memberikan dukungan kelembagaan ketika mereka menghadapi risiko hukum akibat melaksanakan tugas.
Konsistensi penerapan pedoman ini juga akan memperkuat kepercayaan publik. Masyarakat akan melihat bahwa bantuan hukum diberikan secara transparan, selektif, dan proporsional. Mereka yang bekerja dengan benar mendapatkan bantuan, sementara mereka yang melanggar tetap diproses sesuai hukum. Dalam jangka panjang, keadilan internal seperti inilah yang akan menumbuhkan keadilan eksternal: ketika lembaga peradilan mampu melindungi dirinya secara adil, maka ia juga akan mampu menegakkan keadilan bagi masyarakat dengan lebih bermartabat.
Penutup
Keadilan sejati tidak berhenti di ruang sidang. Ia juga harus hidup di dalam ruang-ruang kerja para Hakim dan ASN peradilan. Pedoman Pelaksanaan Bantuan Hukum bagi Hakim dan ASN di lingkungan Mahkamah Agung bukan sekadar aturan administratif, tetapi merupakan perwujudan nyata dari tanggung jawab negara untuk melindungi mereka yang menjaga tegaknya hukum.
Mahkamah Agung dapat menegaskan komitmennya bahwa perlindungan hukum dan integritas peradilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seorang Hakim yang berani memutus dengan adil, dan seorang ASN yang bekerja dengan integritas, harus merasa bahwa negara hadir di sisinya. Sebab, keadilan hanya bisa ditegakkan oleh mereka yang hidup dalam keadilan. Dan negara hukum hanya akan bermakna jika ia melindungi penegak hukumnya sebagaimana ia melindungi rakyatnya.


