Peradilan Militer sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman[1], merupakan bagian dari 4 (empat) lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yang mempunyai kedudukan untuk menegakan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara[2], pada saat ini tentunya tidak terlepas dari adanya pergeseran paradigma hukum sehingga kondisi tersebut tentunya mempunyai konsekwensi yaitu perlu adanya pembahruan hukum, salah satunya adalah tentang bentuk pemidanaan, yang secara tidak langsung mempengaruhi proses pelaksanaan penyelesaian perkara di lingkungan Peradilan Militer, termasuk adanya penyelesaian perkara yang berpedoman pada keadilan restoratif. Salah satu perkara yang menjadi kajian dalam tulisan ini adalah perkara KDRT yang diselesaikan melalui keadilan restoratif dengan menerapkan pemaafan dari hakim (Rechtelijk Pardon) dalam presfektif keadilan bermartabat.
[1] Rechtelijk Pardon merupakan sebuah konsep baru dalam RKUHAP, yang memberikan kewenangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, sehingga hakim tidak hanya terikat pada tiga jenis putusan yang diatur dalam KUHAP yaitu putusan pemidanaan, putusan bebas dari segala dakwaan dan putusan lepas dari segala tuntutan. Pemaafaan merupakan suatu bentuk pengampunan/pembebasan dari kesalahan yang dilakukan. Sebagai bentuk pengampunan, maka dengan adanya pemaafan, seseorang yang bersalah tidak dijatuhi hukuman atau tidak perlu merasakan hukuman.Ketentuan seperti ini pada dasarnya ada dalam pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) yang diatur dalam Pasal 14a-14f KUHP. Pidana bersyarat juga disebut oleh sebagaian kalangan dengan istilah pidana percobaaan atau ada juga mengistilahkan dengan sebutan hukuman dengan bersyarat.
[2] Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI Tahun 2009 No. 157 TLNRI No. 5076. Pasal 18.
[3] Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, LNRI No. 84 TLNRI, No. 3713. Pasal 5 ayat (1).
Baca Artikel selengkapnya di sini. ![]()


