Jakarta, 3 November 2025 — Rapat Kerja Penyusunan Putusan Landmark Decision resmi dibuka oleh Kepala Badan Strategi dan Kebijakan Peradilan (BSDK) Mahkamah Agung, Dr. Syamsul Arif, di Hall The Groove Hotel, Episentrum Kuningan, Jakarta, sore tadi. Hadir dalam kegiatan ini Sekretaris BSDK MA, Achmad Jufri, S.H., M.H., para Panmud Kepaniteraan MA, para Hakim yustisial BSDK, serta para pejabat eselon III dan IV di lingkungan BSDK MA.
Dalam sambutannya, Dr. Syamsul menegaskan bahwa landmark decision bukan sekadar putusan penting yang mencuri perhatian publik, melainkan tonggak pembentukan hukum yang memiliki kekuatan filosofis dan daya ubah terhadap sistem hukum nasional. Menurutnya, suatu putusan baru dapat disebut landmark decision bila memuat kaidah hukum baru, penafsiran progresif, atau bahkan rumusan norma baru yang memperkaya khazanah hukum dan menjadi rujukan lintas peradilan.

“Putusan yang memberi terang pada area abu-abu, mengatasi kekosongan, dan memperluas perlindungan hukum bagi masyarakat—itulah yang layak disebut landmark. Landmark Decision itu lahir dari akal jiwa hakim progresif”, ujar Syamsul di hadapan peserta rapat kerja. Ia menambahkan, landmark decision juga harus memiliki dampak luas dan keberlanjutan: menjadi preseden, diikuti hakim lain, dan bahkan menjadi bahan kodifikasi hukum positif di masa depan.
Dalam uraian yang menggugah. Syamsul menyinggung sejumlah ilustrasi perkara yang memantik perdebatan hukum dan moral di pengadilan. Misalnya, Putusan perkara pidana Paser Penajam terhadap anak tahun 2024 yang menantang batas maksimum pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Majelis Hakim menjatuhi hukuman pada seorang anak usia16 Tahun karena membunuh 1 keluarga sebanyak 5 orang dalam 1 malam lalu 2 korban perempuan yang sudah mati itu masih sempat disetubuhi. “Apakah kita berani mengkualifikasikan putusan perkara ini sebagai landmark decision karena putusannya menyerap rasa keadilan keluarga korban dan masyarakat karena kejinya perbuatam terpidana atau mengganggap putusan ini sebagai putusan unprofesional conduct?”, gugah Syamsul ke puluhan peserta. Syamsul juga menjelaskan bahwa kasus serupa pernah terjadi pada 29 Januari 1979 ketika Brenda Spencer remaja perempuan usia 16 tahun di pagi hari menembaki anak-anak dan orang dewasa di halaman Sekolah Dasar Cleveland di San Diego California menewaskan kepala sekolah dan petugas sekuriti sekolah. Ketika kepadanya mengapa dia melakukan penembakan itu, Brenda Spencer menjawab: “Karena saya benci hari Senin”. Motif itu yang melahirkan lagu terkenal dengan judul “i dont like monday”. Pelakunya bahkan sampai tahun 2025 ini mengajukan pembebasan bersayarat tidak dikabulkan. “Landmark decision dalam putusan majelis hakim PN paser penajam itu melahirkan kaidah hukum baru bahwa terhadap tindak pidana yang diancam hukuman seumur hidup dan hukuman mati dalam pasal 81 ayat (6) UU SPPA hakim boleh menjatuhi pidana penjara melebihi 10 tahun sepanjang tindak pidana pembunuhan keji dan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang anak tanpa indikasi adanya alasan pemaaf”, simpul Syamsul. Kemudian Syamsul juga memberi contoh Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu tahun 2013 yang memberi tafsir baru dalam perkara persetubuhan dan pencabulan subyek pelaku bisa berlaku pada perempuan tidak melulu pelakunya laki-laki. Sehingga putusan itu menjadi rujukan subyek pelaku perkara penyerangan terhadap kehormatan tubuh pelakunya bisa perempuan dengan korban laki-laki dalam KUHP baru. Lalu pada tahun 2015 majelis hakim PN Bengkulu menjatuhi pidana terhadap oknum polisi dengan memperluas makna “ancaman kekerasan” dalam Pasal 285 KUHP dari sekadar kekerasan dan ancaman kekerasan dalam pengertian klasik fisik diubah dalam tafsir ancaman kekerasan termasuk di dalamnya bujuk rayu dan janji muslihat menikahi korban gadis yang mengalami pendarahan hebat usai disetubuhi lalu ditinggalkan dalam konteks relasi pacaran.



“Pertanyaan kuncinya,” ujar Dr. Syamsul, “di mana letak terobosan hukumnya? Apakah putusan itu sekadar mengulang tafsir lama, atau benar-benar memperbaiki arah hukum menuju keadilan substantif? Jika ia mengubah cara kita memahami hukum, maka di situlah nilai landmark decision itu lahir.”
Lebih jauh, Kepala BSDK menjelaskan bahwa kegiatan penyusunan landmark decision ini tidak hanya dimaksudkan untuk mendata atau mengompilasi putusan, tetapi juga untuk menghidupkan kembali semangat intelektual yudisial. Ia menegaskan pentingnya merumuskan kaidah hukum yang jernih, resume putusan yang akurat, serta narasi populer untuk disiarkan melalui kanal resmi BSDK agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
Dr. Syamsul juga menyoroti pentingnya kemampuan legal translation dan legal interpreting di kalangan hakim dan peneliti hukum. Menurutnya, penerjemahan hukum bukan sekadar memindahkan bahasa, tetapi menyalurkan makna substantif dari setiap norma. “Kaidahnya jelas, narasinya terang, dan pesannya sampai. Di situ letak kemanfaatan kerja ilmiah kita,” tegasnya.
Menutup sambutannya, Dr. Syamsul menegaskan bahwa setiap landmark decision harus berorientasi pada kemanfaatan bagi manusia dan masyarakat, sebagaimana diajarkan Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Ia mengingatkan bahwa keadilan yang sejati bukan hanya soal kepastian dan legalitas, tetapi tentang sejauh mana hukum membawa the greatest happiness for the greatest number.


“Landmark decision yang sejati bukan hanya preseden lembaga, melainkan karya kemanusiaan yang memberi manfaat, mencerahkan akal budi, dan meneguhkan moralitas hukum,” tuturnya. Ia menutup dengan pesan reflektif bahwa hakim yang melahirkan putusan visioner sejatinya sedang menulis bab penting dalam sejarah hukum bangsa—bab tentang keberanian berpikir, kejujuran moral, dan tanggung jawab sosial dalam menegakkan keadilan yang berdaya guna bagi umat manusia.


