Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia sudah bertransformasi. Berkat inovasi seperti SIPP, e-Court, dan e-Berpadu, wajah layanan peradilan kini lebih efisien dan transparan. Namun, di balik kemajuan digital ini, tersembunyi sebuah masalah besar yang harus segera diatasi: fondasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang belum seragam dan andal di seluruh pengadilan di Indonesia. Inilah alasan mengapa standardisasi TIK menjadi begitu mendesak, bukan sekadar wacana melainkan sebuah keharusan.
Insiden Kritis dan Potret Nyata Kesenjangan
Kebutuhan standardisasi ini dipicu oleh sejumlah insiden kritis. Bayangkan, terjadi pemadaman listrik di Pusat Data MA yang berujung pada kerusakan database SIPP dan melumpuhkan layanan di seluruh pengadilan. Insiden lain yang tak kalah serius adalah habisnya lisensi sebuah aplikasi vital yang membuat proses administrasi perkara mandek secara nasional. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam tata kelola infrastruktur TIK.
Tak hanya di pusat, tantangan di daerah, terutama di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), jauh lebih nyata dan seragam. Di sebuah pengadilan kecil di wilayah kepulauan terpencil, suara tegas seorang sekretaris menggambarkan realitas lapangan yang sering luput dari perhatian pusat.
“Ya bagaimana Pak, kalau di sini tidak ada yang mengerti IT, ya saya sebagai sekretaris berusaha mengerti. Kadang juga minta bantuan staf yang ngerti sedikit-sedikit. Tapi memang di satker kami tidak ada ahlinya, Pak,” ujarnya dengan nada apa adanya.
Kalimat sederhana itu adalah cermin ketangguhan aparatur peradilan di garis depan. Di tengah segala keterbatasan sumber daya, mereka tetap berupaya memastikan layanan peradilan berbasis digital terus berjalan. Inilah potret nyata kesenjangan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) antara pengadilan di kota besar dan satuan kerja di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
- Kesenjangan Infrastruktur.
Isu strategis di lingkungan peradilan salah satunya adalah belum ada standar TIK. Saat ini, infrastruktur digital di berbagai satuan kerja peradilan masih dikembangkan secara parsial dan tidak seragam. Setiap satker memiliki pendekatan sendiri, baik dari perangkat keras hingga jaringan, karena belum ada acuan teknis yang menyeluruh.
Banyak pengadilan di daerah kepulauan berjuang melawan pemadaman listrik yang bisa terjadi berkali-kali sehari. Kondisi ini bertambah sulit dengan Genset atau UPS yang rusak atau tidak memadai, membuat layanan digital lumpuh total.
- Kerentanan Keamanan Siber.
Keamanan siber juga menjadi tantangan besar, karena belum terdapat standar keamanan yang seragam, yang membuat banyak satker menjadi sasaran serangan siber. Insiden peretasan situs web dan penyisipan konten judi online adalah temuan berulang di berbagai daerah. Ini sering terjadi karena belum adanya antivirus berlisensi dan minimnya pembaruan keamanan (security update) yang teratur.
- Kekurangan SDM TIK.
Faktor sumber daya manusia adalah tantangan lain. Beberapa pengadilan, terutama di daerah terpencil, tidak punya personel IT yang mumpuni, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki SDM IT, atau hanya bergantung pada staf non-IT yang belajar secara otodidak. Belum ada program pelatihan teknis yang merata dan terpusat dari Mahkamah Agung untuk menjembatani kesenjangan keahlian ini. Pengelolaan teknologi terpaksa dilakukan oleh staf non-teknis, yang tentu berisiko tinggi.
- Tata Kelola Aset yang Lemah.
Inventarisasi aset TIK yang belum tertata dengan baik dan maraknya penggunaan laptop pribadi untuk tugas kedinasan menciptakan risiko keamanan serius dan kerumitan dalam pengelolaan aset negara.
Fokus Strategis dengan Membangun Fondasi yang Sama
Menanggapi semua tantangan ini, Badan Strategi Kebijakan dan Pembangunan Hukum (BSDK) ditugaskan untuk melakukan kajian mendalam dan menyusun naskah urgensi sebagai landasan bagi kebijakan strategis standardisasi TIK. Upaya penyusunan naskah urgensi ini dikoordinatori oleh Dr. Sobandi, S.H., M.H., yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung.
Keputusan strategis penyusunan naskah urgensi ini sebagai upaya standardisasi yang akan difokuskan terlebih dahulu pada fondasi paling fundamental, yaitu perangkat keras (hardware), sarana, dan prasarana TIK. Langkah ini diambil karena infrastruktur yang andal dan seragam adalah prasyarat utama agar semua aplikasi dan layanan digital MA dapat berjalan dengan baik.
Arah kebijakan ini sepenuhnya selaras dengan struktur tata kelola TIK di lingkungan Mahkamah Agung yang tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 93A/KMA/SK.TI2/IV/2024 bertanggal 18 April 2024, yang mengamanatkan Sekretaris Mahkamah Agung sebagai Chief Information Officer (CIO) dengan kewenangan tertinggi dalam pengelolaan TIK.
Langkah Konkret Menuju Keadilan yang Merata
Untuk menjalankan transformasi ini, kajian strategis MA mengajukan rekomendasi pembentukan Tim Standardisasi TIK Nasional. Tim ini akan merumuskan, mengimplementasikan, dan mengawasi standardisasi di seluruh lingkungan peradilan.
Selain itu, akan ada:
- Penetapan Standar Teknis.
Penyusun naskah urgensi mengajukan rekomendasi pembentukan Tim Standardisasi TIK Nasional. Tim ini akan merumuskan, mengimplementasikan, dan mengawasi kebijakan standardisasi TIK di seluruh lingkungan peradilan.
Langkah ini akan dibarengi dengan penetapan standar teknis infrastruktur dan keamanan, mencakup spesifikasi perangkat keras, jaringan, kebijakan kata sandi, enkripsi data, penggunaan VPN, firewall, hingga sistem deteksi ancaman siber.
- Program Pelatihan SDM.
Mahkamah Agung juga mendorong program pelatihan TIK terpusat dan terstandar, guna meningkatkan kompetensi aparatur di semua level. “Kami ingin setiap petugas, baik di kota besar maupun di daerah terpencil, punya kemampuan yang setara untuk mengelola sistem peradilan digital,” ujar salah satu perumus kebijakan TIK MA. Program pelatihan TIK terpusat dan terstandar ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi aparatur, serta memastikan pemerataan kompetensi di seluruh peradilan.
- Audit dan Evaluasi Berkala.
Agar kebijakan standardisasi tidak berhenti di atas kertas, kajian ini juga menekankan pentingnya audit dan evaluasi berkala. Setiap unit kerja akan diperiksa tingkat kepatuhannya terhadap standar TIK nasional. Hasil audit menjadi dasar perbaikan berkelanjutan sehingga sistem peradilan digital selalu adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Pada intinya, penyusunan kebijakan standardisasi TIK ini bukanlah tujuan akhir, melainkan langkah awal yang paling penting dalam kerangka transformasi digital MA yang jauh lebih besar. Standardisasi TIK ini adalah investasi dalam ketangguhan digital peradilan Indonesia agar keadilan bisa diakses merata dari Sabang sampai Merauke.
Dengan standar yang sama, MA dapat menjamin sistem yang saling terhubung (interoperabilitas), meningkatkan keamanan data, mencapai efisiensi anggaran, dan yang terpenting, memperkecil jurang kualitas layanan publik antarwilayah. Ini adalah fondasi untuk memastikan bahwa setiap warga negara, di mana pun mereka berada, mendapatkan akses terhadap keadilan (access to justice) yang andal, aman, dan setara di era digital. Keadilan tidak boleh terhambat oleh sinyal yang lemah atau server yang usang. Keadilan harus hadir cepat, tangguh, dan setara di mana pun masyarakat berada.


