Registrar Tim Luxton, edited by Cecep Mustafa Pustrajak
Kita sering tergoda mengukur keberhasilan mediasi dari satu hal yang paling kasat mata: apakah para pihak akhirnya menandatangani kesepakatan. Padahal, kalau mau jujur, inti keberhasilan mediasi tidak terletak pada selembar kertas perjanjian, melainkan pada perjalanan batin dan rasionalitas yang tumbuh di ruang-ruang perundingan itu sendiri. Mediasi yang baik justru sering melahirkan kesadaran baru — tentang posisi, risiko, dan realitas perkara — yang tidak akan pernah ditemukan dalam dinginnya ruang sidang.
Banyak pihak datang ke meja mediasi seperti prajurit yang siap perang, bukan pencari solusi. Mereka membawa dendam, ego, dan keyakinan bahwa hakim nanti akan berpihak pada mereka. Mereka lupa bertanya pada diri sendiri: apakah argumenku cukup kuat di mata hukum? Apakah bukti-bukti yang kubawa mampu menegakkan keyakinanku? Dan andai menang pun, apakah kemenangan itu benar-benar membawa damai? Mediasi, dalam makna yang paling luhur, adalah cermin yang memaksa kita menatap wajah hukum tanpa topeng emosi — melihat bahwa hukum bukan hanya tentang siapa yang benar, tapi bagaimana mencari kebenaran tanpa saling melukai.
Ada beberapa kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman panjang para mediator. Pertama, mediasi tidak boleh dijalani sekadar formalitas, hanya karena diperintahkan oleh hakim atau diwajibkan undang-undang. Mediasi yang hidup hanya lahir dari kesungguhan niat. Kedua, budaya mediasi tak bisa dibangun lewat seminar atau diktat hukum, tapi melalui pengalaman langsung: dari ruang ke ruang, dari perkara ke perkara, hingga tumbuh keyakinan bahwa jalan damai kadang lebih gagah daripada menang di pengadilan. Ketiga, hakim punya peran sentral. Ketika hakim menjelaskan tujuan mediasi dengan ketulusan dan kejelasan, para pihak akan menatap proses ini dengan hormat, bukan dengan curiga. Keempat, persiapan dan komunikasi awal menentukan nada keseluruhan. Dialog sederhana sebelum hari-H, informasi yang terang dan jernih, bisa menumbuhkan rasa percaya. Kelima, jangan remehkan ruang dan suasana. Tempat yang nyaman, privat, dan manusiawi bisa membuka hati lebih cepat daripada argumen hukum yang kaku.
Pelajaran pentingnya: mediasi yang baik bukanlah mediasi yang cepat selesai, tetapi yang membuat para pihak berani berpikir ulang — tentang niat, tentang dampak, tentang masa depan. Di sanalah letak nilai keadilan yang sesungguhnya: ketika orang yang semula datang dengan amarah, pulang dengan pengertian. Mediasi, jika dipahami dan dijalankan dengan benar, adalah cara peradilan menegakkan keadilan yang berjiwa — bukan keadilan yang hanya hidup dalam pasal-pasal.
Pengalaman banyak negara telah membuktikan: mediasi bukan jalan alternatif, melainkan bagian utuh dari wajah peradilan modern. Di Indonesia, penguatan mediasi sejatinya adalah pengejawantahan cita hukum nasional: peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan, namun bernilai tinggi secara substantif. Bila Mahkamah Agung mampu menumbuhkan ekosistem mediasi yang sehat, memperkuat kapasitas hakim mediator, dan menciptakan ruang yang mendukung percakapan damai, maka mediasi bisa menjadi gerbang awal menuju reformasi peradilan yang lebih manusiawi. Sebab tugas pengadilan bukan sekadar memberi putusan, melainkan menuntun masyarakat menemukan keadilan — yang tidak hanya sah di atas kertas, tapi juga tenang di dalam hati.