Filsafat Hukum Bukan Sekadar Teori di Langit
Selama ini, filsafat hukum sering dianggap sesuatu yang jauh dari ruang sidang. Ia seperti teori di awang-awang—indah, tapi tidak menyentuh tanah. Padahal, setiap kali seorang hakim mengetuk palu, di situ ada nilai-nilai filsafat yang hidup: keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.
Hakim bukan sekadar “corong undang-undang” (la bouche de la loi). Ia adalah penafsir nurani hukum, penjaga nilai moral di tengah teks-teks pasal yang kaku. Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan, “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” (Satjipto Rahardjo,2009:17). Kalimat itu menegaskan bahwa hukum seharusnya melayani keadilan, bukan mengekang rasa kemanusiaan.
Tiga Nilai Dasar Hukum yang Harus Seimbang
Filsafat hukum mengajarkan bahwa hakim tak boleh berhenti pada bunyi pasal. Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum asal Jerman, menyebut tiga nilai dasar yang harus berjalan beriringan: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan (Gustav Radbruch 1950:74).
Masalahnya, dalam perkara pidana ketiga nilai ini sering saling bertabrakan. Ada saat ketika menegakkan kepastian hukum berarti mengorbankan rasa keadilan, atau ketika mengejar keadilan bisa mengabaikan kepastian. Di sinilah filsafat membantu hakim menyeimbangkan semuanya dengan kebijaksanaan.
Membaca Hukum dengan Nurani
“Membumikan filsafat” berarti membuat nilai-nilai itu hidup dalam praktik. Hakim tidak hanya membaca teks undang-undang, tapi juga memahami konteks sosial dan moralnya.
Contohnya, dalam perkara pidana anak, hakim tidak cukup sekadar melihat unsur pasal 81 UU SPPA. Ia juga harus mempertimbangkan the best interest of the child — kepentingan terbaik bagi anak. Filsafat membantu hakim menafsirkan hukum dengan hati, bukan hanya dengan logika.
Pendekatan seperti ini disebut hermeneutika hukum: seni menafsirkan hukum agar tetap manusiawi.
Etika Hukum dan Keadilan Restoratif
Dalam pandangan Aristoteles, keadilan bukan semata-mata soal menghukum, tapi memulihkan keseimbangan. Prinsip ini melahirkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) — fokus pada pemulihan hubungan ke keadaan semula antara korban dengan pelaku, tanggung jawab pelaku, dan harmoni sosial.
Hakim yang berfilsafat akan memandang pidana bukan sebagai balas dendam negara (retributif), melainkan sarana memperbaiki manusia dan masyarakat (rehabilitatif). Ini sangat relevan dalam konteks hukum Indonesia yang berakar pada nilai-nilai kekeluargaan.
Penemuan Hukum Berbasis Nilai Pancasila
Ketika hukum positif tidak memadai, hakim harus berani “menemukan hukum”. Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”(Sudikno Mertokusumo 2010 :11)
Nilai-nilai itu di Indonesia berakar pada Pancasila:
- Ketuhanan, agar putusan bermoral dan berkeadaban;
- Kemanusiaan, agar terdakwa tetap diperlakukan bermartabat;
- Keadilan Sosial, agar putusan tidak hanya adil bagi individu, tapi juga bagi masyarakat luas.
Membumikan filsafat berarti menjadikan Pancasila bukan sekadar slogan, tapi napas dalam setiap putusan.
Belajar dari Yurisprudensi
Sejarah peradilan Indonesia menunjukkan bahwa keberanian hakim dalam berpikir filosofis mampu mengoreksi ketidakadilan. Kasus Sengkon dan Karta, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 6 PK/Kr/1980 menjadi simbol keberanian untuk memperjuangkan kebenaran materil, meski harus mengoreksi kesalahan peradilan masa lalu. Putusan ini menunjukkan bagaimana filsafat hukum hidup di ruang sidang — menjadi cahaya di tengah formalisme hukum.
Penutup: Hakim sebagai Filsuf Keadilan
Membumikan filsafat hukum bukan berarti mengaburkan hukum, tetapi menghidupkannya. Hakim yang berfilsafat tidak sekadar bertanya “apa bunyi undang-undang?”, melainkan “apa yang adil bagi manusia?”.
Ketika hakim menimbang rasa keadilan, di situlah filsafat bekerja. Filsafat membuat hukum lebih manusiawi, dan menjadikan hakim bukan hanya penafsir pasal, tapi penafsir keadilan –interpreter of justice, bukan sekadar interpreter of law.
Filsafat hukum bukan milik kampus atau buku teks. Ia hidup di ruang sidang, di hati nurani setiap hakim, dan di setiap putusan yang menegakkan keadilan. Dengan membumikan filsafat, hukum Indonesia tak hanya menjadi sistem aturan, tapi juga wajah kemanusiaan itu sendiri.
Taman bacaan.
- Gustav Radbruch. Legal Philosophy. Oxford: Clarendon Press, 1950.
- Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas, 2009.
- Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2010.
- Notonagoro. Pancasila: Dasar Falsafah Negara. Jakarta: BP7, 1984.


