Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

October 11, 2025

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 2025

Refleksi Kritis: Mengembalikan Marwah Widyaiswara dalam Ekosistem Pendidikan dan Pelatihan

October 10, 2025
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Home » Menatap Langit Halimun: Belajar Keadilan dari Sayap Elang Jawa
Features

Menatap Langit Halimun: Belajar Keadilan dari Sayap Elang Jawa

Dari Lembah Pinus Hingga Ketinggian Langit, Para Hakim Lingkungan Menemukan Makna Keadilan Ekologis di Rumah Sang Garuda.
October 9, 20257 Mins Read
https://suarabsdk.com/storage/2025/10/1920-1.mp4
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp
Post Views: 40

Elang Jawa adalah cermin langit Nusantara — gagah, tapi rapuh. Ia bukan sekadar burung pemangsa, melainkan simbol keseimbangan yang mengikat manusia dengan alamnya. Dalam diamnya, Elang Jawa mengingatkan bahwa kehidupan di bumi hanya akan bertahan sejauh manusia menjaga ruang terbangnya. Hilangnya satu elang bisa berarti hancurnya harmoni seluruh ekosistem hutan.

Di tengah laju pembangunan dan perburuan yang terus menekan, populasi Elang Jawa kian menyusut. Padahal, satwa endemik ini bukan hanya penjaga rantai kehidupan, tetapi juga lambang Garuda — lambang negara yang seharusnya merefleksikan kebijaksanaan dan keberanian dalam melindungi kehidupan. Menyelamatkan Elang Jawa berarti menyelamatkan jati diri bangsa.

Kesadaran inilah yang menjadi ruh perjalanan 64 hakim peserta Pelatihan Hakim Lingkungan Tingkat Lanjut saat mereka berkunjung ke Pusat Suaka Satwa Elang Jawa di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Loji, Bogor. Dipimpin oleh Dr. Syamsul Arif, Kepala BSDK Mahkamah Agung, mereka tidak sekadar menyaksikan satwa langka, tetapi juga menimba pelajaran tentang hukum alam dan tanggung jawab manusia terhadap kehidupan.

Kunjungan lapangan yang difasilitasi Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (BSDK) Mahkamah Agung ini dipimpin langsung oleh Dr. Syamsul Arif, yang memulai hari dengan ajakan reflektif. “Melihat keanekaragaman hayati berarti melihat esensi peradaban,” ujarnya sambil menatap ke langit yang perlahan terang. “Elang Jawa telah hidup seribu tahun lebih, menjadi perantara kita untuk memahami masa lalu dan masa depan.”

Menurut pria asli Krui, Lampung ini, keberadaan Elang Jawa adalah cermin kesadaran ekologis bangsa. “Garuda yang gagah di lambang negara kita sesungguhnya terinspirasi dari Elang Jawa (Nisaetus bartelsi). Ia simbol keteguhan, tapi juga peringatan,” ujar Dr. Syamsul. “Ketika populasi manusia terus mendesak habitatnya, maka sejatinya kita tengah menyingkirkan bagian dari diri kita sendiri.”

Di tengah udara yang sejuk, para peserta menyimak pemaparan Suwardi, jagawana senior kawasan konservasi. Ia menjelaskan tahap-tahap rehabilitasi Elang Jawa yang panjang dan penuh kesabaran. “Kalau sakit, kami isolasi dulu. Setelah pulih, dikarantina sekitar sebulan, lalu dipindah ke kandang yang lebih besar,” terangnya. Proses ini bisa memakan waktu hingga satu tahun, tergantung kondisi fisik dan perilaku satwa. “Elang Jawa itu sensitif, manja, dan perlu adaptasi mental sebelum kembali ke alam.”

Rangkaian perawatan tersebut menuntut biaya besar. “Sekitar lima puluh juta rupiah per ekor per tahun, dari masa perawatan sampai pelepasliaran,” lanjut Suwardi. “Kami pasang marken dan GPS kecil agar pergerakannya bisa dipantau lewat ponsel. Beratnya hanya tiga persen dari tubuhnya, jadi tidak mengganggu terbang.” Dari sistem itu, petugas dapat memantau apakah elang sudah mampu berburu, bertahan, dan beradaptasi di habitat barunya.

Mendengarkan itu, para hakim tampak tertegun. Bagi mereka, angka dan tahapan yang disebutkan bukan sekadar data, melainkan simbol betapa rapuh dan berharganya keseimbangan alam. Seorang peserta berbisik lirih, “Ternyata, untuk memulihkan satu ekor elang saja butuh kesabaran dan dana sebesar itu. Betapa mahal harga dari kelalaian manusia.”

Dr. Syamsul menanggapi refleksi itu dengan kalimat yang mengena: “Hukum lingkungan seharusnya bekerja seperti ekosistem. Tidak terburu-buru, tapi pasti. Tidak menghukum tanpa memulihkan. Itulah keadilan ekologis — keseimbangan antara tindakan dan kehidupan.” Para peserta mengangguk, menyadari bahwa dalam konteks lingkungan, keadilan bukan hanya vonis, melainkan upaya menyembuhkan luka bumi.

Sambil menelusuri jalur setapak menuju kandang observasi, Dr. Syamsul menunjuk hamparan pohon pinus yang menjulang. “Tahukah Anda, getah dari pinus ini adalah bahan dasar kosmetik yang kita pakai sehari-hari?” katanya sambil tersenyum. “Alam memberi tanpa banyak bicara. Tugas kita adalah memastikan pemberian itu tidak menjadi korban keserakahan.” Kalimat sederhana itu seolah menyalakan kesadaran baru di benak peserta — bahwa hukum lingkungan berakar dari rasa syukur dan tanggung jawab.

Beberapa peserta kemudian diajak menyaksikan momen pemberian makan elang. Seekor Elang Jawa muda tampak gagah mengepakkan sayapnya setelah melahap santapan pagi. “Tiga hari pertama setelah dilepas, elang akan menghabiskan semua makanannya, lalu membakar lemak tubuh. Kalau bertahan seminggu, artinya dia sudah siap hidup mandiri,” jelas Suwardi. Di langit Halimun, seekor elang dewasa melintas — mungkin salah satu yang pernah mereka rawat.

Suasana hening sejenak. Para hakim berdiri dalam diam, menyaksikan makhluk yang dulu hanya mereka kenal dari lambang negara kini menari bebas di langit. Dalam pandangan mereka, ada campuran kagum dan haru. Seolah menyadari bahwa perjuangan hukum untuk melindungi lingkungan tidak pernah benar-benar selesai, namun selalu layak diperjuangkan.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak sendiri menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa — lebih dari 2.800 jenis fauna dan 700 jenis flora hidup di dalamnya. Ia bukan sekadar kawasan lindung, tapi menara air bagi lima daerah aliran sungai besar di Jawa Barat dan Banten, menopang kehidupan lebih dari 2,4 juta jiwa di sekitarnya. Dalam pandangan ekologis, melindungi Halimun berarti menjaga denyut kehidupan manusia.

Elang Jawa sebagai predator puncak adalah penjaga keseimbangan rantai makanan di hutan tropis ini. Hilangnya satu elang bisa mengubah perilaku seluruh ekosistem: meningkatnya populasi hewan pengerat, rusaknya vegetasi, dan terganggunya regenerasi hutan. “Kehilangan elang berarti kehilangan arah,” kata Dr. Syamsul. “Ia bukan hanya burung, tapi barometer moral kita terhadap alam.”

Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, upaya pemulihan habitat di TNGHS menunjukkan hasil menggembirakan. Dari 13.000 hektar area terdegradasi, sekitar 8.000 hektar sudah dipulihkan. Tahun 2021, Elang Jawa kembali terpantau di Koridor Halimun–Salak — sebuah peristiwa yang oleh para jagawana disebut sebagai ‘tanda alam memaafkan’.

Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) kini menjadi jantung konservasi spesies raptor di Indonesia. Sejak diresmikan tahun 2015, lembaga ini tidak hanya melakukan rehabilitasi, tetapi juga pendidikan, penelitian, dan kampanye kesadaran publik. Visi besarnya: menjadi pusat rehabilitasi burung pemangsa pegunungan berskala internasional. Misi ekologinya: mengembalikan satwa ke alam, dan mengembalikan manusia pada kesadarannya.

Kegiatan rehabilitasi di PSSEJ mengikuti standar etika dan kesejahteraan satwa. Setiap elang yang datang — hasil sitaan, evakuasi, atau serahan masyarakat — akan diperiksa kesehatannya, dikarantina, diamati perilakunya, dan hanya dilepas jika memenuhi lima indikator: agresif, mandiri, mampu berburu, memiliki teritori, dan minim kontak manusia. Semua dicatat teliti dalam formulir pemantauan perilaku.

Proses ini bisa berlangsung setahun penuh, dengan biaya sekitar 20 juta rupiah per ekor. “Setiap rupiah yang kita keluarkan adalah investasi bagi keseimbangan bumi,” ujar Suwardi. Saat seekor elang kembali terbang ke langit, bukan hanya satwa itu yang diselamatkan, melainkan juga harapan manusia untuk hidup selaras dengan alam.

Dr. Syamsul mengaitkan proses rehabilitasi ini dengan filosofi hukum progresif. “Hakim harus belajar dari cara alam menyeimbangkan dirinya. Tidak semua yang rusak harus dibuang; sebagian bisa disembuhkan. Begitulah hukum lingkungan: menuntut tanggung jawab, tapi juga memberi kesempatan untuk memperbaiki.” Pesan ini mengalun di benak peserta, meneguhkan peran moral hakim dalam memelihara kehidupan.

Sejak 2015 hingga kini, PSSEJ telah melepasliarkan 78 individu burung pemangsa, termasuk 17 Elang Jawa. Salah satunya adalah “Iskandar”, elang hasil serahan warga Bogor yang ditemukan terjerat. Setelah menjalani rehabilitasi dan pemasangan GPS Collar, Iskandar dilepas ke langit Halimun dengan metode hard release. Setiap pergerakannya kini dapat dipantau melalui satelit — bukti nyata sinergi antara teknologi dan kasih alam.

Bagi Dr. Syamsul, kisah pelepasliaran Iskandar adalah metafora keadilan ekologis. “Setiap keputusan hakim seharusnya menjadi pelepasan bagi kehidupan, bukan hukuman yang mengekang. Seperti elang yang kembali ke langit, hukum harus memberi ruang bagi kehidupan untuk tumbuh.” Ucapan itu disambut anggukan penuh makna dari para peserta, yang kini memandang hukum dengan cara baru — lebih lembut, lebih manusiawi, dan lebih ekologis.

Menjelang sore, sinar matahari menerobos sela pinus, menciptakan semburat emas di jalur yang mereka lalui. Seekor elang kembali melintas tinggi di langit Halimun, seolah menegaskan pesan hari itu: bahwa menjaga bumi sama artinya dengan menjaga nurani keadilan itu sendiri. (IM)

Kontributor: Irvan Mawardi – Hakim Yustisial BSDK & Peserta Pelatihan Hakim Lingkungan Tingkat Lanjut (BSDK–Kemenhut–ICEL)

Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Ketika Hakim Menjadi Penjaga Bumi: Pelajaran Dekonstruktif dari Dr. Syamsul Arief

October 7, 2025

Pelatihan Tingkat Lanjut Hakim Lingkungan Hidup: Perkuat Peradilan Pro Lingkungan dan Keadilan Iklim

October 6, 2025

Dari Pohon Mundu hingga Mediasi: MA RI dan Federal Court of Australia Rajut Hukum yang Memihak Rakyat

October 3, 2025
Demo
Top Posts

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

October 11, 2025

Kelas Inpirasi : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Hukum Keadilan

May 16, 2024

Badan Strajak Diklat Kumdil Gelar Donor Darah dalam Rangka HUT RI dan HUT MA RI Ke-80

August 21, 2025
Don't Miss

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

By SuaraBSDKOctober 11, 2025

Bogor, 10 Oktober 2025 – Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Teknis Peradilan Badan Strajak Diklat…

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 2025

Refleksi Kritis: Mengembalikan Marwah Widyaiswara dalam Ekosistem Pendidikan dan Pelatihan

October 10, 2025

Judicial Well-Being: Fondasi Tersembunyi Keadilan

October 10, 2025
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Contact Us

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

category
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Connect US
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3
Logo 4 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.