Keluhan mengenai pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan seringkali terdengar dari pencari keadilan maupun aparatur pengadilan itu sendiri. Keluhan yang belum juga tuntas terjawab dan mendapatkan solusi kemudian mengantarkan terbentuknya suatu adagium “Proses Eksekusi Putusan Pengadilan Jauh Lebih Rumit Daripada Proses Litigasinya.” Adagium ini tentu tidak berasal dari ruang kosong maupun hasil rekaan yang dibuat-buat oleh pihak tidak bertanggungjawab, melainkan murni adalah suara rintihan pencari keadilan dan aparatur peradilan itu sendiri. Aparatur peradilan utamanya Ketua Pengadilan dan Panitera Pengadilan terbebani dengan proses eksekusi yang tak kunjung selesai dan memiliki pengaruh kepada prestasi kerja. Proses eksekusi atau pelaksanaan isi putusan secara paksa menjadi salah satu ukuran kinerja dari Lembaga Peradilan yang cukup mencolok. Hal ini tercermin dari salah satu indikator capaian kinerja Lembaga peradilan ialah Meningkatnya Kepatuhan Terhada Putusan Pengadilan yang diukur melalui variabel Persentase Putusan perkara Perdata dan TUN yang ditindaklanjuti (dieksekusi).
Suara sumbang yang nyaring terdengar dari keluhan atas pelaksanaan eksekusi tersebut mengerucut pada dua hal pokok yaitu hambatan yang besar dan biaya yang mahal. Akhirnya pada tahun 2024 dalam kerangka kerjasama BRIN dan Pustrajak, dilakukan riset kebijakan yang dituangkan dalam Policy Paper. Policy Paper tersebut secara tuntas menjawab pertanyaan Mengapa Pelaksanaan Eksekusi Putusan Sulit dan Berbiaya Mahal?
Apakah Eksekusi Putusan Itu?
Pelaksanaan isi putusan dan eksekusi dalam artikel ini dibedakan karena kedua hal ini kerapkali oleh praktisi hukum maupun akademisi ilmu hukum dianggap hal yang sama bahkan hanya menyebutnya sebagai eksekusi saja. Pelaksanaan isi putusan pada pokoknya dilakukan secara sukarela oleh pihak yang dihukum namun dalam konteks pihak terhukum enggan melakukan putusan secara sukarela maka putusan tersebut dapat dimohonkan oleh pihak lainnya kepada pengadilan untuk memaksa si terhukum melaksanakan isi putusan bahkan dengan secara paksa sekalipun.
Pemetaan Faktor Penyebab Eksekusi sulit dan berbiaya Mahal.
Hambatan eksekusi putusan perdata di pengadilan tidak bersumber dari faktor internal pengadilan saja melainkan juga berasal dari faktor ekseternal pengadilan. Mitra kerja pengadilan yang memiliki kaitan erat dengan keberhasilan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) diantaranya ialah Kepolisian Republik Indonesia, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), Kantor Pertanahan BPN tingkat Kota/Kabupaten, dan Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP).
Wujud Faktor Hambatan di Kepolisian.
Karena faktor hambatan pelaksanaan eksekusi memiliki banyak faktor dan berbagai macam hal yang mempengaruhinya, penulis kemudian membuat pemetaan faktor hambatan ekseksusi per lembaganya. Pada episode artikel kali ini, penulis hanya akan berfokus pada hambatan eksekusi yang berasap dari Kepolisian. Hal ini semata-mata disebabkan oleh pertimbangan apabila dibahas secara tuntas maka akan terlalu Panjang, membosankan dan juga tidak sejalan dengan kebijakan platform Suara BSDK yang menghendaki artikel bisa tuntas dibaca dalam waktu 4 menit saja. Baiklah kita mulai, silahkan siapkan kopi dan cemilannya.
Kepolisian Republik Indonesia memiliki peran yang cukup strategis dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan. Dasar hukumnya ditarik dari Pasal 13 UU No. 2/2002 yang menyebutkan bahwa tugas utama Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dari tugas utama inilah kemudian sebagai dukungan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam kegiatan paksa eksekusi putusan pengadilan kemudian patut dihadiri oleh unsur Kepolisian. Lebih lanjut dalam Pasal 15 huruf l UU No. 2/2002 secara tegas disebutkan dalam rangka menyelenggarakan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan dan kegiatan instansi lain.
Berangkat dari tugas dan kewenangan kepolisian tersebut, idealnya kepolisian selalu memberikan dukungan keamanan dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam temuan tim penyusun policy paper saat melakukan visitasi ke Polresta Denpasar dan Polresta Medan ditemukan fakta seringkali surat permohonan bantuan pengamanan pelaksanaan eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Agama dibalas dengan surat Kapolresta yang menyatakan belum dapat memenuhi bantuan pengamanan atau penundaan pelaksanaan eksekusi sebagaimana misalnya Surat Kapolresta Medan Nomor B/7033/VI/PAM.3.3/2024 bertanggal 25 Juni 2024 tentang mohon penundaan eksekusi dan Surat Direktur Samapta Polda Bali Nomor B/1257/II/PAM.3.2022/Dit. Smt Bertanggal 8 Februari 2022 tentang belum dapat memenuhi bantuan pengamanan. Dari contoh surat balasan kepolisian tersebut nampak suatu penjelasan mengapa eksekusi tidak bisa berjalan lancar yang salah satunya adalah karena keberhasilan eksekusi tidak bergantung pada internal pengadilan melainkan juga lembaga eksternal (Kepolisian) memegang peranan yang cukup krusial.
Tentu penulis tidak puas sampai disitu saja, penulis mencoba menggali lebih dalam fakta-fenomena dengan melakukan profiling lebih dalam dang mengantarkan pada penemuan fakta yang lebih mendalam yaitu:
- Adanya kegiatan yang bersifat nasional maupun internasional di mana di dalamnya dihadiri oleh Pejabat Penting Nasional maupun Internasional sehingga lebih membutuhkan prioritas dalam dukungan keamanan pelaksanaannya. Contoh kegiatan yang dianggap lebih membutuhkan prioritas tersebut misalnya World Water Forum 2024 yang dilaksanakan pada bulan Mei 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) dan Asia Pacific Media Forum (APMF) pada 1-3 Mei 2024;
- Adanya Surat Telegram Kapolda Bali Nomor: STR/997/XII/OPS.1.1.1./2023 Tanggal 20 Desember Tentang Direktif Antisipasi Gangguan Kamtibmas Jelang Pelaksanaan Pungut Suara Pemilu Tahun 2024. Dengan adanya surat tersebut kemudian Polres Badung (Prov. Bali) yang awalnya siap melaksanakan pengamanan eksekusi atas putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi menangguhkan pelaksanaan dukungan eksekusi. Keputusan Kapolresta Badung dipengaruhi adanya telegram tersebut dimana diprediksi apabila tetap dilaksanakan akan sangat sensitif serta akan terjadi pemanfaatan situasi tersebut oleh pihak-pihak yang berkepentingan secara individu maupun kelompok. Atas dasar itu diminta kepada Ketua Pengadilan untuk menunda pelaksanaan eksekusi sampai berakhirnya seluruh tahapan Pemilu dan Pemilukada 2024.
Berdasarkan hasil audiensi ke tiga wilayah hukum Denpasar, Bandung, dan Medan, diketahui faktor permasasalahan eksekusi yang paling dirasakan berat dan memiliki biaya yang paling besar adalah pengurusan pengamanan dari Kepolisian (Audiensi MA-BRIN, 2024). Persepsi itu muncul karena biaya pengamanan di kepolisian tidak diatur, jumlah personil yang terlibat tentatif (seringkali besar), banyak penundaan dari Polres maupun dari Polda, Laporan Kirka (Perkiraan Keadaan) Satintelkan yang tidak transparan, dominasi Polisi amat besar, eksekusi tidak bisa dilaksanakan apabila tidak ada dukungan kepolisian, oknum polisi yang memanfaatkan penundaan dan tidak diaturnya biaya resmi, serta eksekusi tidak sekali berhasil. Kepolisian sendiri mengakui belum optimal memberikan layanan dukungan pengamanan eksekusi karena terbatasnya personil, pos anggaran yang terbatas, penundaan karena ada kegiatan yang lebih prioritas seperti: World Water Forum 2024, Asia Pacific Media Forum, Konferensi Tingkat Tinggi G20 Bali, dll juga mempengaruhi karena menjadi perhatian publik, dihadiri oleh Pejabat Nasional, serta dampak yang apabila acara tersebut tidak kondusif tentu akan mempengaruhi citra dan kinerja kepolisian.
Agar pemahaman akan masalah dukungan keamanan kepolisian ini dapat dipahami secara optimal perlu dipahami proses bisnis dukungan bantuan pengamanan Kepolisian. Prosesnya dimulai dari Permohonan dari Ketua Pengadilan kepada Kapolres, Kapolres kemudian mendisposisi kepada Kasatintelkam, Kasatintelkam melakukan assessment dan surveillance atas kondisi ancaman keamanan objek eksekusi. Kemudian dituangkan dalam Surat Perkiraan Intelijen Keamanan (Kirka). Atas dasar kirka Kapolres memerintahkan Kabag Ops Polres sebagai penanggungjawab pelaksanaan dukungan pengamanan eksekusi. Apabila Kirka merah maka dukungan pengamanan akan ditunda, namun apabila kirka hijau maka akan disiapkan personel kepolisian yang membantu pengamanan, Komponen pemetaan personelnya meliputi:
- Satlantas untuk membantu rekayasa lalu lintas disekitar objek eksekusi;
- Satrestkrim untuk antisipasi pidana dan kekerasan perlawanan eksekusi;
- Satsabhara pengamanan lokasi objek eksekusi;
- Dalmas Brimob Polda antisipasi ancaman massa;
- Polwan dari Satuan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) untuk antisipasi perlawanan perempuan dan anak dalam proses eksekusi;
- Unit Polisi Hewan (Anjing K9)
- Unit Binmas Polres yang juga melibatkan unsur lokal Pecalang, dan juga unsur Babinsa;
- Unit Provost & Paminal (Propam).

Dari penjelasan dan gambar di atas nampak betapa besarnya personil kepolisian yang dibutuhkan untuk memberikan dukungan atas 1 permohonan eksekusi putusan pengadilan. Maka terjawablah pertanyaan mengapa untuk mengeksekusi lahan/tanah yang relative kecil sampai harus menurunkan begitu banyak personil kepolisian?
Kemudian terkait biaya pengamanan, apabila dikonfirmasi secara resmi apakah dukungan pengamanan memerlukan biaya? Jawabannya akan sangat membuat terkejut. Yaitu tidak membutuhkan biaya. Justru disini letak anehnya, apa iya Kepolisian yang harus repot-repot mengumpulkan personel bahkan melibatkan banyak Unit (Satintelkam, Sabhara, Dalmas Brimob, dll) atas pengerahannya tidak berbayar alias murni ditanggung DIPA operasional kepolisian? Tentu amat janggal dan sulit diterima. Akhirnya karena kondisi ini akan memunculkan potensi “biaya tidak resmi” yang justru nilainya jauh dari wajar dan sanggup ditanggung oleh Pihak Pencari Keadilan.
Sudah saatnya hambatan eksekusi khususnya dukungan pengamanan kepolisian diatur dan dibenahi. Penulis percaya bahwa profesionalisme kerja tidak dapat muncul dari ketidakidealan keadaan. Tidak idealnya keadaan itu adalah tidak adanya dukungan anggaran (secara resmi) karena Kepolisian belum mengatur mekanisme pungutan atas jasa pengamanan eksekusi. Ketiadaaan dukungan anggaran dalam pelaksanaan tugas institusi menjadikan tidak idealnya pelaksanaan kegiatan. Bagaimanapun tiap-tiap program/layanan perlu didukung anggaran yang proporsional untuk profesionalisme kerja. Demikian juga Polri, dalam memberikan dukungan pengamanan eksekusi belum ada pos anggaran khsusus yang artinya anggaran diambilkan dari pos anggaran operasional umum tiap polres. Polres memiliki banyak agenda yang harus diurutkan prioritas pelayananya. Dengan diaturnya kejelasan biaya yang dapat dipungut secara resmi akan meningkatkan kinerja, menutup celah pungli, dan merangsang peningkatan profesionalisme kerja karena telah didukung anggaran yang cukup.
Dalam hal ini Kapolri c.q Kabaharkam perlu untuk menginisiasi perubahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2020 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menambahkan komponen Jasa Bantuan Pengamanan Pelaksanaan Putusan Pengadilan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia. Diharapkan dengan diatur secara resmi Kepolisian dapat secara sah memungut biaya dukungan pengamanan denga perhitungan yang wajar dan dapat ditanggung oleh pihak pencari keadilan.


