Krisis lingkungan laut yang semakin fatal—mulai dari polusi plastik, overfishing, hingga kerusakan habitat akibat perubahan iklim, pertambangan korporasi kelas kakap—menuntut tinjauan ulang mendasar atas cara pandang kita terhadap lautan. Dalam konteks ini, Keadilan Ekologis Laut muncul sebagai paradigma kritis yang melampaui kerangka keadilan sosial semata. Konsep ini menandai pergeseran epistemologis dan etis yang penting, yaitu transisi dari pandangan antroposentrisme (manusia sebagai pusat nilai) yang dominan menuju biosentrisme (makhluk hidup sebagai pusat nilai) & ekosentrisme (ekosistem sebagai pusat nilai) yang lebih inklusif.
Dari Dominasi ke Keterhubungan : Biosentrisme dan Antoposentrisme Sebagai Juru Selamat
Secara tradisional, filsafat barat cenderung didominasi oleh etika antroposentris yang menempatkan nilai moral intrinsik secara eksklusif pada manusia. Alam, termasuk laut dan isinya, sering kali dipandang sebagai sumber daya atau instrumen (nilai instrumental) yang keberadaannya semata-mata untuk melayani kebutuhan dan kepentingan manusia. Konsekuensi dari pandangan ini adalah legitimasi atas eksploitasi laut yang berlebihan.
Namun, kritik terhadap antroposentrisme telah melahirkan paradigma etika lingkungan seperti biosentrisme dan ekosentrisme. Aldo Leopold dengan etika tanahnya (land ethic) dan Arne Næss dengan deep ecology menjadi pionir dalam memperluas cakupan moral melampaui entitas manusia.
Biosentrisme adalah paradigma filsafat lingkungan yang menegaskan bahwa semua entitas kehidupan memiliki nilai yang setara. Berdasarkan pandangan ini, setiap organisme, termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme, layak mendapatkan perlindungan dan penghormatan. Dalam biosentrisme, kehidupan melampaui statusnya sebagai sumber daya yang hanya dimanfaatkan oleh manusia; sebaliknya, ia dilihat sebagai entitas yang berhak eksis secara mandiri, dengan pertimbangan terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraannya. Konsekuensinya, biosentrisme secara tegas menentang antroposentrisme, yaitu paradigma yang secara eksklusif menjadikan manusia sebagai pusat dari semua nilai dan prioritas, sering kali mengabaikan kepentingan makhluk hidup lain. Oleh karena itu, biosentrisme menganjurkan agar kebijakan terkait pengelolaan alam harus mengintegrasikan tidak hanya kebutuhan manusia, tetapi juga dampak keseluruhannya terhadap seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis yang menopangnya.
Sedangkan, Ekosentrisme adalah paradigma filsafat lingkungan yang menempatkan keseluruhan sistem ekologis sebagai entitas yang memiliki nilai moral dan hak untuk hidup. Pandangan ini berbeda dengan biosentrisme yang lebih memfokuskan pada nilai intrinsik makhluk hidup secara individu, sementara ekosentrisme mengakui bahwa kesejahteraan dan kelangsungan hidup seluruh ekosistem, baik elemen biotik (makhluk hidup) maupun abiotik (elemen non-hidup). Ekosistem harus dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan lingkungan, dalam konteks laut, ekosentrisme mengajukan tesis bahwa lautan, termasuk seluruh komponennya memiliki nilai inheren terlepas dari kegunaannya bagi manusia.
Dengan mengedepankan paradigma biosentrisme dan ekosentrisme dalam mengarusutamakan keadilan di lautan maka kita telah memastikan distribusi manfaat dan beban dari pemanfaatan sumber daya laut secara adil di antara komunitas manusia yang berbeda (misalnya, nelayan tradisional dengan perusahaan perikanan besar). Ini sangat relevan dengan teori keadilan distributif seperti yang diungkapkan oleh John Rawls, yang menuntut perlindungan bagi entitas yang paling tidak beruntung.
Kemudian, dengan mengedepankan paradigma biosentrisme dan ekosentrisme akan mewujudkan keadilan inter-generasi yang didukung oleh konsep seperti dalam Ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus, yang menegaskan tanggung jawab moral generasi saat ini untuk mewariskan laut dalam kondisi layak huni dan sehat kepada generasi mendatang. Laut dilihat sebagai pinjaman, bukan kepemilikan. Lewat ensiklik tersebut, Paus Fransiskus menyerukan perlunya kesadaran di tengah krisis lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Paus Fransiskus menyerukan dengan tegas bahwa kesadaran lingkungan tak ada gunanya tanpa “menggambarkan gejala-gejala krisis ekologiss tanpa mengakui akarnya dalam manusia”. Laudato si’ adalah sabda reflektif atas perkembangan manusia yang telah mengeksploitasi alam secara berlebihan. Paus Fransiskus menyerukan “pertobatan ekologiss” sebagai salah satu cara memperbaiki kerusakan alam. Pertobatan ini membutuhkan upaya kolektif, karena manusia tidak bisa secara individu untuk memperbaiki alam. Sebab, dari apa yang diuraikan dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menyadari bahwa perbaikan lingkungan harus menyelesaikan permasalahan kompleks, termasuk ketimpangan sosial dan politik yang terjadi secara global.
Selanjutnya, Biosentrisme dan Ekosentrisme memprioritaskan keadilan ekologis, yang menyerukan bahwa keadilan harus diperluas untuk mencakup entitas non-manusia dan ekosistem secara keseluruhan. Dimensi ini menuntut pengakuan atas hak dasar ekosistem laut untuk bertahan hidup dan berkembang. Kerusakan ekosistem laut (misalnya, pengerukan pasir laut yang merusak terumbu karang) tidak hanya dilihat sebagai kerugian ekonomi, tetapi sebagai pelanggaran etis terhadap keberadaan alam itu sendiri.
Alam Sebagai Subjek Hukum
Memandang alam sebagai subjek hukum adalah ciri khas etika daripada paradigma ekosentrisme, yang menyatakan bahwasanya alam mempunyai martabat (dignity), seperti halnya dengan manusia. Etika ini mengubah peran manusia dari ‘penguasa’ menjadi penjaga (steward). Kita memiliki tugas moral untuk memulihkan dan melindungi ekosistem laut, bukan hanya mengelola dan memanfaatkannya saja. Alam (lingkungan) yang tidak dipandang sebagai subjek hukum merupakan egosentrisme yang menempatkan manusia sebagai penguasa pusat alam. Alam (lingkungan) sebagai subjek untuk mengatasi bahaya antroposentrime terhadap bumi dan membantu melindungi alam dalam kapasitas yang lebih besar dan memperbaiki kerusakan pada entitas alam itu sendiri.
Ide menempatkan alam sebagai subjek hukum, sebenarnya sudah dibicarakan sejak dulu. Ide tersebut pertama kali diangkat pada tahun 1972 oleh Christopher Stone melalui karyanya yang berpengaruh berjudul “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects.” Gagasan fundamental ini bertujuan untuk memperluas prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) agar mencakup alam, sehingga membebaskannya dari status objek yang dapat diobjektifikasi atau dieksploitasi. Profesor dari Amerika tersebut berpendapat bahwa lingkungan harus diberikan hak hukum, yang pelaksanaannya diwakilkan oleh entitas wali atau perwakilan. Pemberian hak ini dipandang sebagai bentuk pengakuan moral-yuridis tertinggi terhadap suatu entitas. Sejalan dengan pandangan ini, Hakim Douglas, dalam pendapatnya yang berbeda (dissenting opinion) pada kasus Sierra Club Vs. Morton, juga mengusulkan agar objek-objek alam diberikan kedudukan hukum. Dengan demikian, alam dapat mengajukan pembelaan atas namanya sendiri di pengadilan melalui perwakilan.
Penutup
Mewujudkan keadilan ekologis laut memerlukan perubahan sistemik yang besar, terutama dalam menghadapi deru ideologi developmentalisme/pembangunanisme yang mengeksploitasi sumber daya laut demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Keadilan ekologis menuntut model tata kelola baru yang berbasis pada komunitas dan kearifan lokal (seperti Sasi atau Tri Hita Karana), di mana alam dihormati sebagai entitas yang setara.
Keadilan ekologiss laut, pada akhirnya, adalah seruan filosofis untuk revolusi etis—untuk mencintai laut bukan karena apa yang dapat diberikannya kepada kita, tetapi karena nilai otentik dan peran fundamentalnya dalam jaring kehidupan di planet ini. Dengan menanggalkan paradigma antoposentrisme dan menggantinya dengan paradigma biosentrisme serta ekosentrisme, sebagai manusia yang beradab kita semua telah memandang bahwa lautan adalah subjek dan bukan sekadar objek yang harus dieksploitasi, dan pada akhirnya kita dapat bergerak menuju masa depan yang adil, baik bagi manusia maupun bagi laut yang ada di sekeliling kita.
Daftar Pustaka
Leopold, Aldo. (1949). A Sand County Almanac: And Sketches Here and There. Oxford University Press.
Melliana, A. O & Wauran, I. (2023). Bangunan Argumentasi Yang Menempatkan Alam Sebagai Subjek Hukum. Jurnal Ilmu Hukum. 8 (1), 2541-5417.
Naess, Arne. (1973). The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary. Inquiry: An Interdisciplinary Journal of Philosophy, 16(1-4), 95-100.
Paus Fransiskus. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Ensiklik). Libreria Editrice Vaticana.
Priyono, B. B., et al. (2025). Biosentrisme dan Ekosentrisme: Alternatif Pandangan Filsafat Lingkungan terhadap Krisis Alam di Era Antroposentrisme. Jurnal Filsafat Indonesia, 8 (2), 2620-7990.
Rawls, John. (1971). A Theory of Justice. Belknap Press of Harvard University Press.
Stone, Christopher D. (1972). Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects. Southern California Law Review, 45(1), 450-501.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI


