Keadilan yang Tak Boleh Berhenti di Atas Kertas
Ketika Mahkamah Agung meluncurkan mekanisme gugatan sederhana melalui PERMA No. 2 Tahun 2015 yang kemudian diperbarui melalui PERMA No. 4 Tahun 2019, banyak pihak menilai langkah tersebut sebagai tonggak penting reformasi hukum acara perdata. Gugatan sederhana memberi ruang baru bagi masyarakat dan pelaku usaha kecil untuk memperoleh keadilan tanpa harus terjebak dalam prosedur yang panjang dan biaya yang besar.
Namun, di balik keberhasilan itu, tersimpan satu paradoks: banyak putusan yang sudah inkracht tidak pernah benar-benar dijalankan. Gugatan sederhana yang mestinya cepat dan sederhana justru kehilangan makna ketika sampai di tahap eksekusi. Tanpa pelaksanaan putusan yang efektif, keadilan hanya berhenti di atas kertas. Di sinilah urgensi lahirnya Peraturan Mahkamah Agung baru tentang penyelesaian eksekusi gugatan sederhana menjadi sangat penting.
Mekanisme Cepat, Tapi Tersandera Prosedur Lambat
Dalam praktiknya, eksekusi gugatan sederhana masih harus mengikuti mekanisme eksekusi umum yang diatur dalam HIR/RBg. Prosedur tersebut dibuat untuk perkara besar yang kompleks, bukan untuk perkara kecil bernilai di bawah Rp500 juta. Akibatnya, proses yang semula dirancang cepat kembali tersandera birokrasi hukum yang panjang.
Berdasarkan hasil survei Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan (Pustrajak Kumdil MA) di sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan agama, tercatat bahwa lebih dari 90 persen perkara gugatan sederhana berhasil diselesaikan tepat waktu. Namun, hanya sekitar 2-3 persen putusan yang benar-benar dilanjutkan ke tahap eksekusi. Selebihnya berhenti karena biaya tinggi, waktu lama, atau karena penggugat sudah lelah menunggu hasil yang tak kunjung nyata.
Beberapa hakim dan panitera mengungkapkan bahwa biaya appraisal dan panjar eksekusi bisa mencapai Rp10-15 juta, padahal nilai objek sengketa hanya sekitar Rp15 juta. Dalam banyak kasus, biaya eksekusi bahkan melampaui nilai perkara. Ironisnya, masyarakat kecil yang menjadi sasaran utama mekanisme gugatan sederhana justru paling terdampak oleh kondisi ini.
Ketimpangan Antara Keadilan Prosedural dan Keadilan Substantif
Gugatan sederhana adalah wujud nyata dari asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Namun ketika eksekusi memakan waktu lebih lama dari pemeriksaan pokok perkara, maka asas tersebut tidak lagi hidup dalam praktik. Keadilan prosedural tercapai, tetapi keadilan substantif terabaikan.
Efeknya tidak sekadar administratif. Bagi pelaku UMKM dan masyarakat pencari keadilan, putusan yang tidak bisa dieksekusi berarti hilangnya hak ekonomi dan hilangnya kepercayaan terhadap lembaga peradilan. Fenomena “menang di atas kertas” menjadi momok yang justru merusak semangat reformasi peradilan yang tengah dibangun.
Di sinilah letak masalahnya: sistem hukum kita berhasil mempercepat penyelesaian perkara, tetapi gagal memastikan hasilnya benar-benar dijalankan. Dengan kata lain, peradilan kita masih kuat di sisi teks, tetapi lemah di sisi aksi.
Belajar dari Negara Lain
Negara-negara maju telah membuktikan bahwa pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan dengan cepat tanpa mengorbankan kepastian hukum. Di Singapura, misalnya, Small Claims Tribunals (SCT) berhasil menuntaskan proses eksekusi dalam waktu dua bulan sejak putusan dijatuhkan. Seluruh proses dilakukan secara digital dan terintegrasi dalam sistem pengadilan. Petugas eksekusi cukup membawa perintah elektronik untuk melakukan penyitaan atau garnishment (penyitaan rekening bank).
Di Inggris, sistem small claims memberikan berbagai opsi eksekusi seperti warrant of control (penyitaan langsung), attachment of earnings order (pemotongan gaji otomatis), dan garnishee order (pemotongan rekening pihak ketiga). Semua dilakukan dengan biaya yang terukur dan melalui sistem daring yang mudah diakses publik.
Dua contoh tersebut membuktikan bahwa efektivitas peradilan tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada desain prosedur yang berpihak pada efisiensi dan kemudahan. Indonesia dapat belajar dari kedua negara ini untuk membangun mekanisme eksekusi yang relevan dengan konteks sosial dan infrastruktur hukum kita sendiri.
Mendesain Ulang Eksekusi Gugatan Sederhana
Mahkamah Agung memiliki kewenangan konstitusional untuk menutup kekosongan hukum dan menyusun peraturan teknis yudisial. Oleh karena itu, pembentukan PERMA baru tentang pelaksanaan eksekusi gugatan sederhana adalah langkah yang sangat strategis. Tujuannya tidak lain adalah memastikan keadilan prosedural dan keadilan substantif berjalan beriringan.
Beberapa langkah kebijakan yang direkomendasikan dari hasil kajian Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan antara lain:
- Menetapkan batas waktu maksimal dua bulan untuk penyelesaian eksekusi sejak putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
- Proses aanmaning (teguran eksekusi) cukup dilakukan satu kali dan dalam waktu tiga hari.
- Penaksiran (appraisal) terhadap objek sengketa dapat dilakukan oleh tenaga ahli internal pengadilan yang memiliki sertifikasi.
- Pengumuman dan pelaksanaan lelang dilakukan secara daring melalui situs resmi pengadilan.
- Penyitaan benda bergerak dapat dilakukan lintas wilayah tanpa perlu delegasi eksekusi.
- Diperlukan MoU antara Mahkamah Agung dan Kementerian Keuangan agar proses lelang eksekusi dapat dilaksanakan secara efisien dan seragam di seluruh Indonesia.
Dengan langkah-langkah ini, sistem gugatan sederhana akan kembali ke semangat awalnya: cepat, murah, dan pasti. Pengadilan dapat menjadi tempat yang bukan hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga memastikan hak-hak hukum masyarakat ditegakkan hingga tahap akhir.
Arah Baru Reformasi Peradilan
Menyusun aturan eksekusi yang sederhana bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal keberpihakan. Keberpihakan kepada masyarakat kecil, pelaku usaha mikro, dan warga negara yang mencari keadilan tanpa memiliki kekuatan finansial besar. Inilah wajah keadilan sosial yang ingin diwujudkan Mahkamah Agung dalam reformasi hukum acara perdata.
PERMA baru tentang penyelesaian eksekusi gugatan sederhana akan menjadi simbol nyata bahwa reformasi peradilan bukan berhenti pada retorika. Ia akan menjelma menjadi alat nyata bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan secara cepat dan terjangkau. Lebih dari itu, ia menjadi bentuk tanggung jawab institusional Mahkamah Agung untuk memastikan bahwa setiap putusan pengadilan memiliki daya guna dan daya laku.
Keadilan Tak Boleh Tertunda
Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak. Ungkapan klasik ini kembali relevan ketika kita bicara tentang gugatan sederhana. Sebuah putusan yang tidak bisa dieksekusi pada waktunya, sejatinya tidak memberikan keadilan apa pun bagi pihak yang menang. Oleh karena itu, pembentukan aturan baru yang tegas, ringkas, dan aplikatif bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga kewajiban moral lembaga peradilan. Dengan adanya PERMA tentang penyelesaian eksekusi gugatan sederhana, Mahkamah Agung dapat memastikan bahwa keadilan yang telah dimenangkan benar-benar dapat diwujudkan. Inilah langkah nyata menuju peradilan modern yang bukan hanya adil, tetapi juga efektif, efisien, dan manusiawi.


