Dalam praktik peradilan, kita tidak asing lagi mendengar asas in dubeo pro bono yang artinya adalah “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa”. Asas ini tidak diatur dalam hukum pidana postif di negara kita (Ius constitutum), namun banyak digunakan dalam berbagai putusan diantaranya Putusan Mahkamah Agung No. 33 K/MIL/2009 yang dalam salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa:
“Asas In Dubio Pro Reo yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.”
Dalam praktik hukum lingkungan, asas in dubio pro bono bertransformasi menjadi in dubeo pro natura. Paradigma berpikir yang selama ini menempatkan terdakwa pada keadaan yang menguntungkan, jika terdapat keragu-raguan dalam diri hakim dalam memutus suatu perkara, berubah menjadi menempatkan lingkungan pada keadaan yang menguntungkan jika terdapat keragu-raguan dalam diri hakim dalam menangani perkara yang berkaitan dengan lingkungan (dari homo-centris ke eco-centris). Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang melatarbelakangi adanya asas in dubeo pro natura tersebut?
Latar Belakang Munculnya Asas In Dubio Pro Natura
Adapun latar belakang adanya asas in dubio pro natura, diawali dari adanya pemikiran biosentrisme, yang berpendapat bahwa tidak benar apabila hanya manusia yang mempunyai nilai, akan tetapi alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri yang terlepas dari kepentingan manusia. Setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sehingga semua makhluk pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara moral terlepas dari ia bernilai bagi manusia atau tidak. Paradigma ini mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia maupun pada makhluk hidup lainnya. Setiap kehidupan yang ada di muka bumi ini memiliki nilai moral yang sama sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Manusia mempunyai nilai moral dan berharga justru karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi setiap entitas kehidupan lain di alam semesta, artinya prinsip yang sama berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan yang memberi serta menjamin kehidupan bagi makhluk hidup. Alam semesta bernilai moral dan harus diperlakukan secara moral, karena telah memberi begitu banyak kehidupan
Dalam perkembangannya, paradigma biosentrisme bermetamorfosis menjadi ekosentrisme. Paradigma ekosentrisme menyampaikan pandangannya bahwa secara ekologis makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lainnya. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Relevansi Asas In Dubio Pro Natura dalam Penegakan Hukum
Pemahaman akan adanya asas in dubio pro natura bagi seorang hakim dalam menangani perkara lingkungan menjadi sangat penting saat ini. Tidak sedikit kerusakan lingkungan yang bisa terjadi di sekitaran kita, diantaranya pencemaran udara, air, dan tanah, deforestasi, perubahan iklim, penipisan sumber daya alam, punahnya keanekaragaman hayati, penumpukan sampah, dan kerusakan ekosistem laut.
Kita bisa mengingat kembali putusan dalam kasus antara PT. Kalista Alam dengan Kasus Mandalawangi. Pada kasus tersebut PT. Kalista Alam kalah sampai ke tingkat kasasi. Hakim pada kasus tersebut menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan prinsip ke-15 dari Deklarasi Rio. Pada tingkat kasasi, Hakim Agung menyatakan penggunaan precautionary principle tidak melanggar hukum jika sudah dianggap sebagai ius cogen (diakui bangsa-bangsa beradab). Hal tersebut bisa disimpulkan bahwa hakim lebih memihak kepada lingkungan hidup, dengan kata lain telah menerapkan asas in dubio pro natura.
Lingkungan merupakan habitat atau sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Ketika lingkungan dirusak, lingkungan tidak bisa hadir untuk membela dirinya. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia, tentu harus hadir dalam memberikan perlindungan. Adanya asas in dubio pro natura, menjadi jembatan emas bagi hakim dalam mewujudkan keadilan lingkungan (environmental justice).
Sumber refrensi:
- Kamus Hukum, Pengarang: J.C.T. Simorangkir; Rudy T. Erwin ; J.T. Prasetyo
- Sutoyo. Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol 4/No. 1/Februari /2015
- Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO

Raja Bonar Wansi Siregar, S.H., M.H.
- Hakim Pengadilan Negeri Cianjur
- Peserta Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup Angkatan XXI