Pada hari kedua Pelatihan Tingkat Lanjut Hakim Lingkungan dengan tema “Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang Berorientasi pada Pemulihan dan Keadilan Iklim” bagi hakim lingkungan wilayah Sumatera dan Kalimantan telah menghadirkan narasumber, Prof. Dr. M. R. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang memaparkan materi berjudul “Pemulihan Lingkungan: Valuasi dan Hukum.”
Dalam pembukaannya, Prof. Andri mengajak para peserta pelatihan menganalisis pengertian kerugian lingkungan hidup berdasarkan Penjelasan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), yang menyatakan bahwa kerugian lingkungan hidup adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah negara tidak dapat menggugat, misalnya dalam kasus kebakaran lahan yang terjadi pada tanah yang di atasnya dibebani hak milik atau hak guna usaha (HGU). Mengingat bahwa sumber daya milik privat juga memiliki nilai publik yang besar, dengan mengutip pendapat Edward Brans, pemerintah tetap dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang terjadi pada sumber daya tersebut.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Antonio Herman Benjamin, yang menyatakan bahwa tanah atau properti pribadi tidak semata-mata memiliki fungsi ekonomi bagi pemiliknya, tetapi juga mengandung fungsi ekologis yang bersifat publik. Dengan demikian, pada pokoknya yang digugat adalah kerugian lingkungan, sehingga tidak bergantung pada jenis sertifikat tanah.
Lebih lanjut, Prof. Andri menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan dapat dipandang sebagai bentuk public nuisance, yaitu gangguan tidak wajar terhadap hak publik. Suatu perbuatan dikategorikan sebagai public nuisance apabila:
- Menyebabkan gangguan substansial terhadap kesehatan publik, keamanan publik, ketertiban umum, atau kenyamanan publik;
- Termasuk perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; atau
- Merupakan perbuatan yang terus-menerus, berdampak jangka panjang, atau diketahui oleh pelaku memiliki efek besar terhadap hak publik.
Berdasarkan Pasal 90 dan Pasal 92 UUPPLH, pihak yang memiliki legal standing untuk menggugat public nuisance adalah Pemerintah dan Organisasi Lingkungan Hidup. Adapun individu atau masyarakat korban (class action) dapat mengajukan gugatan public nuisance hanya jika memenuhi special injury test, yaitu apabila terdapat:
- cedera pribadi pada diri penggugat;
- kerusakan fisik terhadap tanah milik penggugat;
- kerugian keuangan tertentu yang dialami penggugat; atau
- bentuk kerugian lain yang bersifat khusus bagi penggugat dan tidak dialami masyarakat umum dalam pelaksanaan hak publik.
Prof. Andri kemudian menjelaskan bentuk-bentuk pemulihan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UUPPLH, yaitu: penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar, remediasi, rehabilitasi, restorasi, dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat kekosongan penjelasan mengenai jenis kerugian lingkungan seperti apa yang memerlukan remediasi, rehabilitasi, atau restorasi.
Terkait penghitungan ganti rugi lingkungan hidup, acuan utamanya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014, yang mengelompokkan kerugian ke dalam empat tipe. Meskipun kerangka hukum sudah tersedia, praktik di lapangan masih menghadapi banyak tantangan, di antaranya mengenai tata cara penghitungan ganti rugi yang diatur dalam Lampiran II peraturan tersebut. Beberapa persoalan yang muncul antara lain praduga penghitungan ganda (double calculation) serta penggunaan contoh perhitungan dari Bab IV Lampiran II tanpa penyesuaian dengan kondisi faktual.
Dengan memberi contoh beberapa putusan pengadilan, Prof. Andri mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menggunakan rumus penghitungan, khususnya terkait satuan pelepasan karbon, harga per hektar, dan nilai inflasi mata uang, karena semua faktor tersebut sangat mempengaruhi besaran kompensasi. Prof. Andri menegaskan bahwa tujuan penghitungan dan klaim kerugian lingkungan bukanlah untuk menambah kas negara melalui PNBP, melainkan untuk memastikan bahwa pemulihan lingkungan yang rusak dapat dilaksanakan secara konkret dan berkeadilan.
Melalui sesi ini, para peserta diharapkan dapat memperdalam pemahaman tentang dasar pemulihan lingkungan, metode valuasi kerugian, serta memastikan bahwa setiap putusan pengadilan lingkungan hidup berorientasi pada pemulihan fungsi ekologis dan perlindungan generasi mendatang. Dengan demikian, valuasi kerugian lingkungan harus dipahami sebagai instrumen pemulihan, bukan semata kompensasi. Untuk itu, Hakim memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa nilai ganti rugi yang dikabulkan benar-benar dialokasikan bagi pemulihan ekologis dan keberlanjutan sumber daya alam. (MFW)


