Hak Warga Negara Atas Keterbukaan Informasi Publik
Hak warga negara untuk menerima keterbukaan informasi, merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, sesuai ketentuan Pasal 19 Ayat 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Penegasan hak memperoleh keterbukaan informasi, melalui segala jenis yang tersedia, sebagai bagian dari hak dasar manusia, ditegaskan kembali dalam Pasal 14 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Keterbukaan informasi publik sendiri, menurut pendapat Dan B Curtis, James J Floyd dan Jerry L Winser, menjelaskaan sebagai tata kelola informasi pemerintahan disampaikan kepada masyarakat, dimana langkah menyampaikan informasi kepada masyarakat, sebagai upaya mewujudkan negara hukum demokratis dan pelaksanaan prinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik. Demikian juga, Syamsudin Haris menyampaikan salah satu bentuk rinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni adanya keterbukaan informasi publik dan selaras dengan kemajuan teknologi serta perkembangan zaman. Proses pelaksanaan keterbukaan informasi dari saat menyusun kebijakan sampai tahap monitoring serta evaluasi. Selain meningkatkan partisipasi aktif warga negara dalam tata kelola urusan publik, dimana keterbukaan informasi publik sebagai upaya peningkatan kontrol atas penyelenggaraan urusan negara.
Negara hukum, wajib menjaga hak kodrati tersebut, selaras dengan teori perjanjian masyarakat, yang dicetuskan John Locke. Dalam teori dimaksud, negara wajib melindungi dan dilarang untuk mengabaikan hak asasi individu, karena pembentukan awal negara didasarkan kepada kehendak masyarakat untuk menyerahkan, sebagian haknya kepada negara dan menunjuk pemimpin, guna melindungi masyarakat dan menjamin pelaksanaan hak kodrati tersebut, berdasarkan peraturan perundang-undangan (freedom under the rule of law).
Demikian juga, negara dilarang memenuhi akses keterbukaan informasi kepada warga negara, hanya terbatas menggugurkan kewajiban, melainkan informasi yang disuguhkan kepada warga negara, harus faktual dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perspektif hak warga negara untuk memperoleh informasi, selaras dengan implementasi prinsip AUPB yakni sarana kontrol penyelenggaraan pemerintahan, di mana badan publik wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat dari setiap layanan publik. Lebih lanjut, pelaksanaan keterbukaan informasi publik kepada warga negara dan berfungsi sebagai upaya pengawasan atas jalannya pemerintahan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Merujuk amanat Pasal 2 UU KIP, secara normatif terhadap informasi publik yang wajib diberikan dan diumumkan, yang mana masyarakat dikasih kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh informasi tersebut, kecuali informasi yang sifatnya wajib dirahasikan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau negara itu sendiri. Dalam bahasa Inggris norma tersebut, dikenal dengan prinsip maximum acces limited exemption. Kewajiban membuka informasi, diperuntukan untuk seluruh cabang kekuasaan negara, baik di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta pelaksana layanan publik lainnya dan badan non pemerintah, yang memperoleh pendanaan dari anggaran pendapatan belanja negara atau daerah (APBN/APBD).
Perlindungan Data Pribadi Dalam Perspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia
Negara-negara di Eropa, merupakan komunitas internasional yang terlebih dahulu menyusun ketentuan perlindungan data pribadi sebagai perlindungan dan penghormatan hak privasi. Dalam ketentuan Pasal 2 Data Protection Directive tahun 1995, oleh Uni Eropa, mendefinisikan data pribadi sebagai informasi apapun yang berhubungan dengan individu manusia yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi (subjek data), baik identifikasinya secara langsung ataupun tidak, khususnya bersumber pada satu nomor identifikasi atau lebih faktor spesifik, guna identitas fisik, fisiologis, mental, ekonomi, budaya atau sosialnya.
Secara teknis, pemerintah Indonesia telah berupaya menyusun ketentuan hukum, yang menjamin hak privasi seseorang dari penggunaan data pribadi secara illegal, yang seringkali berlindung di atas pendapat hak kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi. Aturan hukum yang berikan perlindungan data pribadi, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU PDP, data pribadi merupakan data tentang individu perorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.
Demikian juga, ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengartikan data pribadi sebagai data individu tertentu, yang disimpan, dirawat dan dijaga kebenarannya, serta dilindungi kerahasiaannya (vide Pasal 1 Angka 22). Pengertian yang sama terkait arti kata data pribadi, ditegaskan juga dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Menkominfo (saat ini Komdigi) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.
Pasal 1 Angka 2 UU PDP, menjelaskan pengertian perlindungan data pribadi berupa keseluruhan langkah/upaya guna melindungi data pribadi, dalam rangkaian pemrosesan data pribadi, guna menjamin hak konstitusional subjek data pribadi. Penegakan hukum, untuk menjamin perlindungan data pribadi, dalam UU PDP berdasarkan asas perlindungan, kepastian hukum, kepentingan umum, kemanfaatan, kehati-hatian, keseimbangan, pertanggungjawaban dan kerahasiaan (vide Pasal 3 UU PDP). Sesuai Pasal 4 Ayat 1 UU PDP, data pribadi yang bersifat spesifik dan data pribadi bersifat umum.
Kebijakan Mahkamah Agung RI dalam Keterbukaan Informasi Publik dan Perlindungan Data Pribadi
Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka, guna menegakan hukum dan keadilan (fungsi yudikatif), sebagaimana amanah Pasal 24 Ayat 1 sampai dengan 3 UUDNRI 1945, telah serius menyelenggarakan tugas kekuasaan kehakiman yang berpedoman pada prinsip keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang baik (aupb), akses yang sama dihadapan hukum dan menjadi salah satu lembaga negara yang pro aktif menyampaikan keterbukaan informasi penyelenggaraan negara dibidang yudikatif.
Akses seluas-luasnya untuk masyarakat, atas informasi layanan publik di Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya, menjadi bagian dari blue print (cetak biru) Pembaharuan Peradilan Mahkamah Agung 2010-2035. Keterbukaan informasi menjadi faktor pendorong terciptanya peningkatan kredibilitas dan transparansi badan peradilan. Bahkan keterbukaan informasi, sebagai bentuk transparansi peradilan telah didorong Mahkamah Agung, sejak tahun 2003 dan dilanjutkan tahun 2007, dengan diterbitkannya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Komitmen memberikan keterbukaan informasi publik, seluas-luasnya pada layanan peradilan, dilaksanakan lebih dahulu sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Saat ini, kebijakan Mahkamah Agung RI untuk sampaikan keterbukaan informasi di pengadilan kepada masyarkat telah diperbarui, menyesuaikan perkembangan zaman, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan. Secara spesifik Mahkamah Agung RI, belum memiliki kebijakan yang mengatur secara khusus perlindungan data pribadi, namun dalam rumusan standar pelayanan informasi publik di Pengadilan, di mana terdapat beberapa norma atau ketentuan hukum yang menjamin penegakan perlindungan data pribadi, seperti kewajiban mengaburkan atau anomisasi dalam putusan atau permohonan pada klasifikasi perkara tertentu. Demikian juga, larangan bagi Hakim untuk mencantumkan NIK seseorang dalam putusan atau penetapan, tujuannya untuk berikan perlindungan data pribadi. Bentuk lainnya, dengan memberikan pengaturan informasi yang dikecualikan untuk disampaikan kepada publik.
Tantangan Harmonisasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik dan Perlindungan Data Pribadi di Mahkamah Agung RI
Meskipun dinilai progresif, keterbukaan informasi pubik yang dirumuskan Mahkamah Agung RI masih menimbulkan tantangan perlindungan data pribadi ditengah maraknya penyalahgunaan data pribadi di Indonesia, baik yang menggunakan sarana elektronik atau disampaikan langsung secara konvensional. Apalagi perlindungan data pribadi merupakan bagian dari hak privasi seseorang, yang wajib dilindungi oleh pemerintah, karena seorang individu berhak menjalankan kehidupannya tanpa ganguan dari pihak lain. Bahkan perlindungan data pribadi sebagai bagian dari hak privasi, merupakan hak kodrati manusia (HAM), sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 17 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Setelah, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, instansi pemerintah, termasuk Mahkamah Agung RI dalam melaksanakan pemenuhan keterbukaan informasi publik, wajib juga melindungi data-data pribadi seseorang. Hal tersebut, ditegaskan ketentuan Pasal 28G Konstitusi Indonesia, menerangkan hak atas privasi yang didalamnya terdapat perlindungan data pribadi, sebagai bagian Hak Asasi Manusia, yang wajib dilindungi dan dihormati termasuk oleh negara. Dalam konteks Indonesia, perlindungan data pribadi telah diatur dalam suatu undang-undang, di mana merupakan cermin universal dan abadi, serta disusun berdasarkan nilai yang tumbuh dan kebutuhan masyarakat, sebagaimana mazhab sociological jurisprudence. Demikian juga, ketentuan hukum perlindungan data pribadi, bersumber dari jiwa bangsa (volkgeist), yang diformulasikan berdasarkan Konstitusi.
Data pribadi, yang dapat diakses melalui sarana elektronik pengadilan seperti website, media sosial dan berbagai aplikasi layanan pengadilan secara elektronik, baik yang diperuntukan untuk penyelesaian perkara dan publikasi putusan (sipp, e-court, e-berpadu dan direktori putusan) atau layanan pengadilan umum seperti pembuatan surat keterangan tidak pernah dipidana seperti Era Terang dan inovasi pengadilan lainnya, baik yang dirumuskan oleh masing-masing Direktorat Jenderal Badan Peradilan atau satuan kerja secara mandiri, rentan untuk disalahgunakan melakukan berbagai tindak pidana seperti pemerasan, pengancaman, doxing (penyebaran data pribadi seseorang tanpa izin). Sebagai contoh, profil hakim dan aparatur pengadilan yang memuat nama, riwayat pekerjaan, posisi, riwayat pendidikan dan penghargaan yang diterima, termasuk mencantumkan foto di website pengadilan sebagaimana SK KMA Nomor 2-144 Tahun 2022 tersebut, dapat menjadi materi yang disebarkan secara luas oleh media massa atau pihak lain di media sosial, guna menekan hakim yang menangani suatu perkara menarik perhatian masyarakat, bahkan di beberapa website pengadilan mencantumkan secara lengkap daftar riwayat hidup hakim atau pegawai pengadilan sebagai evidence pelaksanaan zona integritas, dimana daftar riwayat hidup memuat informasi yang lebih lengkap, termasuk alamat rumah dan data perbankan hakim atau aparatur pengadilan. Peristiwa penggunaan data hakim dan aparatur pengadilan lainnya, untuk menekan persidangan dan penyalahgunaan tindak pidana penipuan, telah terjadi di beberapa satuan kerja Pengadilan, baik tingkat pertama ataupun banding.
Tantangan lainnya, terhadap putusan yang wajib dianomisasi atau dikaburkan seperti perkara perceraian, dimana nama pemohon dan termohonnya telah dianomisasi pada elektronik dokumen (e-doc) yang terunggah di direktori putusan Mahkamah Agung RI, yang sebelumnya hakim mengupload e-doc anomisasi pada sistem informasi penelusuran perkara setelah putusan selesai diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum, akan tetapi amar lengkapnya, yang memuat nama penggugat dan tergugat masih terdapat dalam direktori putusan Mahkamah Agung RI. Hal ini dikarenakan belum ada ketentuan yang mengharuskan putusan yang wajib dianomisasi para pihak atau saksinya, dimana amar putusannya yang diupload wajib juga teranomisasi bilamana terdapat nama pihak atau saksi dalam amar putusan. Selain itu, terdapat juga uraian permohonan atau gugatan, yang mencantumkan data pribadi seseorang, seperti NIK dalam Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga, nomor Akta Kelahiran dan nomor Sertifikat hak atas tanah, yang dapat diakses secara luas oleh orang lain, khususnya pada kolom data umum yang menguraikan petitum permohonan atau gugatan dalam sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) publik atau web satuan kerja pengadilan.
Bukti lawan dalam persidangan elektronik, melalui aplikasi e-court yang dapat diakses pihak lawannya secara terbuka atau bahkan diunduh, ketika proses inzage secara elektronik, juga merupakan perlindungan data pribadi melalui aplikasi yang dicetuskan oleh Mahkamah Agung RI. Demikian juga, publikasi putusan secara elektronik dalam direktori putusan yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat, dimana tidak mengenal daluwarsa publikasi, sebagaimana masyarakat dapat mengakses putusan pengadilan puluhan tahun lalu, juga menyisakan tantangan perlindungan data pribadi seseorang atau subjek hukum lainnya. Bagi pelaku pidana puluhan tahun lalu, yang sudah selesai menjalani masa hukumannya, dimana publikasi putusan tanpa daluwarsa, dapat merugikan dirinya dan keluarganya. Demikian juga, subjek hukum yang pernah menghadapi gugatan perdata sebagai Tergugat, walaupun gugatan tersebut diputus tidak dapat diterima, karena tidak memenuhi formalitas gugatan atau telah berlangsung puluhan tahun lalu, dapat merugikan kepentingan subjek hukum, tersebut dalam aktivitas bisnisnya. Belum lagi, layanan pengadilan yang meminta dokumen tertentu sebagai prasyarat layanan, dimana dokumen tersebut memuat data pribadi seorang, seperti persyaratan dalam mengajukan permohonan surat keterangan tidak pernah dipidana melalui Era Terang, yang mana Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya, belum memiliki mekanisme aturan pengarsipan dan penghapusan terhadap data pribadi dalam dokumen persyaratan layanan pengadilan tersebut, khususnya terhadap layanan yang telah selesai pemrosesannya.
Padahal menurut ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, setelah data pribadi tidak diperlukan dalam pemrosesan data pribadi untuk suatu layanan baik publik atau privat, dimana pengendali data pribadi di suatu instansi wajib menghapus data pribadi seseorang. Bahkan, berkaitan telah selesainya proses penyelesaian hukum suatu perkara, dimana data pribadi seseorang wajib dimusnahkan, sebagaimana ketentuan Pasal 44 Ayat 1 UU PDP tersebut. Pemusnahan sendiri, menurut penjelasan pasal 44 tersebut, adalah tindakan menghilangkan, melenyapkan atau menghancurkan data pribadi, sehingga tidak dapat lagi mengidentifikasi subjek data pribadi. Namun teruntuk, pengarsipan dan publikasi putusan disisi lainnya, terikat dengan pengaturan keterbukaan informasi publikasi publik, yang menyatakan bahwa putusan pengadilan adalah dokumen yang tidak termasuk informasi dikecualikan, sebagaimana ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan tantangan penyalahgunaan data pribadi, melalui penyampaian informasi publik di pengadilan secara konvensional, dapat terjadi melalui penyampaian langsung oleh juru bicara atau humas pengadilan, ketika menghadapi pertanyaan dari wartawan atau publik yang memerlukan informasi mengenai data suatu perkara seperti nama para pihak berperkara, informasi hakim atau aparatur pengadilan dan data lainnya yang mengandung data pribadi seseorang.
Urgensi Penyusunan Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik dan Perlindungan Data Pribadi di Mahkamah Agung RI
Terhadap tantangan harmonisasi keterbukaan informasi publik dan perlindungan data pribadi dimaksud, Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya, diperlukannya sinkronisasi kebijakan melalui penyusunan rancangan Peraturan Mahkamah Agung RI tentang keterbukaan informasi publik dan pelaksanaan perlindungan data pribadi di lingkungan Mahkamah Agung RI, serta badan peradilan dibawahnya, sehingga tujuan reformasi birokrasi lembaga peradilan, tidak hanya didasarkan pada pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik, tetapi juga melindungi hak privasi atas data pribadi baik hakim, aparatur pengadilan dan masyarakat pencari keadilan, serta pengguna layanan pengadilan.
Beberapa poin yang dapat diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI tersebut, sebagai berikut:
- Mengatur kembali informasi yang disampaikan kepada publik, dengan memperhatikan UU Keterbukaan Informasi Publik dan Perlindungan Data Pribadi;
- Memperingkas pencantuman profil hakim dan aparatur pengadilan, yang dipublish pada website Pengadilan, serta sistem informasi pengadilan lainnya yang dapat diakses publik secara luas, sehingga meminimalisir penyalahgunaan data pribadi Hakim dan aparatur pengadilan untuk tindakan melanggar hukum;
- Memperluas informasi yang wajib dianomisasi, guna berikan perlindungan informasi penting yang dapat membuka data pribadi seseorang, seperti menganomisasi Nomor Kartu Keluarga, Akta Kelahiran dan informasi pribadi lainnya, dalam dokumen putusan, permohonan dan produk pengadilan lainnya yang dapat diakses publik secara luas;
- Membentuk petugas perlindungan data pribadi (data protection officer) sebagai jabatan baru, yang melakukan pemrosesan data pribadi dan menjamin terlindunginya data pribadi pencari keadilan, pengguna layanan pengadilan dan aparatur pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya.
- Membentuk pejabat eselon II (biro baru) di bawah Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI yang memiliki tugas untuk menjamin pelaksanaan keterbukaan informasi di Mahkamah Agung RI dan pengadilan, termasuk memastikan keamanan sistem informasi pengadilan secara digital dan konvensional yang dapat diakses publik secara luas, berlandaskan prinsip perlindungan data pribadi dan termasuk mencegah bocornya data pribadi dari publikasi informasi melalui sarana teknologi dan informasi;
- Mengatur jangka waktu keterbukaan informasi publikasi berupa putusan, sehingga dapat menstigmanisasi seseorang atau badan hukum terhadap proses hukum yang telah selesai dijalaninya. Keterbukaan informasi atas publikasi putusan, dapat merujuk pada pseudonimisasi putusan di Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda, termasuk registrasi dan verifikasi bilamana warga negara atau badan hukum di luar pihak berperkara memerlukan akses lengkap atas putusan badan peradilan
- Menyusun pedoman juru bicara dan kehumasan, sehingga informasi yang dapat disampaikan kepada publik, selaras dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan perlindungan data pribadi
Sumber Referensi
- Buku
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung RI, Tahun 2010.
Danrivanto Budhijanto, Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia Cyberlaw dan Cybersecurity, PT. Refika Aditama, Bandung, 2023.
Zaid, Perlindungan Privasi dan Data Pribadi Sebuah Tinjauan Pengantar, Setara Press, Malang, 2024.
- Jurnal
Adam Muhshi, Pemenuhan Hak atas Informasi Publik sebagai Tanggung Jawab Negara dalam rangka Mewujudkan Good Governance, Jurnal Lentera Hukum, Vol 5, No. 1, 2018, hlm 66-67.
Danil Erlangga Mahameru, dkk, Implementasi UU Perlindungan Data Pribadi Terhadap Keamanan Informasi Identitas di Indonesia, Jurnal Esensi Hukum, Vol 5, No. 2, Desember 2023, hlm. 117.
Endang Retnowati, Keterbukaan Informasi Publik dan Good Governance (Antara Das Sein dan Das Sollen), Jurnal Perspektif, Vol 17, No. 1, Januari 2012, hlm. 57.
Lathifah Chairunnisa, Fikri Habibi dan Rethorika Berthanila, Analisis Penerapan Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik Oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Kota Serang, Jurnal AsIAN, Vol 11, No 2, September 2023, hlm. 33
- Peraturan Perundang-Undangan dan Aturan Hukum
Peraturan Menkominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik
Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Penulis:Tim Peneliti Naskah Akademik Raperma Keterbukaan Informasi Publik dan Perlindungan Data Pribadi


