Allah SWT berfirman dalam Surat QS Ar-Rum ayat 41 yang artinya : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”.
Mengutip ayat Quran tersebut, kita sadar bahwa kerusakan akibat perbuatan tangan manusia telah disebutkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW lebih dari 1500 tahun yang lalu. Namun, kesadaran akan pentingnya menjaga alam dengan segala keragaman hayatinya baru muncul sekitar dua dekade terakhir.
Salah satu profesi yang disebutkan Allah dalam Al-Quran dan sekaligus merupakan salah satu Asmaul Husna adalah Hakim. Hakim, sebagai pembuat keputusan akhir, diharapkan dapat memberikan keadilan baik kepada manusia maupun alam dengan segala keragamannya, yang pada hakikatnya juga demi keberlangsungan kehidupan manusia.
Manusia modern terkadang lupa bahwa aktivitasnya dalam mencari sumber daya alam seringkali menghancurkan dan merusak alam. Seringkali hukum kesulitan menemukan bukti yang cukup untuk membawa pelaku kerusakan (poluters) ke pengadilan.
Seiring perkembangan zaman dan kesadaran akan pentingnya menjaga alam sebagai keberlanjutan generasi berikutnya, manusia modern terus mencari cara yang efektif seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuat pelaku perusakan mempertanggungjawabkan perbuatannya dan memulihkan lingkungan (Polluter pays).
Alat bukti dalam perkara perdata meliputi surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Namun, alat bukti tersebut tidak lagi cukup untuk menjerat pelaku ke persidangan. Salah satu kekhususan dalam pemeriksaan perkara lingkungan hidup dibandingkan dengan perkara lainnya adalah diadopsinya bukti ilmiah dalam pembuktian perkara lingkungan hidup di pengadilan.
Walaupun tidak disebutkan secara spesifik, dalam perkembangannya, bukti ilmiah dianggap telah terakomodasi dalam frasa ‘alat bukti lain’ dalam Pasal 96 huruf f UUPPLH.
Apa yang dimaksud dengan bukti Ilmiah (Scientific Evident) itu? Bukti Ilmiah adalah penjelasan hubungan antara dua atau lebih komponen atau unsur-unsur dalam lingkungan hidup yang dikemukakan dalam bentuk tertulis oleh ahli berdasarkan hasil penelitian atau hasil keilmuannya dengan atau tanpa disertai penjelasan di depan persidangan. (Pasal 1 angka 16 Perma 1/2013)
BENTUK BUKTI ILMIAH (PASAL 20 PERMA1/2023) adalah sebagai berikut :
a. keterangan ahli di persidangan; b. pendapat ahli yang dituangkan dalam bentuk tertulis; c. hasil uji laboratorium; d. laporan hasil penelitian; e. hasil forensik, antara lain forensic lingkungan, hutan, satwa liar; dan/ atau f. bukti lainnya pengetahuan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana cara penilaian keahlian tersebut? Hakim sebagai tokoh sentral dalam persidangan dapat menilai keahlian seorang ahli dengan memperhatikan disiplin ilmu yang dibuktikan melalui pendidikan formal, ijazah Strata 2, sertifikat pelatihan, pendidikan khusus, pengalaman, karya ilmiah atau penelitian relevan, serta keaktifannya dalam seminar atau lokakarya yang tercantum dalam curriculum vitae.
Bagaimana tata cara penilaian keahlian di persidangan? Jika ahli diajukan ke pengadilan berdasarkan pemeriksaan dan/atau penelitian lapangan, pendapat ahli harus didasarkan pada fakta yang valid dan relevan. Orang yang memiliki keahlian khusus berdasarkan kearifan lokal yang diperoleh dari pengalamannya juga dapat diajukan oleh pihak yang bersangkutan untuk memberikan keterangan keahliannya di persidangan.
Selain itu, diperlukan penalaran hukum, yaitu penerapan prinsip berpikir logis dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Penalaran hukum menunjukkan hubungan erat antara logika dan hukum. Logika adalah ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat. Ide, gagasan, dan opini hukum pada dasarnya juga bersifat logis.
Dengan adanya penalaran hukum, hukum tidak hanya dipahami sebagai hafalan pasal belaka. Hukum juga bukan sekadar norma atau aturan yang ditetapkan oleh otoritas tertinggi yang wajib diikuti. Namun, hukum harus didasari pada sifat logis, karena logis adalah salah satu karakter atau sifat dasar hukum.
Menerapkan Asas/Prinsip Dalam Penanganan Perkara LH, Penalaran ilmiah hakim dalam perkara lingkungan melibatkan penerapan prinsip-prinsip atau asas-asas terlait dengan LH Perkara LH menempatkan pembuktian sebagai proses kunci, karena yang dicari adalah kebenaran materil dan perlindungan lingkungan. Beberapa asas penting yang dapat diterapkan dalam pembuktian adalah:
- Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian);
- In Dubio Pro Natura
- Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak)
- Polluter Pays Prinsiples (Prinsip Pencemar Membayar)
- Principle of Sustainable Development (Asas Pembangunan Berkelanjutan)
- Principle of Public Participation (Asas Partisipasi)
- Principle of Intergenerational Equity (Asas Keadilan Antar Generasi)
- Principle of State Sovereignty and Responsibility (Kedaulatan Negara dan Tanggung Jawab Negara) dan
- Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian):
Asas kehati-hatian adalah prinsip hukum lingkungan yang menuntut pengambil keputusan (negara, pengadilan, badan usaha) untuk bertindak hati-hati dan mencegah kemungkinan risiko serius atau tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan, meskipun belum ada bukti ilmiah lengkap. Intinya, jika ada ancaman terhadap lingkungan ketidakpastian ilmiah tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak melakukan tindakan pencegahan.
Dasar Hukum Internasional yaitu Deklarasi Rio 1992, Prinsip ke 15 menyebutkan bahwa “Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation”. Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Deklarasi Stockholm 1972 juga mengadopsi prinsip ini. Sedangkan Dasar Hukum Nasional diatur dalam Pasal 2 huruf f UUPPLH secara eksplisit menyebutkan asas kehati-hatian sebagai asas wajib dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Hakim harus progresif dan menerapkan kehati-hatian terutama saat terdapat ketidakpastian bukti ilmiah di persidangan.
Salah satu asas yang tidak kalah pentingnya dalam Lingkungan hidup adalah asas In Dubio Pro Natura. Asas ini berarti bahwa dalam keadaan ragu atau tidak jelas terkait bukti dalam perkara lingkungan hidup, hakim harus lebih mengutamakan perlindungan dan pelestarian lingkungan daripada kepentingan lain. Prinsip ini menjadi petunjuk bagi hakim untuk “memihak” alam apabila persidangan tidak memberikan bukti yang pasti. Dalam Dasar Hukum Internasional, prinsip atau asas ini merupakan turunan dari Precautionary Principle pada Deklarasi Rio 1992 dan diakui dalam berbagai dokumen lingkungan global.
Dalam lingkungan hidup dikenal juga suatu asas yang disebut Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Strict liability adalah prinsip hukum yang menegaskan bahwa pihak yang melakukan kegiatan berisiko tinggi terhadap lingkungan (misal, menggunakan B3 atau menghasilkan limbah B3) bertanggung jawab atas akibat kerusakan lingkungan tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan. Korban cukup membuktikan kerugian dan adanya hubungan kausal antara tindakan pelaku dan kerusakan—tidak perlu membuktikan niat atau kelalaian. Dalam Dasar Hukum Internasional diterapkan dalam berbagai instrumen seperti Konvensi Basel tentang limbah B3, dan diakui dalam rezim hukum lingkungan global sebagai liability without fault. Sedangkan dalam Dasar Hukum Nasional Indonesia ditemukan dalam Pasal 88 UU PPLH.
Di atas telah disebutkan bahwa adalah sudah sepatutnya Pencemar harus membayar akibat pencemaran yang dilakukannya, ini adalah konsekuensi logis. Asas ini Diadopsi dalam Deklarasi Rio 1992 (Prinsip 16), yang menentukan bahwa pihak yang mencemari lingkungan bertanggung jawab atas biaya pencegahan , pengendalian , dan pemulihan akibat pencemaran. Asas ini diadopsi secara tegas dalam Pasal 2 huruf h UU PPLH yang mewajibkan pencemar menanggung biaya akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Banyak lagi asas yang dikenal dalam lingkungan hidup seperti asas pembangunan berkelanjutan, asas partisipasi publik, asas keadilan antar generasi, asas kedaulatan negara dan tanggungjawab.
Sebagai kesimpulan, dapat dicatat bahwa proses pembuktian perkara lingkungan hidup di Indonesia sangat bergantung pada bukti ilmiah. Kekuatan bukti ilmiah yang dihadirkan bergantung pada keabsahan atau validitas masing-masing bentuk bukti tersebut. Meski dalam prakteknya bukti ilmiah sering dinilai lemah, hakim dianjurkan untuk tetap meyakini dan menjatuhkan pemidanaan dengan mempertimbangkan kepentingan perlindungan lingkungan hidup serta menerapkan prinsip in dubio pro natura yang terkait dengan prinsip kehati-hatian. Terutama jika dampak tindak pidana lingkungan hidup telah nyata terwujud dan menimbulkan kerugian bagi manusia dan lingkungan. Dalam pemeriksaan perkara, prosedur pemeriksaan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip due process of law untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat dalam menghukum orang yang tidak bersalah.
Dari uraian di atas, dapat kita jadikan motivasi ketika membahas bukti ilmiah, metode ilmiah, dan bagaimana penalaran ilmiah menjadi fondasi bagi penegakan hukum lingkungan yang berkeadilan. Namun sesungguhnya, inti dari semua itu adalah hati nurani yang tercerahkan oleh pengetahuan. Ilmu memberikan arah, tetapi nurani memberikan makna. Menjadi Hakim Lingkungan bukan sekadar menegakkan pasal, tetapi menjaga denyut kehidupan bumi. Setiap putusan yang dijatuhkan bukan hanya menentukan nasib manusia, tetapi juga nasib sungai, hutan, udara, dan generasi yang belum lahir. Di tangan kita, hukum lingkungan bukan sekadar teks, tetapi nafas bagi keberlanjutan semesta. Karena itu, teruslah berpikir ilmiah—tetapi juga berjiwa arif. Teruslah menggali kebenaran ilmiah—tetapi jangan kehilangan kebenaran moral, dan teruslah berjuang—karena bumi tidak bisa membela dirinya sendiri kecuali melalui keberanian dan kebijaksanaan para Hakim yang berintegritas.
Bila kita lihat negara negara lain, barulah kita bisa menyadari betapa seharusnya kita bersyukur memiliki negara yang kaya, baik dengan sumber dayanya, alamnya yang indah bagaikan sekeping surga yang jatuh ke bumi. Saya jadi tersenyum bila mendengar lagu Koes Plus :
Bukan lautan tapi kolam susu, Kain dan jala cukup menemanimu
Tiada badai tiada hujan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu
orang bilang tanah kita tanah syurga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman…….. Sayup-sayup terdengar tilawah Alquran di Mesjid depan rumahku, sehingga menghentikan lamunanku. Fa bia a la irobbikumma tukazziban…….maka nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan.


