- Perbarengan dan Jenis-Jenis Perbarengan
Hukum Pidana Indonesia (baik dalam wetboek van strafrecht maupun KUHP Nasional) dikenal istilah perbarengan. “Perbarengan” dalam hal ini berarti keadaan dimana seseorang melakukan satu perbuatan atau beberapa perbuatan yang melanggar hukum pidana. Dewasa ini dikenal adanya 3 (tiga) jenis perbarengan yakni:
- Concursus Realis (Pasal 127-128 KUHP Nasional/Pasal 65-66 WvS)
Concursus realis merujuk pada keadaan ketika seseorang melakukan beberapa tindakan terpisah yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.
- Concursus Idealis (Pasal 125 KUHP Nasional/Pasal 63 WvS)
Concursus realis merujuk pada keadaan dimana seseorang melakukan satu perbuatan yang ternyata melanggar beberapa ketentuan pidana sekaligus;
- Voortgezette Handeling/Perbuatan Berlanjut (Pasal 126 KUHP Nasional/Pasal 64 WvS)
Voortgezette handeling merujuk pada keadaan dimana seseorang melakukan beberapa perbuatan yang sedemikian rupa memiliki hubungan satu dengan yang lainnya sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut;
- Permasalahan Penyelesaian Perkara Perbarengan Yang Dilimpahkan Secara Terpisah
Sistem penjatuhan hukuman yang digunakan dalam Hukum Pidana Indonesia dewasa ini, baik dalam KUHP Nasional maupun Wetboek van Strafrecht adalah sistem absorbsi. Sistem Absorbsi memiliki arti hanya satu jenis pidana yang dijatuhkan kepada pelaku, yakni pidana yang paling berat di antara seluruh tindak pidana yang dilakukan, sedangkan pidana-pidana lainnya “diserap” atau dianggap termasuk di dalamnya (kecuali dalam hal concursus realis maka terdapat pemberatan 1/3 dari hukuman paling tinggi/ dikenal sebagai absorbsi yang dipertajam). Dengan demikian, sistem ini tidak menjumlahkan seluruh pidana, melainkan memilih satu pidana yang terberat untuk dijatuhkan kepada pelaku. Sebagai contoh Seorang pelaku menembak seseorang hingga mati saat sedang mencuri, maka perbuatannya telah melanggar 2 (dua) delik pidana yakni;
- Tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP) → pidana 15 tahun.
- Tindak pidana pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 Ayat (5) KUHP) → pidana 15 tahun.
Dalam sistem absorbsi, pelaku hanya dijatuhi pidana yang terberat, yaitu 15 tahun penjara.
Pada umumnya dalam hal perkara perbarengan (concursus) dilimpahkan dalam berkas perkara berbeda, Majelis Hakim cukup melakukan koordinasi (apabila berbeda majelis) namun ternyata banyak timbul permasalahan dimana perkara tersebut diajukan banding, salah satu contohnya dalam hal perkara perbarengan (concursus) yang dilimpah secara terpisah kedalam 2 berkas dimohonkan banding (sebelumnya pada tingkat pertama dijatuhkan putusan berupa pidana penjara selama 13 tahun dan 6 tahun) kemudian pada tingkat banding dijatuhkan putusan berupa pidana penjara selama 20 tahun dan 5 tahun sehingga pidana total yang dijatuhkan berupa penjara selama 25 tahun. padahal apabila penuntutannya dilakukan secara bersamaan maka pidana maksimal yang dapat dijatuhkan hanyalah 20 tahun. Pidana yang dijatuhkan tersebut melampaui batas maksimum dan bahkan melampaui masa pidana penjara waktu tertentu maksimal yang diatur dalam pasal 12 Ayat (3) dan (4) KUHP WvS yang berbunyi:
- Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal 52.
- Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Lebih lanjut Pasal 131 KUHP Nasional juga mengatur “Jika Setiap Orang telah dijatuhi pidana dan kembali dinyatakan bersalah melakukan Tindak Pidana lain sebelum putusan pidana itu dijatuhkan, pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 130, seperti jika Tindak Pidana itu diadili secara bersama.”
Pada praktiknya timbul pula pertanyaan bagaimana apabila terhadap suatu perkara dimana Seseorang (dewasa) melakukan suatu perbuatan pencabulan terhadap 5 (lima) orang anak pada waktu yang berbeda sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, namun pada saat pelimpahan ke pengadilan penuntut umum melakukan pemisahan penuntutan menjadi 5 berkas (splitsing). Perbuatan Terdakwa tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Apabila Terdakwa tersebut dituntut dalam satu berkas tanpa dilakukan splitsing maka apabila terbukti, Terdakwa seharusnya hanya dapat dijatuhi hukuman paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara karena ada pemberatan dari concursus realis. Nyatanya kelima perbuatan Terdakwa tersebut dituntut secara terpisah kedalam 5 (lima) berkas perkara dimana Majelis Hakim diberikan batasan untuk menjatuhkan pidana yakni paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Apabila Majelis Hakim menjatuhkan masing-masing dari berkas perkara yang dituntut tersebut dengan pidana penjara minimal yaitu 5 (lima) tahun penjara (karena perkara lainnya belum berkekuatan hukum tetap), maka terhadap diri Terdakwa sudah pasti dikenakan dengan total pidana penjara selama 25 (dua puluh lima) tahun. Perbedaan ini sudah pasti tidak lah adil secara hukum, karena bagaimana mungkin pemisahan berkas tersebut justru memberi dampak signifikan yakni mengubah stelsel pemidanaan dari yang sebelumnya absorbsi menjadi kumulasi.
Untuk menghadapi keadaan demikian KUHP Nasional maupun Wetboek van Strafrecht sebenarnya sudah menyediakan mekanisme yang dikenal dengan delik tertinggal sebagaimana diatur dalam Pasal 131 KUHP Nasional dan Pasal 71 Wetboek van Strafrecht yang pada pokoknya menyatakan “jika setiap orang dijatuhi pidana dan kembali dinyatakan kembali bersalah melakukan tindak pidana lain sebelum putusan pidana itu dijatuhkan, pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang dijatuhkan dengan menggunakan aturan perbarengan”. Lantas bagaimanakah cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah dijabarkan diatas disaat kelima perkara tersebut berjalan bersamaan dimana meskipun salah satu perkara tersebut diputus terlebih dahulu, terhadap pidana yang dijatuhkan dalam putusan tersebut belum lah dapat diperhitungkan kedalam pidana yang akan dijatuhkan dalam putusan lainnya karena belum berkekuatan hukum tetap.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka perlu dibentuk suatu aturan untuk mengakomodir prosedur penyelesaian seperti penjatuhan putusan sela untuk menunda terlebih dahulu pemeriksaan perkara, atau Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan dakwaan prematur.
Majelis Hakim dalam hal ini diberikan kewenangan untuk menunggu salah satu perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap misalkan dalam perkara pertama Majelis Hakim menjatuhkan pidana berupa penjara selama 6 (enam) tahun dan putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka setelah itu Majelis Hakim dapat melanjutkan pemeriksaan perkara kedua dan menjatuhkan pidana berupa penjara selama 3 (tiga) bulan karena berdasarkan ketentuan Pasal 131 KUHP Nasional dan Pasal 71 WvS tersebut kedua pidana yang dijatuhkan dianggap sebagai hasil absorbsi yakni pidana yang dijatuhkan dalam kedua perbuatan adalah 6 (enam) tahun dan 3 (tiga) bulan sehingga penjatuhan pidana dalam perkara kedua tidak melanggar batas minimum khusus pidana penjara dari delik yang dilanggar yakni 5 (lima) tahun.
Sekarang, timbul pertanyaan lanjutan berupa “dalam hal Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan sela berupa penundaan/penangguhan pemeriksaan, maka perkara mana yang terlebih dahulu diperiksa dan kapan penundaan tersebut dijatuhkan?”. Terkait perkara mana yang terlebih dahulu akan diperiksa, adalah hal yang mudah untuk ditentukan. Perkara yang terlebih dahulu diperiksa adalah perkara dimana Terdakwa dikenakan penahanan, ini bertujuan agar Terdakwa dipastikan tidak akan keluar dari tahanan. Kemudian mengenai kapan putusan sela tersebut seharusnya dijatuhkan maka Majelis Hakim dalam hal ini dapat menggunakan 2 (dua) skenario.
Skenario yang pertama adalah melanjutkan pemeriksaan terlebih dahulu sampai dengan sebelum keputusan kemudian menjatuhkan putusan sela penundaan/penangguhan pemeriksaan perkara sampai perkara yang akan diperiksa terlebih dahulu memperoleh kekuatan hukum tetap. Skenario ini sebenarnya merupakan skenario paling ideal mengingat pembuktian kelima perkara tersebut dapat dilakukan dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pemanggilan saksi berulang kali, namun skenario ini memiliki resiko yaitu bagaimana apabila ternyata Majelis Hakim yang memeriksa perkara mengalami mutasi/pindah tugas sedangkan perkara sudah selesai diperiksa dan hanya menunggu penjatuhan putusan saja. Dari penjabaran tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa skenario pertama ini sebaiknya digunakan dalam hal Majelis Hakim tidak akan mengalami pindah tugas dalam waktu dekat.
Skenario yang kedua adalah Majelis Hakim dapat langsung menjatuhkan putusan sela tepat sebelum pembuktian dari Penuntut Umum. Skenario kedua ini dapat dikatakan lebih aman dibandingkan skenario pertama namun akan sangat tidak efisien dalam prosedur pembuktiannya karena persidangan akan dilakukan dalam tenggat waktu yang dapat dikatakan lama terlebih apabila perkara yang diperiksa terdahulu menempuh upaya hukum banding dan/atau kasasi.
- Kesimpulan
Perlu dibentuknya suatu aturan terkait penyelesaian perkara perbarengan yang pelimpahannya dilakukan secara terpisah (splitsing), sehingga Majelis Hakim dapat memilih apakah akan menjatuhkan putusan berupa Dakwaan Prematur atau memeriksa perkara dimana Terdakwa ditahan terlebih dahulu dan menangguhkan pemeriksaan atas perkara lainnya sampai perkara yang diperiksa pertama tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap Pasal 131 KUHP Nasional dan Pasal 71 Wetboek van Strafrecht yang mengenai delik tertinggal. Pelimpahan secara terpisah tidak boleh menggeser stelsel penjatuhan pidana yang sebelumnya bersifat Absorptif menjadi Kumulatif.
Referensi
Remmelink, J. (2022). Pengantar Hukum Pidana Material 1: Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht, Prolegomena dan Uraian tentang Teori–Ajaran Dasar (T. Moeliono, Trans.). Yogyakarta: Maharsa Publishing.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Wetboek van Strafrecht.


