Putusan hakim seringkali disebut sebagai “mahkotanya” hakim, dimana mengandung makna bahwa putusan hakim, sebagai produk akhir dari proses peradilan, adalah simbol kehormatan dan kualitas seorang hakim. Putusan hakim juga merefleksikan banyak hal, bagi pencari keadilan putusan hakim merupakan garda terakhir menggapai keadilan. Bagi mereka, hakim seharusnya mampu menjadi Wakil Tuhan di dunia sehingga dapat memberikan keadilan yang diharapkan. Di sisi lain putusan hakim juga merefleksikan kualitas diri mereka, karena kualitas seorang hakim juga ditentukan oleh profesionalitas, integritas, dan kemampuan hakim dalam menerapkan hukum, serta memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara di pengadilan, Hakim wajib menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal esensial, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang dibangun dalam penalaran hukum (legal reasoning) seorang hakim yang seimbang. Selain itu, dalam membuat putusan, hakim juga dituntut memiliki kemampuan intelektual, moral dan integritas tinggi.
Kewajiban Hakim dalam membuat putusan dengan pertimbangan yang jelas dan berdasar tercermin pula dalam Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Bahkan Pasal 53 UU Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya menegaskan lagi bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, Hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hukum Hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. Kejelasan dan kecukupan pertimbangan hukum (legal reasoning) yang menjadi dasar amar putusan diperlukan untuk membuktikan perbuatan terdakwa, sehingga mencerminkan putusan yang bermuatan nilai kebenaran dan keadilan.
Dengan demikian pertimbangan hakim menjadi bagian penting dalam menjatuhkan putusan pidana dan tindakan, maka sebagaimana pendapat Sudarto dalam bukunya berjudul “Kapita Selekta Hukum Pidana”, putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis sebagai berikut:
- Pertimbangan Yuridis
- Pertimbangan yuridis maksudnya adalah hakim mendasarkan putusannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan secara formil. Hakim secara yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).
- Pertimbangan filosofis
- Pertimbangan filosofis maksudnya hakim mempertimbangkan bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa merupakan upaya untuk memperbaiki perilaku terdakwa melalui proses pemidanaan. Hal ini bermakna bahwa filosofi pemidanaan adalah pembinaan terhadap pelaku kejahatan sehingga setalah terpidana keluar dari lembaga permasyarakatan, akan dapat memperbaiki dirinya dan tidak melakukan kejahatan lagi.
- Pertimbangan sosiologi
- Pertimbangan sosiologis maksudnya hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa pidana yang dijatuhkan mempunyai manfaat bagi masyarakat.
Seiring dengan akan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Nasional) yakni pada 2 Januari 2026, maka pertimbangan yuridis, pertimbangan filosofis dan pertimbangan sosiologis sebagai pertimbangan penting bagi hakim, selain itu diharapkan seluruh hakim dapat menerapkan KUHP Nasional dengan tepat dan benar, mengingat banyak hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP Lama.
Bahwa, saat ini KUHP Nasional mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara pelindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia;
KUHP Nasional memberlakukan double track system yakni berupa Pidana dan Tindakan selain itu KUHP Nasional juga mengatur Pemaafan Hakim (Rechterlijke pardon) dimaksudkan sebagai pembaharuan model penyelesaian perkara pidana yang lebih memadai atas tindak pidana yang dianggap patut untuk tidak dijatuhi hukuman atau diperkirakan tidak akan memberi manfaat pada tujuan pemidanaan jika pidana dijatuhkan;
Pembahasan pada materi ke-5 tentang Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dan tindakan, meliputi:
- Tujuan pemidanaan (Pasal 51 huruf c dan d);
- Stelsel pemidanaan (Absorbsi dan kumulasi) (Pasal 125 – 131);
- Macam-macam pedoman pemidanaan:
- Pedoman pemidanaan (Pasal 53-54);
- Pedoman pemidanaan bagi korporasi (pasal 56);
- Pedoman penjatuhan pidana penjara (pasal 70);
- Pedoman penjatuhan pidana tutupan (Pasal 74 juncto UU 20 Tahun 1946);
- Pedoman perubahan pidana penjara menjadi denda, pidana pengawasan, pidana kerja sosial (pasal 71, 75, dan 85);
- Pedoman penjatuhan pidana mati (pasal 100);
- Pedoman pengenaan tindakan (pasal 103);
- Gugurnya kewenangan penuntutan (pasal 132 ayat 1 huruf d, e dan g);
Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H.
Ketua Kamar Pidana MA RI
Sutarjo, S.H., M.H.
Hakim Agung Kamar Pidana MA RI
Dr. Sudharmawatiningsih, S.H., M.H.
Panitera Muda Pidana Khusus MA RI


