Proses pembuktian di persidangan merupakan pilar utama dalam sistem peradilan pidana yang berfungsi sebagai fondasi untuk mengungkap kebenaran materiil dan mencapai keadilan hakiki dalam suatu perkara. Tanpa proses pembuktian yang cermat dan berintegritas, putusan pengadilan berisiko tidak mencerminkan kebenaran faktual, yang dapat membawa kerugian bagi terdakwa, korban, maupun masyarakat pada umumnya.
Sistem hukum pembuktian di Indonesia baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana berakar pada tradisi Eropa Kontinental (Civil Law) yang secara historis diatur dalam kerangka kodifikasi yang rigid dan terperinci, berbeda dengan tradisi Anglo-Saxon (Common Law) yang lebih berorientasi pada sumber hukum berupa yurisprudensi dan preseden.
Salah satu prinsip yang berlaku dalam tradisi Common Law adalah Corroboration Rule yang dalam terjemahan bebas diartikan sebagai Aturan Pembuktian atau Prinsip Penguatan Alat Bukti. Dalam Black’s Law Dictionary, corroboration diartikan sebagai: “Confirmation or support by additional evidence or authority”. Secara singkat, corroboration rule merupakan sebuah prinsip hukum dalam pembuktian yang menyatakan bahwa suatu bukti harus didukung atau diperkuat oleh bukti lain agar dapat memiliki kualitas dan bobot yang cukup untuk meyakinkan hakim.
Pertanyaan yang menarik untuk dianalisis adalah, bagaimana relevansi prinsip corroboration rule dalam sistem hukum pidana di Indonesia?
Sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum pidana di Indonesia diatur secara ketat oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie). Teori pembuktian tersebut menggabungkan 2 (dua) elemen esensial, yaitu: legitimasi alat bukti berdasarkan undang-undang dan keyakinan hakim.
Dengan kata lain, seorang hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP.
KUHAP tidak menggunakan istilah prinsip “koroborasi” secara formal, akan tetapi prinsip “minimum dua alat bukti yang sah” yang dianut oleh KUHAP secara fungsional mengharuskan koroborasi (penguatan) dengan alat bukti lain untuk setiap bukti tunggal yang diajukan di persidangan.
Alat bukti yang berperan sebagai “koroborasi” atau penguat alat bukti lainnya dapat disebut dengan istilah corroborating evidence. Dalam Black’s Law Dictionary, corroborating evidence diartikan sebagai: “Evidence that differs from but strengthens or confirms what other evidence shows” yang dalam terjemahan bebas diartikan sebagai alat bukti yang berbeda tetapi memperkuat atau mengonfirmasi apa yang ditunjukkan oleh alat bukti lainnya.
Alat bukti petunjuk yang dalam Pasal 188 KUHAP diartikan sebagai “Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya” merupakan contoh konkret bagaimana prinsip corroboration rule diintegrasikan ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia, yang mana serangkaian petunjuk yang saling bersesuaian dapat digunakan dalam membentuk keyakinan hakim dengan penilaian yang dilakukan secara arif dan bijaksana serta penuh kecermatan.
Contoh kasus yang dapat digunakan adalah kasus kopi sianida yang terjadi pada tahun 2016. Dalam kasus ini, vonis pidana dijatuhkan tanpa adanya saksi langsung yang melihat terdakwa melakukan perbuatan pidana. Sebaliknya, majelis hakim yang mengadili perkara tersebut mengandalkan serangkaian bukti petunjuk yang merupakan bagian dari alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) yang memiliki persesuaian, seperti dari rekaman CCTV, keterangan saksi, dan bukti lainnya untuk mencapai keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa adalah pelakunya. Penyelesaian kasus ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung sistem pembuktian Indonesia mengadopsi prinsip koroborasi melalui penggunaan alat bukti petunjuk sebagai penguat alat bukti lainnya.
Selain alat bukti petunjuk, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah lainnya sebagaimana Pasal 184 KUHAP. Dalam penerapannya, berlaku asas unus testis nullus testis yang secara harfiah berarti bahwa satu saksi bukanlah saksi dan hal tersebut telah diatur secara normatif dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Agar kesaksian tersebut memiliki kekuatan pembuktian, maka ia harus dikuatkan atau “dikoroborasikan” oleh alat bukti sah lainnya seperti keterangan ahli, surat, petunjuk, dan/atau keterangan terdakwa.
Dalam perkembangannya di Indonesia, pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah terjadi perubahan paradigma dalam pembuktian dari tuntutan pembuktian kuantitatif yang kaku menjadi pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Pendekatan baru ini mengakui bahwa kejahatan seperti kekerasan seksual sering terjadi secara privat, di mana korban adalah satu-satunya saksi.
Sebagai lex specialis, UU TPKS telah menciptakan pengecualian yang signifikan terhadap aturan pembuktian umum KUHAP. Menurut UU a quo, vonis pidana dapat dijatuhkan dengan satu keterangan saksi korban yang dikuatkan oleh satu alat bukti lainnya serta keyakinan hakim (vide: Pasal 25 UU TPKS) sehingga secara implisit mengakui keterangan tunggal korban sebagai salah satu alat bukti, namun tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dengan mensyaratkan adanya satu alat bukti pendukung.
Di samping itu, UU TPKS juga memperluas jenis dari alat bukti yang sah. Selain alat bukti yang diakui dalam KUHAP, UU TPKS juga secara eksplisit mengakui “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dan “barang bukti” sebagai alat bukti yang sah. Perluasan ini juga mencakup bukti berupa surat keterangan psikolog klinis/psikiater, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, dan hasil pemeriksaan rekening bank.
Perluasan jenis alat bukti ini secara fundamental memperkuat prinsip corroborating rules dalam relevansinya dengan sistem hukum pidana di Indonesia. Bukti-bukti baru ini berfungsi sebagai sumber independen yang ideal untuk mendukung dan menguatkan keterangan tunggal korban, terutama dalam kasus yang terjadi secara privat dan tertutup sehingga minimnya alat bukti yang tersedia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun Indonesia tidak mengadopsi prinsip corroboration rule secara formal dari tradisi common law, namun substansi dan semangatnya sangat relevan dan tercermin dalam sistem pembuktian hukum pidana yang diatur dalam KUHAP.
Prinsip corroboration rule berfungsi sebagai fortifikasi adagium hukum yang berlaku secara universal dalam hukum pidana yaitu: “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” sebagai tafsiran atau bentuk lain dari asas in dubio pro reo. Relevansinya terletak pada kemampuannya untuk memastikan bahwa putusan pengadilan didasarkan pada fondasi bukti yang kokoh dan saling bersesuaian serta menguatkan demi menemukan kebenaran materiil (materiele waarheid) sehingga dapat terwujudnya 3 (tiga) tujuan utama hukum yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Referensi Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary: Ninth Edition. St. Paul: Thomson Reuters, 2009.


