Dalam sistem peradilan, seorang hakim memegang peran yang sangat krusial. Ia bukan sekadar penafsir hukum, tetapi juga penjaga nilai-nilai keadilan yang menjadi fondasi masyarakat yang beradab. Selama ini, dua kualitas utama yang sering dijunjung tinggi dalam diri seorang hakim adalah kejujuran dan integritas. Keduanya memang tak tergantikan. Namun, di balik sorotan terhadap dua nilai tersebut, ada satu sikap yang tak kalah penting namun sering kali terabaikan: kerendahan hati.
Kerendahan hati bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan batin yang membentuk karakter luhur seorang hakim. Ia adalah penyeimbang antara kekuasaan dan kebijaksanaan, antara otoritas dan empati. Hakim yang rendah hati tidak melihat dirinya sebagai penguasa ruang sidang, melainkan sebagai pelayan keadilan yang harus membuka diri terhadap kebenaran dari berbagai sisi.
Menurut Jeremy Waldron, seorang Profesor hukum dari New York University, ia mengatakan:
“Judges must not only be impartial and honest, but also humble enough to recognize the limits of their own reasoning and the weight of the consequences their decisions carry”.
Hakim yang rendah hati adalah hakim yang menjaga jarak dari keangkuhan. Kekuasaan kehakiman bersifat mandiri dan bebas dari intervensi. Namun, kebebasan itu bukan tanpa risiko. Tanpa kerendahan hati, seorang hakim bisa terjebak dalam kesombongan intelektual, merasa paling benar, dan menutup diri dari kritik maupun masukan. Ia bisa menjadi terlalu percaya diri dalam menafsirkan hukum, sehingga mengabaikan konteks sosial, budaya, dan kemanusiaan dari perkara yang dihadapinya. Kerendahan hati bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan moral yang membuat hakim mampu menjalankan tugasnya dengan bijaksana. Hakim yang rendah hati menyadari bahwa ia bukan pemilik kebenaran mutlak, melainkan penafsir hukum yang harus terbuka terhadap argumen, bukti, dan suara keadilan.
Sikap rendah hati mencegah hakim dari kesombongan intelektual yang bisa menutup diri dari pandangan berbeda, penyalahgunaan kewenangan, karena merasa tak tersentuh oleh kritik, dan ketidakpekaan sosial, yang membuat putusan kehilangan rasa keadilan substantif.
Rendah Hati Mendorong Pembelajaran Berkelanjutan
Roscoe Pound, mengatakan “The law must be stable, but it must not stand still”. Hakim yang rendah hati memahami bahwa hukum berkembang, dan ia harus bersedia menyesuaikan diri dengan dinamika sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.
Hukum bukanlah entitas yang statis. Ia terus berkembang seiring perubahan zaman, teknologi, dan nilai-nilai masyarakat. Hakim yang rendah hati akan menyadari bahwa belajar adalah proses seumur hidup. Ia tidak merasa cukup dengan pengetahuan yang dimilikinya, tetapi terus memperbarui wawasan, membaca perkembangan hukum, dan mendengarkan pandangan dari berbagai disiplin ilmu.
Dalam perkara-perkara yang kompleks, seperti lingkungan hidup, korupsi, atau hak asasi manusia, kerendahan hati menjadi kunci untuk memahami dimensi teknis dan moral yang saling berkelindan. Hakim yang rendah hati akan bersedia mendengarkan ahli, berdialog dengan masyarakat, dan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari putusannya.
Prof. Satjipto Rahardjo, dalam pemikirannya tentang hukum progresif, menekankan bahwa “Hukum harus berpihak pada manusia, bukan sebaliknya.” Hakim yang rendah hati akan lebih mudah memahami esensi ini, karena ia tidak terjebak dalam formalitas hukum semata.
Di era transparansi dan partisipasi publik seperti saat ini, sikap rendah hati menjadi jembatan antara pengadilan dan masyarakat. Citra hakim tidak lagi hanya dibentuk oleh putusan yang dijatuhkan, tetapi juga oleh sikap dan perilaku dalam menjalankan tugasnya. Hakim yang rendah hati akan lebih mudah membangun kepercayaan masyarakat. Ia menunjukkan bahwa hukum bukanlah menara gading yang jauh dari rakyat, tetapi alat untuk melindungi yang lemah, menegakkan keadilan, dan memperbaiki ketimpangan. Kerendahan hati juga menciptakan ruang dialog antara pengadilan dan masyarakat. Ia membuka pintu bagi kritik yang konstruktif, memperkuat akuntabilitas, dan menjadikan lembaga peradilan sebagai bagian dari demokrasi yang sehat.
Kekuasaan kehakiman mutlak bersifat mandiri, tetapi bukan tanpa batas. Kerendahan hati adalah rem batin yang menjaga agar kekuasaan itu tidak berubah menjadi kesewenang-wenangan. Ia mengingatkan hakim bahwa “kekuasaan tanpa kerendahan hati adalah jalan menuju keangkuhan, bukan keadilan”. Kejujuran dan integritas memang pondasi utama seorang hakim. Namun, kerendahan hati adalah ruh yang menghidupkan keadilan itu sendiri. Ia membuat hakim tidak hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga penjaga nurani bangsa.
Kejujuran dan integritas adalah fondasi utama seorang hakim. Namun, kerendahan hati adalah ruh yang menghidupkan keadilan itu sendiri. Ia menjadikan hakim bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi sebagai penjaga martabat kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan, kerendahan hati bukanlah pilihan, tetapi keharusan moral bagi setiap hakim yang ingin menegakkan keadilan dengan hati nurani.
Irwan Rosady, S.H., M.H.
Kepala Bagian Peraturan Perundang-Undangan Biro Hukum Dan Humas Mahkamah Agung RI


