
Secara etimologis makna dari tempus computandi berasal dari 2 (dua) kata, yaitu tempus yang memiliki arti waktu dan computandi yang berarti perhitungan. Tempus computandi juga dikenal dengan computus, yang berarti sistem perhitungan yang digunakan oleh pihak gereja di masa abad pertengahan untuk menentukan hari perayaan paskah. Apabila diartikan secara harfiah maka memiliki arti cara atau metode perhitungan waktu. Dalam ilmu hukum, “waktu” yang direfleksikan dalam wujud “hari” adalah hal yang penting demi menjamin asas kepastian hukum (rechtssicherheit) dan asas keadilan (gerechtigkeit), terutama dalam konteks hukum pidana militer, mengapa? dikarenakan sebagai parameter penegak hukum untuk menentukan awal mula, lamanya hingga akhir suatu waktu yang memiliki konsekuensi hukum (seperti perhitungan lamanya ketidakhadiran tanpa izin seorang prajurit TNI di kesatuan). Dalam hukum acara pidana perhitungan waktu pun menjadi hal yang penting guna menentukan batas sah atau tidaknya suatu tindakan hukum (seperti lamanya penahanan, batas waktu pengajuan upaya hukum hingga lamanya pemeriksaan perkara).
Kepastian hukum mengandung makna bahwa perhitungan waktu akan memudahkan aparat penegak hukum menghitung ketidakhadiran tersangka/terdakwa di kesatuan dan bagi tersangka/terdakwa sebagai bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan ketidakhadirannya di kesatuan. Sedangkan keadilan mengandung makna bagi aparat penegak hukum maupun bagi tersangka/terdakwa memahami kapan hak dan kewajibannya dimulai hingga berakhir, tanpa membingungkan karena adanya perbedaan tafsir yang ujungnya akan merugikan kedua belah pihak.
Ketidakhadiran tanpa izin di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) diatur pada Bab III Kejahatan-Kejahatan Yang Merupakan Suatu Cara Bagi Seseorang Militer Menarik Diri Dari Pelaksanaan Kewajiban-Kewajiban Dinas. Jenis kejahatan ketidakhadiran tanpa izin bagi seorang prajurit TNI merupakan perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer, sehingga penyelesaiannya juga melalui mekanisme hukum pidana, walaupun dalam perkembangannya dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, khususnya pada penjelasan Pasal 8 huruf b menyebutkan “ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI dalam waktu damai paling lama 4 (empat) hari” dapat diselesaikan menurut mekanisme hukum disiplin militer, dikarenakan termasuk dalam perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya. Namun satu yang harus disepakati, dalam kehidupan militer “disiplin” adalah roh dari prajurit TNI.
“Hari” dalam beberapa aturan perundang-undangan menyebutkan adalah hari kalender, sedangkan di dalam Pasal 97 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama mendefinisikan secara rigid pengertian “1 (satu) hari” adalah “24 (dua puluh empat) jam”. Lalu bagaimana makna perhitungan 1 (satu) hari dalam hukum pidana militer?
S.R. Sianturi, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pidana Militer Di Indonesia” telah mengupasnya dalam pembahasan “Awal dan akhir penghitungan hari untuk ketidakhadiran dalam waktu damai” halaman 263-264. 1 (satu) hari yang dimaksud dalam KUHPM ini senafas dengan KUHP, namun terdapat sifat yang lebih spesifik dalam pandangannya, dikarenakan aturan disiplin yang strict makna 24 (dua puluh empat) jam tersebut haruslah dimaknai awal perhitungannya dimulai dari jam berapa seorang prajurit TNI seharusnya berada di kesatuan tempat ia berdinas, sampai keesokan harinya setelah 24 (dua puluh empat) jam prajurit TNI tersebut berada di kesatuannya (walaupun lintas hari, tergantung pengecekan awal hingga pengecekan esok harinya).
Yang dimaksud “jam berapa seorang prajurit TNI seharusnya berada di kesatuan tempat ia berdinas” ialah dibuktikan dengan jam pengecekan kehadiran (apel pagi, siang, sore atau malam) oleh pihak kesatuan yang dalam prakteknya dilakukan oleh petugas yang mengisi buku/daftar absensi, maka jam pengecekan itulah yang dihitung sebagai “awal” perhitungan “kehadiran dan ketidakhadiran” sampai dengan jam pengecekan kehadiran (apel pagi, siang, sore atau malam) oleh pihak kesatuan pada hari berikutnya sebagai “akhir” perhitungan 24 (dua puluh empat) jam. Dengan demikian 1 (satu) hari ketidakhadiran seorang prajurit TNI yang dilakukan tanpa izin dihitung dari awal pengecekan (apel pagi, siang, sore atau malam) sampai dengan pengecekan (apel pagi, siang, sore atau malam) esok harinya, sehingga norma 1 (satu) hari adalah 24 (dua puluh empat) jam sebagaimana dalam hukum pidana terpenuhi.
Contohnya:
Prada Sholeh pada hari Senin tanggal 3 Februari 2025 sekira pukul 07.00 WIB tidak mengikuti apel pagi di Yonif A tanpa izin dari atasan dan tanpa keterangan (TK), hal ini diketahui setelah Serda Budi yang bertugas sebagai pemeriksa absensi di Yonif A memeriksa daftar ebsensi apel pagi, lalu saat dilakukan apel sore sekira pukul 15.00 WIB hingga apel malam sekira 21.00 WIB masih di hari Senin tanggal 3 Februari 2025 ternyata Prada Sholeh tetap tidak hadir tanpa keterangan (TK), selanjutnya ketika dilakukan pengecekan apel pagi di hari Selasa tanggal 4 Februari 2025 sekira pukul 07.00 WIB Prada Sholeh tetap tidak hadir tanpa keterangan (TK). Dengan mendasari teori S.R. Sianturi, S.H. maka 1 (satu) hari atau 24 (dua puluh empat) jam ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh Prada Sholeh di Yonif A dihitung 1 (satu) hari setelah pengecekan apel pagi di tanggal 4 Februari 2025, bukan pada saat apel malam di tanggal 3 Februari 2025.
Selanjutnya, bagaimana tempus computandi dari unsur “lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari” sebagaimana yang ada pada Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM, kapan tepatnya seorang prajurit TNI melakukan ketidakhadiran tanpa izin melewati waktu 30 (tiga puluh) hari dengan pendekatan doktrin hukum menurut S.R. Sianturi, S.H. dan norma hukum Pasal 97 KUHP?
Contohnya:
Serda Agung pada hari Senin tanggal 3 Februari 2025 sekira pukul 07.00 WIB tidak mengikuti apel pagi di Yonif Konoha tanpa izin dari atasan dan tanpa keterangan (TK), hal ini diketahui setelah Pelda Putra yang bertugas sebagai pemeriksa absensi di Yonif Konoha memeriksa daftar ebsensi apel pagi, hingga saat dilakukan apel sore hingga apel malam masih di hari Senin tanggal 3 Februari 2025 ternyata Serda Agung tetap tidak hadir tanpa keterangan (TK), selanjutnya ketika dilakukan pengecekan apel pagi di hari Rabu tanggal 5 Maret 2025 sekira pukul 07.00 WIB Serda Agung tetap tidak hadir tanpa keterangan, sehingga menjadi genap 30 (tiga puluh) hari Serda Agung meninggalkan kesatuan tanpa izin secara berturut-turut (Desersi). Lalu saat dilaksanakannya apel malam hari Rabu tanggal 5 Maret 2025 sekira pukul 21.00 WIB Serda Agung datang ke Yonif Konoha untuk kembali dan menyerahkan diri. Dari sisi perhitungan waktu ketidakhadiran yang dilakukan oleh Serda Agung adalah 30 (tiga puluh) hari + 14 (empat belas) jam.
Dengan mendasari teori S.R. Sianturi, S.H. maka 30 (tiga puluh) hari ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh Serda Agung di Yonif Konoha dihitung setelah pengecekan apel pagi di tanggal 5 Maret 2025, lalu bagaimana sisa 14 (empat belas) jam ketidakhadiran tanpa izin dari Serda Agung tersebut?
Dalam perkembangan pemikiran S.R. Sianturi, S.H. selanjutnya yang masih terdapat pada buku yang sama telah memberikan penjelasannya yang berbeda dengan makna Pasal 97 KUHP, sebagai berikut “sedangkan untuk hari yang kedua (walaupun kurang dari 24 jam, tetap dianggap lebih dari satu hari)”, dengan mencontohkan penerapan pasal 85 ke-1 dan Pasal 86 ke-1 KUHPM.
Sedangkan pengertian “hari” sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 KUHP yang telah menjelaskan 1 (satu) hari normanya adalah 24 (dua puluh empat) jam, dikorelasikan dengan unsur pasal yang bunyinya adalah “lebih lama dari tiga puluh hari”, yang menjadi penekanan dalam unsur pasal tersebut adalah diksi “hari”.
Untuk menjawab tempus computandi seperti contoh kasus di atas diperlukan pemikiran yang holistic dengan prinsip kehati-hatian. Satu sisi apabila menggunakan doktrin hukum yang telah dijelaskan oleh S.R. Sianturi, S.H. maka Serda Agung telah memenuhi unsur pasal lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari dengan perhitungan apel pagi tanggal 3 Februari 2025 sampai dengan apel pagi tanggal 5 Maret 2025 adalah 30 (tiga puluh) hari + setelah apel pagi tanggal 5 Maret 2025 sampai dengan apel malam tanggal 5 Maret 2025 pukul 21.00 WIB (yang berarti 14 jam dan belum genap 24 jam) adalah digenapkan menjadi 1 (satu) hari, sehingga Serda Agung terbukti melakukan ketidakhadiran tanpa izin dari komandan kesatuan di Yonif Konoha selama 31 (tiga puluh satu) hari. Sedangkan, di sisi lain apabila kita strict menggunakan pendekatan norma hukum yang tertera di dalam Pasal 97 KUHP dan diksi “hari” yang ada di dalam Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM, maka waktu 14 (empat belas) jam Serda Agung belum genap 24 (dua puluh empat) jam atau belum genap sehari, sehingga ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh Serda Agung dari hari Senin tanggal 3 Februari 2025 sekira pukul 07.00 WIB saat apel pagi sampai dengan kembali pada hari Rabu tanggal 5 Maret 2025 sekira pukul 21.00 WIB saat apel malam adalah 30 (tiga puluh) hari dengan kata lain ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh Serda Agung belum melebihi waktu 30 (tiga puluh) hari.
Dalam kesimpulannya terhadap tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh prajurit TNI, penerapan tempus computandi mutlak harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dengan mengedepankan asas kepastian hukum dan keadilan oleh para aparat penegak hukum, utamanya bagi hakim yang sering disebut sebagai “wakil Tuhan” di dunia.


