A. Latar Belakang
Standarisasi klasifikasi perkara merupakan instrumen yang sangat penting dalam mewujudkan konsistensi administrasi perkara. Konsistensi administrasi perkara ini berkaitan erat dengan akuntabilitas penyelenggaraan peradilan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Namun sayangnya, dalam sistem peradilan kita belum ada beleid mengenai standarisasi klasifikasi perkara yang utuh dan menyeluruh.
Dalam lingkungan Peradilan Umum, klasifikasi perkara mulai menjadi perhatian. Dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) Nomor 44/KMA/SK/III/2014 tentang Pemberlakuan Template Putusan dan Standar Penomoran Perkara Peradilan Umum, terdapat beberapa penetapan klasifikasi perkara. Namun dalam SK KMA tersebut belum diatur standarisasi klasifikasi perkara yang utuh dan hanya menyebutkan klasifikasi perkara Perdata Khusus dan Pidana Khusus. Adapun klasifikasi perkara lainnya belum ditetapkan klasifikasinya. Hal itu disebabkan karena memang SK KMA 44/KMA/SK/III/2014 hanya terfokus pada pemberlakuan template putusan dan standar penomoran perkara, bukan pengaturan mengenai klasifikasi perkara. Dalam lingkungan peradilan Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara juga belum ada aturan tentang penetapan klasifikasi perkara. Ini merupakan tantangan bagi konsistensi perkara.
Mahkamah Agung seharusnya memiliki standar klasifikasi perkara yang berlaku di seluruh lingkungan peradilan mulai pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, hingga peninjauan kembali. Dengan adanya penetapan klasifikasi perkara yang jelas, maka perbedaan klasifikasi atas suatu perkara yang sama antar tingkatan peradilan dapat dihilangkan.
Klasifikasi perkara yang belum memiliki standar yang baku berdampak pada inkonsistensi dalam administrasi perkara. Hal ini terjadi pada semua lingkungan peradilan. Perbedaan pengklasifikasian perkara dapat diketahui sebagaimana contoh sebagai berikut:
- Dalam Lingkungan Peradilan Umum
Perbedaan pengklasifikasian perkara terdapat dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Pertama, dalam perkara pidana. Berdasarkan data dari Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024,[2] dilaporkan bahwa sepanjang tahun 2024 Mahkamah Agung telah memutus perkara kasasi dengan klasifikasi “Menyebabkan Mati atau Luka Karena Kealpaan” (65 perkara), “Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu” (34 perkara), “Penghinaan” (33 perkara), dan “Kejahatan terhadap Asal-Usul Perkawinan” (5 perkara). Sedangkan pada tingkat pertama, sebagaimana dilaporkan juga dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2024, tidak ada atau tidak ditemukan klasifikasi perkara dengan nomenklatur sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini mengandung arti bahwa pada peradilan tingkat pertama perkara-perkara tersebut diklasifikasikan dengan nomenklatur yang berbeda. Kedua, dalam perkara perdata. Berdasarkan data dari Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024,[3] dilaporkan bahwa sepanjang tahun 2024 Kamar Perdata Mahkamah Agung telah memutus perkara kasasi dengan klasifikasi “Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum” (167 perkara) dan “Pembatalan” (96 perkara), sedangkan pada tingkat pertama, pada tahun yang sama, tidak ada atau tidak ditemukan klasifikasi perkara dengan nomenklatur sebagaimana disebutkan di atas.
- Lingkungan Peradilan Agama
Pada Peradilan Agama juga terjadi inkonsistensi klasifikasi seperti yang terjadi pada lingkungan Peradilan Umum. Pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024,[4] dilaporkan bahwa sepanjang tahun 2024 Kamar Agama memutus perkara perdata agama dengan klasifikasi “Sengketa perkawinan lainnya” (5 perkara) dan “lain-lain” (9 perkara), sedangkan pada tingkat pertama, pada tahun yang sama, tidak ada atau tidak ditemukan klasifikasi perkara dengan nomenklatur “Sengketa perkawinan lainnya”, yang ada hanya klasifikasi perkara “lain-lain”.
- Lingkungan Peradilan Militer
Pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, dilaporkan bahwa sepanjang tahun 2024 Kamar Militer pada tahun 2024 memutus perkara kasasi dengan klasifikasi “Perbuatan curang” (56 perkara), “Tubuh dan nyawa” (51 perkara), dan “Harta kekayaan” (30 perkara). Adapun di peradilan tingkat pertama tidak ada atau tidak ditemukan klasifikasi perkara dengan nomenklatur “Perbuatan curang”, “Tubuh dan nyawa”, dan “Harta kekayaan”.[5]
- Lingkungan Peradilan TUN
Pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, dilaporkan bahwa sepanjang tahun 2024 Kamar TUN pada Tahun 2024 memutus perkara kasasi dengan klasifikasi “Keterbukaan Informasi Publik” (15 perkara), “Akta” (8 perkara), “Kepabeanan” (5 perkara), “Agama” (4 perkara), “Kependudukan” (4 perkara), dan “Perumahan” (3 perkara). Adapun pada tingkat pertama, perkara-perkara tersebut diklasifikasikan dengan nomenklatur berbeda.[6]
Untuk menyikapi adanya inkonsistensi klasifikasi perkara tersebut, diperlukan suatu penetapan tentang standar klasifikasi perkara yang baku untuk semua tingkatan peradilan, agar Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya memiliki klasifikasi perkara yang terstandarkan. Untuk itu diperlukan naskah urgensi yang disusun dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait.
Selain atas tujuan tersebut, penetapan standar klasifikasi perkara juga penting untuk hal-hal sebagai berikut:
Pertama, menghilangkan pemilihan nomenklatur klasifikasi yang tidak tepat. Misalnya, di satu sisi telah ada klasifikasi “Perikatan” namun di sisi lain terdapat juga klasifikasi “Wanprestasi (obyek sengketa tanah)” dan juga “Wanprestasi (obyek sengketa bukan tanah)” padahal wanprestasi tentu lahir dari perikatan. Dalam konteks tersebut, mungkin dapat dipertimbangkan bahwa klasifikasi perkara pokoknya adalah “Perikatan” dengan sub klasifikasi “Wanprestasi (obyek sengketa tanah) dan “Wanprestasi (obyek sengketa bukan tanah)”.
Kedua, memanfaatkan secara optimal basis data yang telah dimiliki Mahkamah Agung, baik itu dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) maupun Direktori Putusan.
Ketiga, untuk mendukung kebutuhan knowledge management yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi internal lembaga maupun pihak eksternal.
B. Permasalahan yang Dihadapi Saat Ini.
Realitas yang ada saat ini adalah bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya belum memiliki pengaturan mengenai standarisasi klasifikasi perkara yang utuh dan menyeluruh. Padahal, standarisasi klasifikasi perkara ini merupakan instrumen penting dalam mewujudkan konsistensi administrasi perkara. Konsistensi administrasi perkara ini tentunya berkaitan erat dengan profesionalitas dan akuntabilitas penyelenggaraan peradilan.
Ketiadaan standarisasi yang jelas ini dapat menimbulkan beberapa dampak buruk, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, inkonsistensi administrasi perkara. Ketiadaan klasifikasi ini berdampak pada inkonsistensi dalam administrasi perkara. Inkonsistensi ini dapat terjadi pada semua lingkungan peradilan. Sebagai contoh nyata terjadinya inkonsistensi pengklasifikasian perkara ini adalah sebagaimana telah dinarasikan pada Bab I. Pada semua lingkungan peradilan, terdapat inkonsistensi klasifikasi perkara antar tingkatan peradilan. Satu jenis perkara yang sama diklasifikasikan secara berbeda pada pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi.
Kedua, terjadinya tumpang tindih klasifikasi. Dampak dari ketiadaan pengaturan klasifikasi ini mendorong masing-masing lingkungan peradilan untuk menyusun klasifikasinya secara parsial (sendiri-sendiri). Penyusunan klasifikasi yang dilakukan secara parsial dan tidak melibatkan seluruh stakeholder yang terkait berpotensi menimbulkan pemilihan klasifikasi yang tidak tepat. Sebagai contoh pemilihan klasifikasi yang tidak tepat tersebut adalah: pada satu sisi telah ada klasifikasi “perikatan” namun di sisi lain terdapat juga klasifikasi “wanprestasi (obyek sengketa tanah)” dan juga “wanprestasi (obyek sengketa bukan tanah)” padahal wanprestasi tentu lahir dari perikatan. Ketiga, tidak optimalnya pemanfaatan basis data. Modernisasi peradilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung telah membawa banyak perubahan. Salah satu hasil dari modernisasi tersebut adalah kekayaan data yang dimiliki Mahkamah Agung sebagai konsekuensi dari pemanfaatan teknologi informasi. Basis data yang telah dimiliki Mahkamah Agung, baik dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), Direktori Putusan, atau aplikasi lainnya akan sangat disayangkan apabila pemanfaatannya kurang optimal akibat tidak jelas dan tidak konsistennya klasifikasi perkara.
Keempat, tidak dapat menyajikan data yang valid. Untuk mendukung kebutuhan knowledge management, baik untuk kepentingan internal lembaga maupun pihak eksternal diperlukan klasifikasi yang konsisten dan tidak tumpang tindih. Ketiadaan standarisasi klasifikasi perkara menyebabkan inkonsistensi dan tumpang tindih. Kondisi ini tentu menjadi kendala dalam suplai data untuk kebutuhan knowledge management, baik data yang akan digunakan oleh internal Mahkamah Agung maupun eksternal untuk menyusun suatu strategi kebijakan.
Selain alasan tersebut di atas, kebutuhan penetapan standarisasi klasifikasi perkara juga didorong dengan kebutuhan konsistensi penetapan klasifikasi perkara dalam perkara pidana umum dan pidana khusus. Pola klasifikasi yang berlaku di Mahkamah Agung saat ini (existing) adalah apabila suatu tindak pidana diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), maka perkara tersebut merupakan perkara pidana umum. Adapun tindak pidana yang diatur dengan undang-undang khusus (di luar KUHP), maka dikategorikan perkara pidana khusus.
Dalam keputusan naskah urgensi ini perlu ditawarkan pola yang paling tepat untuk digunakan dalam menetapkan klasifikasi perkara pidana umum atau pidana khusus. Tawaran yang logis dan sejalan dengan pola klasifikasi perkara perdata umum dan perdata khusus adalah: bahwa perkara yang dikategorikan ke dalam perkara pidana khusus adalah perkara yang penanganannya dilaksanakan oleh pengadilan khusus. Penanganan perkara tersebut dilakukan oleh seorang hakim dengan keahlian (baca: sertifikasi) khusus. Adapun selain perkara tersebut, maka dikategorikan sebagai perkara pidana umum. Dasar klasifikasi tersebut dimaksudkan agar administrasi perkara pada Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya menjadi tertib dan dapat mengikuti perkembangan hukum dan dinamika masyarakat.
C. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Standardisasi Klasifikasi Perkara
Arah yang dituju dari pembaruan manajemen dan administrasi perkara pada Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dinyatakan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 adalah untuk: pertama, memberikan pelayanan hukum yang memiliki kepastian dan berkeadilan bagi pencari keadilan; dan kedua, meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Untuk mewujudkan pembaruan manajemen dan administrasi perkara perlu dilakukan penataan klasifikasi pada semua lingkungan peradilan dan pada semua level atau tingkatan pengadilan. Penataan klasifikasi perkara tersebut akan banyak memberi berbagai dampak positif bagi Mahkamah Agung, di antaranya adalah:
Pertama, mempercepat pembumian visi. Adanya klasifikasi perkara yang baku dapat membantu Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan dengan lebih akuntabel, profesional, efektif dan efisien. Kondisi ideal tersebut tentunya akan dapat mempercepat Mahkamah Agung dalam mewujudkan visi “Terwujudnya Badan Peradilan yang Agung”.
Kedua, mendukung fungsi pengawasan dan pembinaan. Dengan klasifikasi yang jelas, Mahkamah Agung dapat melakukan pengawasan dan pembinaan secara lebih spesifik sesuai jenis perkara, sehingga perbaikan dan standarisasi proses peradilan dapat diterapkan secara lebih efektif. Pengawasan dan pembinaan ini penting dilakukan demi kesesuaian realisasi dengan tujuan bersama yang telah ditetapkan institusi.
Ketiga, mengoptimalkan penggunaan sumber daya. Klasifikasi perkara yang baku dapat membantu dalam pengalokasian sumber daya manusia dan teknis yang tepat untuk menangani jenis-jenis perkara tertentu, sehingga mengurangi pemborosan dan meningkatkan kinerja pengadilan.
D. Kesimpulan
Beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan klasifikasi perkara pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya meliputi: 1. Inkonsistensi administrasi perkara, 2. Tumpang tindih klasifikasi, 3. Tidak optimalnya pemanfaatan basis data, 4. Tidak dapat menyajikan data yang valid, 5. Inkonsistensi penetapan klasifikasi perkara pidana umum dan pidana khusus. Adapun permasalahan tersebut dapat diatasi dengan adanya standardisasi klasifikasi perkara dengan payung hukum Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI.
Standardisasi Klasifikasi Perkara pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya sangat diperlukan dan perlu payung hukum untuk hal tersebut guna mencapai tujuan sebagai upaya modernisasi administrasi perkara melalui beberapa hal yaitu: menyederhanakan kompleksitas, memudahkan identifikasi, membantu analisis, meningkatkan efisiensi, memfasilitasi komunikasi, mendukung pengambilan keputusan yang baik, dan membantu prediksi.
E. Saran
Mahkamah Agung RI perlu segera mengeluarkan regulasi berupa Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang standarisasi klasifikasi perkara pada Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dengan arah pengaturan untuk mewujudkan konsistensi administrasi perkara guna akuntabilitas penyelenggaraan peradilan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Adapun sasaran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung tersebut adalah semua perkara pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung RI yang meliputi: perkara perdata, pidana, militer, tata usaha negara, agama dan jinayat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Baik (Harmonization of Legal Regulations in Realizing Good Government)”, Jurnal Kompilasi Hukum Volume 8, No. 2 (Desember 2023).
Dory Reiling, Technology for Justice : How Information Technology Can Support Judicial Reform, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010.
Edmon Makarim, “Tanggung Jawab Penyelenggara Terhadap Tata Kelola Yang Baik Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance)”, Disertasi, Universitas Indonesia, 2009.
Hasbyi, Siti Husaebah Pattah, Pengantar Tajuk Subjek dan Klasifikasi, Makasar: Alauddin University Press, 2011.
Irma Devi Lestari, “Klasifikasi Online dan Google”, Jurnal Iqro, Volume 10 Nomor 2.
Jason Bloomberg. “Digitization, Digitalization, And Digital Transformation: Confuse Them At Your Peril,” Forbes, 2019.
Siaran pers, “Apa itu Klasifikasi: Pengertian, Tujuan, dan Contoh Penerapannya”, https://www.liputan6.com/feeds/read/5898435/apa-itu-klasifikasi-pengertian-tujuan-dan-contoh-penerapannya?page=6
[1] Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta.
[2] Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, hlm 72 dan 108.
[3] Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, hlm 77 dan 110.
[4] Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, hlm 81 dan 116.
[5] Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, hlm 84 dan 120.
[6] Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, hlm 87 dan 123.


