JAKARTA – Dalam Webinar Dialog Yudisial antara Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI dan The Federal Circuit and Family Court of Australia (FCFCOA) yang digelar pada Kamis (25/9/2025), Justice Suzanne Christie dari Australia menyampaikan perspektif segar dan berbagai solusi inovatif untuk menjawab tantangan akses keadilan, khususnya bagi kelompok rentan. Paparan tersebut menjadi puncak dari dialog yang diawali dengan pemaparan data mendalam oleh Ditjen Badilag.
Asisten Hakim Yustisial Ditjen Badilag, Yudi Hermawan, mengungkapkan bahwa pada tahun 2024 tercatat 32.400 perkara dispensasi kawin yang diputus oleh Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka ini menunjukkan betapa signifikannya fenomena ini. “Sebagian besar permohonan, yaitu 91,07%, dikabulkan,” jelasnya. Data hingga 19 September 2025 mencatat 19.790 perkara telah diputus, dengan tingkat perkara yang dikabulkan tetap tinggi di angka 89,54%.
Di sisi lain, Hermawan menekankan komitmen kuat Ditjen Badilag dalam memperluas akses keadilan melalui digitalisasi dan layanan langsung. Ia memaparkan kemajuan signifikan penggunaan e-Court. “Pada 2025, adopsi e-Court di banyak Pengadilan Agama telah mencapai level sangat tinggi, bahkan banyak yang menyentuh angka 100%,” ujarnya sembari menampilkan grafik perbandingan yang menunjukkan peningkatan drastis dari tahun 2024. Selain itu, inisiatif lain seperti Pos Bantuan Hukum (Posbakum), Sidang Keliling (Mobile Court), dan Pembebasan Biaya Perkara (Prodeo) juga menunjukkan hasil menggembirakan pada tahun 2024. Layanan Posbakum melampaui target dengan menjangkau 234.784 orang (110% dari target), sedangkan Sidang Keliling berhasil menyelesaikan 39.026 perkara (105% dari target).

Solusi Konkret untuk Tantangan Klasik
Menanggapi data tersebut, Justice Suzanne Christie dalam presentasi bertajuk “Tiga Dekade Kolaborasi” mengajukan sejumlah analisis dan langkah strategis.
- Pendaftaran Perkara Online yang Inklusif
Hambatan verifikasi identitas fisik menjadi kendala utama. Sebagai solusi jangka pendek (2025–2026), Christie mengusulkan sistem yang memungkinkan verifikasi hanya dengan mengunggah foto KTP. Untuk jangka panjang, integrasi dengan ID Digital Kemendagri akan memungkinkan pendaftaran perkara sepenuhnya daring tanpa harus datang ke pengadilan.
- Optimalisasi Pembebasan Biaya Perkara (Prodeo)
Dengan hanya 27.000 dari 600.000 perkara yang menerima prodeo, Christie mendorong peningkatan anggaran dan integrasi data dengan Kementerian Sosial. Hal ini memungkinkan status penerima bantuan sosial diverifikasi secara otomatis sebagai dasar pemberian prodeo, sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2014.
- Integrasi Layanan Status Sipil
Christie mengusulkan agar setelah putusan perkawinan atau perceraian dikeluarkan Pengadilan Agama, informasi tersebut secara otomatis diteruskan ke Kemenag dan Kemendagri untuk memperbarui data kependudukan. Hal ini akan menghilangkan prosedur yang berbelit bagi masyarakat.
- Standarisasi dan Penegakan Nafkah Anak
Christie menekankan pentingnya perintah nafkah anak yang seragam, terukur (dengan penyesuaian tahunan), serta memiliki mekanisme penegakan yang kuat seperti pemotongan gaji hingga pembatasan perjalanan bagi pihak yang menelantarkan anak. Sistem pelacakan pembayaran berbasis QR code untuk setiap anak juga diusulkan.
Dialog Membuka Wawasan untuk Kolaborasi Masa Depan.

Presentasi Justice Christie mendapat apresiasi luas dari para peserta, termasuk seluruh jajaran pimpinan, hakim, dan tenaga teknis Pengadilan Agama. Dialog ini dinilai sangat berharga karena tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan peta jalan (roadmap) solusi yang konkret, terukur, dan dapat diadaptasi. Kegiatan ini menegaskan komitmen Badilag untuk terus terbuka terhadap pembelajaran dan kolaborasi internasional dalam rangka meningkatkan kualitas layanan peradilan, dengan fokus utama pada perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Solusi yang dibahas diharapkan menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan kebijakan dan inovasi layanan di masa mendatang.