Bogor, 10 Oktober 2025 – Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Teknis Peradilan Badan Strajak Diklat Kumdil (BSDK) Mahkamah Agung RI menyelenggarakan Pelatihan Teknis Yudisial (PTY) Penanganan Perkara Dispensasi Kawin selama satu pekan, pada 6-10 Oktober 2025. Sebanyak 161 Hakim Peradilan Agama dari seluruh Indonesia mengikuti kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas mereka dalam menangani perkara yang berkaitan langsung dengan perlindungan hak-hak dasar anak. Pelatihan selama satu pekan ini dipandu langsung oleh para Hakim Tinggi/Hakim Yusitisial Pusdiklat Teknis Peradilan lingkungan Peradilan Agama, yaitu: Dr. H. Jarkasih, M.H. (Koordinator); Dr. H. Sriyatin, S.Ag., M.Ag., M.H.; Dr. Cik Basir, S.H., M.H.I., Dr. Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., dan Dr. M. Natsir Asnawi, S.H.I., M.H.
Pelatihan dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (BSDK) Mahkamah Agung RI, Dr. H. Syamsul Arief, S.H., M.H. Dalam sambutan pembukaannya, beliau menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada penanggung jawab dan panitia atas terselenggaranya pelatihan ini. Lebih lanjut, Dr. Syamsul Arief menekankan muatan strategis dari pelatihan ini, dengan menyatakan bahwa perkara dispensasi kawin bukan sekadar urusan administratif peradilan, melainkan sangat erat kaitannya dengan amanat konstitusi untuk melindungi hak-hak dasar anak. “Setiap penetapan yang dikeluarkan hakim dalam perkara ini akan berdampak langsung pada masa depan seorang anak. Karena itu, pendekatan yang holistik dan berkeadilan bagi anak mutlak diperlukan,” tegasnya.
Beliau berharap pelatihan ini mampu menghasilkan outcome yang konkret dan berdampak positif pada peningkatan kualitas putusan. “Oleh karena itu, Hakim Peradilan Agama dituntut untuk jeli, cermat, dan profesional dalam menangani setiap perkara. Setiap penetapan yang dihasilkan harus mencerminkan upaya luhur untuk menjaga dan melindungi kepentingan terbaik bagi anak,” pungkasnya.

Dasar Pikir Pelaksanaan
Perubahan regulasi mengenai batas usia minimal perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah membawa implikasi signifikan terhadap praktik perkawinan anak di Indonesia. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa usia minimal perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Namun demikian, ketentuan ini juga membuka ruang bagi permohonan dispensasi kawin yang diajukan melalui Pengadilan Agama bagi mereka yang belum memenuhi batas usia tersebut.
Sebagaimana diketahui, kerangka hukum utama dalam penanganan perkara dispensasi kawin merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Perma ini hadir sebagai respons atas peningkatan jumlah permohonan dispensasi kawin dan kompleksitas permasalahan di baliknya. Di dalamnya, terdapat sejumlah ketentuan khusus yang bersifat imperatif, artinya wajib diperhatikan dan dilaksanakan oleh Hakim secara menyeluruh sejak tahap pemeriksaan hingga penetapan putusan. Ketentuan-ketentuan ini dirancang sebagai rambu-rambu prosedural dan substantif untuk memastikan setiap keputusan yang diambil telah melalui pertimbangan yang mendalam, komprehensif, dan berorientasi pada prinsip perlindungan anak.
Terdapat setidaknya 3 (tiga) aspek penting yang harus diperhatikan Hakim dalam menangani perkara dispensasi kawin, yaitu:
- Pemeriksaan yang Mendalam: Kewajiban memeriksa alasan-alasan permohonan secara komprehensif, tidak hanya secara hukum tetapi juga dari sisi sosiologis dan psikologis calon mempelai anak.
- Pembuktian yang Khusus: Persyaratan alat bukti yang lebih ketat, termasuk laporan sosial dari pekerja sosial kemasyarakatan.
- Pertimbangan Utama: Penekanan bahwa “kepentingan terbaik bagi anak” harus menjadi pertimbangan utama dan pertama yang diuraikan dalam pertimbangan hukum, mengesampingkan pertimbangan lain seperti adat atau desakan ekonomi semata.
Kondisi Faktual dan Kebutuhan Pelatihan
Data empiris menunjukkan bahwa jumlah perkara permohonan dispensasi kawin yang masuk ke Pengadilan Agama terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini menimbulkan berbagai tantangan bagi hakim Pengadilan Agama. Di satu sisi, hakim dihadapkan pada kenyataan sosial berupa tekanan dari keluarga pemohon dan budaya lokal yang masih menganggap perkawinan usia dini sebagai hal wajar. Di sisi lain, hakim dituntut untuk menjalankan fungsi perlindungan terhadap anak sebagaimana amanat Undang-Undang Perlindungan Anak dan berbagai regulasi lainnya.
Pada praktiknya, proses pemeriksaan perkara dispensasi kawin kerap dihadapkan pada persoalan kompleks, seperti keterbatasan informasi mengenai kondisi psikologis anak, minimnya akses terhadap pendapat ahli (psikolog, konselor, dan tenaga medis), serta tekanan sosial dan budaya dari lingkungan keluarga atau masyarakat. Selain itu, belum semua hakim memiliki pemahaman mendalam terkait dengan pendekatan yang berperspektif anak, keadilan restoratif, dan prinsip-prinsip non-diskriminasi serta kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Merespons kondisi tersebut, penyelenggaraan pelatihan khusus bagi hakim Pengadilan Agama untuk menangani perkara permohonan dispensasi kawin menjadi sebuah keniscayaan yang mendesak. Pelatihan ini dirancang tidak hanya untuk memperkuat kompetensi hakim dalam aspek normatif-hukum belaka, melainkan juga membekali mereka dengan perspektif sosiologis, psikologis, dan etika yang kompleks dan inheren dalam setiap perkara dispensasi kawin. Dengan pendekatan multidisiplin ini, diharapkan hakim dapat menjalankan fungsi yudisialnya secara lebih profesional dan akuntabel, serta memastikan bahwa setiap penetapan yang dikeluarkan secara substantif menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak sebagai prinsip utama.
Substansi Materi Pelatihan
Pelatihan ini dirancang dengan kurikulum yang komprehensif, mencakup tujuh materi utama yang saling melengkapi untuk membekali hakim dengan pemahaman yang holistik. Materi-materi tersebut tidak hanya berfokus pada aspek teknis prosedural, tetapi juga pada fondasi filosofis dan prinsip-prinsip perlindungan anak. Berikut adalah penjabaran masing-masing materi:
- Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH): Materi ini menitikberatkan pada integritas dan moralitas hakim sebagai penegak hukum. Peserta diajak mendalami prinsip-prinsip perilaku hakim yang mencakup kemandirian, ketidakberpihakan, kejujuran, kesantunan, dan kesetiaan pada hukum. Hal ini menjadi landasan etis yang krusial, mengingat kompleksitas dan sensitivitas perkara dispensasi kawin yang menyangkut hajat hidup orang lain, khususnya anak.
- Konsep Usia Perkawinan: Materi ini mengkaji batas usia perkawinan dari berbagai perspektif, termasuk biologis (kematangan reproduksi), psikologis (kematangan emosional dan mental), sosiologis (kesiapan menjalankan peran sosial), dan hukum (ketentuan dalam UU No. 16 Tahun 2019). Pemahaman multidimensi ini membantu hakim menilai apakah alasan permohonan dispensasi sungguh-sungguh mengatasi kepentingan untuk menaikkan batas usia perkawinan demi perlindungan anak.
- Dispensasi Kawin (Aspek Substantif): Fokus materi ini adalah pada esensi dan dasar hukum dispensasi kawin itu sendiri. Dibahas mengenai syarat-syarat substantif yang harus dipenuhi, jenis alasan yang dapat dipertimbangkan (baik secara hukum maupun sosial), serta filosofi pemberian dispensasi sebagai suatu pengecualian (exception) yang harus ditafsirkan secara ketat demi melindungi anak.
- Aspek Hukum Perlindungan Anak: Materi ini mendalami kerangka hukum nasional yang melindungi anak, terutama UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hakim diajak untuk menelaah prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” (the best interest of the child) sebagai pertimbangan utama dan pertama dalam memutus perkara, serta hak-hak anak yang tidak boleh diabaikan.
- Instrumen Hukum Internasional tentang Perlindungan Anak: Untuk memperkaya wawasan, materi ini memperkenalkan konvensi internasional seperti Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC). Pemahaman terhadap standar perlindungan anak secara global diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih luas dan progresif bagi hakim dalam menilai setiap permohonan.
- Hukum Acara Dispensasi Kawin 1 & Hukum Acara Dispensasi Kawin 2: Kedua materi ini membahas tata cara dan prosedur beracara yang spesifik, mulai dari permohonan, pemeriksaan, hingga penetapan.
Tidak hanya menerima materi, para peserta juga aktif terlibat dalam diskusi kelompok untuk membahas studi kasus aktual dan menelaah berkas perkara dispensasi kawin yang telah diputus di Pengadilan Agama. Metode ini dirancang untuk mengasah ketajaman analisis dan kehati-hatian hakim, guna menghindari potensi kesalahan baik secara administratif maupun dalam penerapan hukum acara.

Sebagai ujian praktik, para peserta ditugaskan untuk membuat penetapan dispensasi kawin berdasarkan kasus imajiner yang mereka konstruksi sendiri. Karya tersebut kemudian dinilai oleh narasumber, yang merupakan Hakim Tingkat Banding pada BSDK Mahkamah Agung RI. Penilaian mencakup beberapa komponen, seperti sistematika putusan, penilaian alat bukti, pertimbangan hukum, dan diktum putusan.
Outcome yang diharapkan
Dua harapan utama menjadi fondasi penyelenggaraan pelatihan ini. Pertama, pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi hakim secara signifikan dalam mengadili perkara dispensasi kawin, khususnya dalam memastikan perlindungan kepentingan terbaik anak (the best interest of the child). Peningkatan ini bukan hanya sekadar memahami pasal-pasal, tetapi membangun sensitivitas dan perspektif hakim yang memandang anak sebagai subjek hukum yang harus dilindungi, bukan sekadar objek perkara. Setiap keputusan harus lahir dari pertimbangan mendalam tentang dampak jangka panjang terhadap kehidupan anak, termasuk kesehatan mental, pendidikan, dan masa depannya.
Kedua, pelatihan ini juga diharapkan mampu membentuk kerangka pikir (mindset) dan kerangka kerja (workflow) yang terstruktur serta sistematis bagi para hakim. Dalam praktiknya, hal ini berarti hakim memiliki panduan metodologis yang jelas mulai dari pemeriksaan alat bukti, pertimbangan sosiologis dan psikologis anak, hingga perumusan pertimbangan hukum. Pendekatan yang terstandarisasi ini meminimalisir subjektivitas yang tidak perlu dan memastikan bahwa setiap perkara ditangani dengan tingkat kedalaman analisis yang sama.

Dengan terpenuhinya kedua harapan ini, maka cita-cita besar untuk mewujudkan kesatuan hukum (unifikasi dalam penerapan hukum) dapat tercapai. “Kesatuan hukum” di sini berarti terciptanya kepastian dan keseragaman dasar (uniformity) dalam memutus perkara serupa di seluruh Indonesia, sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran dan putusan yang terlalu lebar antar-Pengadilan Agama. Namun, penting untuk ditekankan bahwa keseragaman ini tidak bertujuan membelenggu kemandirian hakim. Kerangka yang sistematis justru berfungsi sebagai fondasi yang kuat, yang memungkinkan hakim menggunakan kewenangannya (judicial discretion) secara lebih bertanggung jawab, didukung oleh analisis yang komprehensif dan berorientasi pada perlindungan anak. Dengan demikian, kemandirian hakim tidak berkurang, melainkan menjadi lebih terarah, accountable, dan bermuara pada keadilan substantif bagi anak.
Oleh: Dr. M. Natsir Asnawi, S.H.I., M.H.
Hakim Yustisial Pusdiklat Teknis Peradilan BSDK MA RI