Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

October 11, 2025

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 2025

Refleksi Kritis: Mengembalikan Marwah Widyaiswara dalam Ekosistem Pendidikan dan Pelatihan

October 10, 2025
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Home » Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi
Filsafat

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 20255 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp
Post Views: 22

Pendahuluan: Ketika Hukum Bertemu Nurani yang Gundah

Dalam ruang sidang yang dingin, palu godam keadilan kerap kali terasa terlalu berat untuk memanggul beban krisis ekologis. Ketergantungan paradigma hukum saat ini pada positivisme, sebuah doktrin filosofis yang membatasi legitimasi hukum pada aturan tertulis dan otoritas formal yang berdaulat, kerap kali membuat putusan peradilan tumpul dan tidak responsif terhadap tuntutan mendesak keadilan ekologis. Positivisme, dengan penekanan pada Kepastian Hukum semata, menciptakan jurang antara putusan yang “sah” secara formal dengan keadilan substantif yang dibutuhkan oleh lingkungan hidup.

Artikel ini bukan sekadar tinjauan akademis, melainkan sebuah seruan etis, berlandaskan argumen bahwa untuk mencapai Keadilan Ekologis sejati, para hakim di Indonesia—sebagai benteng terakhir keadilan—wajib melakukan dekonstruksi nurani dari belenggu positivisme. Mereka harus bergeser dari peran sebagai “corong undang-undang” (la bouche de la loi) menuju Agen Nurani Ekologis yang berpihak pada keberlanjutan hidup, dengan merancang putusan inovatif yang tidak hanya menghukum masa lalu tetapi juga membangun masa depan.


I. Dekonstruksi Filosofis: Dari Positivisme Kaku ke Keadilan Responsif

Konflik mendasar dalam ranah peradilan lingkungan adalah pertentangan antara Keadilan,  Kepastian Hukum dan Kemanfaatan. Positivisme mengajarkan kita untuk tunduk sepenuhnya pada teks, namun nilai-nilai hukum kodrat atau hukum alam mengingatkan bahwa ada tatanan moralitas universal yang harus melandasi hukum.

Inilah momen ketika etika dan hukum bertemu.

Semangat filosofis ini telah diakui secara eksplisit dalam payung hukum nasional, seperti yang tersirat dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Terlepas dari konteksnya yang spesifik pada hukum pidana, kaidah ini membawa implikasi universal: dalam situasi di mana Kepastian Hukum bertentangan dengan Keadilan, seorang hakim diwajibkan untuk mengutamakan aspek Keadilan. Hal ini berfungsi sebagai dasar hukum yang kuat (legitimasi formal) bagi hakim untuk bergerak melampaui interpretasi tekstual semata, meresapi dan merefleksikan living law atau nilai keadilan yang berdenyut di masyarakat, sekaligus memimpin transformasi paradigma hukum. Hal tersebut selaras dengan Asas in dubio pro natura adalah prinsip hukum lingkungan yang berarti jika terdapat keraguan dalam pembuktian suatu kasus lingkungan hidup, maka hakim harus mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya.

Seorang hakim yang telah membebaskan nuraninya dari batasan formal akan memandang kasus lingkungan bukan hanya sebagai perselisihan perdata, melainkan sebagai konflik krusial antara kepentingan Manusia dan kelangsungan Ekosistem. Dengan perspektif ini, Keadilan wajib diarahkan pada pemulihan (restorasi), sebab sanksi finansial (denda) tidak akan pernah cukup untuk mengembalikan hutan yang hilang atau membersihkan polusi air.


II. Arsitektur Putusan Inovatif: Memaksa Pemulihan dan Keadilan Iklim

Dari sisi praktik, putusan yang inovatif adalah putusan yang menggunakan seluruh perangkat hukum yang tersedia untuk memaksa pemulihan ekologis secara konkret dan terukur. Ini melibatkan dua medan utama: Perkara Perdata dan Perkara Tata Usaha Negara (TUN).

A. Inovasi dalam Perkara Perdata

Dalam sengketa ganti rugi dan perbuatan melawan hukum (PMH), hakim harus berani mengaktifkan doktrin-doktrin pro-lingkungan:

  1. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak): Menghilangkan beban pembuktian unsur kesalahan, sehingga fokus beralih sepenuhnya pada kerusakan dan pemulihan.
  2. Scientific Evidence (Bukti Ilmiah): Mengakui dan memprioritaskan data-data ekologis, forensik lingkungan, dan kajian ilmiah sebagai bukti yang sahih, melampaui bukti legal formalistik semata.
  3. Precautionary Principle (Asas Kehati-hatian): Mewajibkan tindakan pencegahan diambil untuk menghindari potensi dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, bahkan jika bukti ilmiahnya belum pasti atau masih ada ketidakpastian.

Pusat dari putusan perdata inovatif adalah Amar Putusan Pemulihan yang dirancang secara rinci. Putusan harus memuat detail teknis Rencana Pemulihan yang wajib dilaksanakan oleh pihak yang dihukum, bukan sekadar perintah membayar denda yang kemudian disetor ke Kas Negara sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)—sebuah mekanisme yang tidak memihak kepentingan ekologis.

B. Inovasi dalam Perkara TUN: Keadilan Iklim

Dalam sengketa TUN, putusan inovatif berfokus pada tindakan korektif terhadap kelalaian atau kebijakan pemerintah yang merugikan lingkungan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Contoh nyata adalah dalam kasus yang berkaitan dengan bencana dan adaptasi iklim: hakim dapat mewajibkan Pejabat Pemerintahan untuk mengambil tindakan konkret. Misalnya, mewajibkan peningkatan sistem informasi peringatan dini (EWS – Early Warning System) banjir, yang secara langsung berkaitan dengan isu Keadilan Iklim dan perlindungan hak-hak warga negara dari dampak perubahan iklim.


III. Tantangan Eksekusi: Merancang Putusan yang “Dapat Bekerja” di Lapangan

Putusan yang inovatif akan menjadi tumpukan kertas indah tanpa mekanisme eksekusi yang efektif. Kami, para praktisi, tahu betul bahwa jurang terbesar terletak antara diktum putusan yang mulia dan realitas pemulihan di lapangan.

Seorang hakim yang humanis adalah hakim yang merancang putusannya dengan mempertimbangkan kemampuan eksekusi. Keputusan itu harus hidup dan berdaya guna.

Untuk itu, direkomendasikan agar putusan pemulihan lingkungan didorong menuju Eksekusi Sukarela dan berbasis kesepakatan, yang disarikan dalam Akta Perdamaian yang dilampiri Rencana Pemulihan yang disepakati bersama. Ini bukan kompromi terhadap keadilan, melainkan strategi pragmatis agar pemulihan benar-benar terjadi tanpa terperangkap dalam kerumitan birokrasi peradilan yang berlarut-larut.

Poin krusial lainnya adalah pengelolaan dana. Dana eksekusi pemulihan harus ditempatkan di rekening khusus yang dikelola di bawah kendali institusi terkait (misalnya Kementerian LHK) dengan laporan periodik kepada pengadilan. Ini memastikan dana tersebut digunakan secara eksklusif untuk pemulihan, bukan terserap ke dalam sistem PNBP yang dingin dan tak berjiwa.


Penutup: Janji Hakim kepada Generasi Mendatang

Tugas hakim di era krisis ekologis bukan lagi hanya memutus perkara, melainkan menjadi arsitek pemulihan. Mereka dituntut untuk melepas mentalitas positivis yang nyaman, merangkul tanggung jawab etis, dan memimpin dengan Nurani Ekologis.

Putusan yang unik dan inovatif adalah manifestasi keberpihakan yang berani. Ia adalah janji yang ditepati oleh sistem peradilan kita kepada generasi mendatang—bahwa hukum tidak hanya tentang kepastian teks, tetapi tentang keadilan hidup bagi semua makhluk di bumi. Berpihaklah, wahai Para Hakim, untuk lingkungan hidup yang lebih baik.

“Putusan yang baik bukan hanya yang adil bagi manusia, tetapi juga yang adil bagi bumi.”


Dedy Wijaya Susanto, S.H., M.H. 
Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Kontributor SuaraBSDK

Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

PANDORA: ANTARA ETIK DAN TUJUAN HUKUM DALAM KEADILAN BERMARTABAT

October 9, 2025

Dekonstruksi Putusan Hakim : Perjuangan Hakim Keluar Dari Labirin Positivisme Hukum

September 29, 2025
Demo
Top Posts

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

October 11, 2025

Kelas Inpirasi : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Hukum Keadilan

May 16, 2024

Badan Strajak Diklat Kumdil Gelar Donor Darah dalam Rangka HUT RI dan HUT MA RI Ke-80

August 21, 2025
Don't Miss

Lindungi Masa Depan Anak, Hakim Peradilan Agama Asah Keahlian Penanganan Perkara Dispensasi Kawin

By SuaraBSDKOctober 11, 2025

Bogor, 10 Oktober 2025 – Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Teknis Peradilan Badan Strajak Diklat…

Melampaui Positivisme: Dekonstruksi Nurani Hakim dan Arsitektur Putusan Lingkungan Inovatif untuk Keadilan Ekologis yang Membumi

October 10, 2025

Refleksi Kritis: Mengembalikan Marwah Widyaiswara dalam Ekosistem Pendidikan dan Pelatihan

October 10, 2025

Judicial Well-Being: Fondasi Tersembunyi Keadilan

October 10, 2025
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Contact Us

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

category
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Connect US
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3
Logo 4 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.