Di bawah naungan rimbun pohon pinus dan aliran sungai yang jernih di Taman Nasional Halimun Salak, suasana pagi itu terasa istimewa. Udara segar, aroma tanah basah, dan kicau burung bersahut-sahutan seolah menyambut 64 peserta Pelatihan Berkelanjutan Lingkungan Hidup yang tengah melakukan kunjungan lapangan. Di kawasan konservasi yang tenang namun penuh makna ini, peserta belajar langsung arti sesungguhnya dari menjaga keseimbangan alam.
Dalam sambutannya yang singkat namun mengena, Kepala BSDK mengisahkan sejarah yang jarang diketahui banyak orang — bahwa Garuda, lambang negara Indonesia yang gagah itu, sebenarnya terinspirasi dari Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), satwa endemik yang hanya hidup di hutan-hutan Pulau Jawa. “Menjaga Elang Jawa berarti menjaga langit Nusantara tetap hidup,” ujarnya, disambut decak kagum para peserta.


Namun, di balik keanggunan dan simbol kebanggaan bangsa itu, tersembunyi kisah getir. Elang Jawa kini berstatus terancam punah (endangered species). Aktivitas manusia—mulai dari perburuan, perdagangan ilegal, hingga rusaknya habitat alami akibat pembalakan liar—menjadi penyebab utama menurunnya populasi mereka.
Pak Suwardi, salah satu Jagawana Kawasan Konservasi, menyambut rombongan peserta dengan senyum “Kami senang bapak ibu hakim datang ke sini dan dapat melihat bagaimana proses pemulihan satwa (elang jawa) yang pernah terganggu ekosistemnya,” katanya. Di kawasan ini, katanya, hidup 17 jenis raptor (burung pemangsa), dan Elang Jawa adalah yang paling istimewa.
Sebagian elang yang dirawat di sini berasal dari hasil sitaan kasus tindak pidana lingkungan, sebagian lagi datang dari kesadaran masyarakat yang sukarela menyerahkan elang peliharaan mereka. “Mereka sadar, elang bukan hewan peliharaan, melainkan penjaga langit yang harus kembali ke alam,” ujar Suwardi.
Fasilitas di kawasan ini pun sudah cukup lengkap — mulai dari klinik satwa, tempat karantina, hingga area observasi perilaku. Para petugas dengan sabar memantau setiap elang yang dirawat. Tantangan terbesar, menurut mereka, justru datang dari sifat Elang Jawa yang sangat sensitif dan manja. Setelah lama dipelihara manusia, banyak elang kehilangan naluri liarnya. Karena itu, diperlukan perawatan khusus dan konsistensi tinggi agar mereka kembali siap dilepas ke alam bebas.
Hingga kini, 78 ekor Elang Jawa telah berhasil dilepasliarkan kembali ke hutan, menjadi simbol nyata dari kerja keras, dedikasi, dan kolaborasi berbagai pihak. Setiap elang yang kembali ke langit adalah secercah harapan bagi ekosistem yang lebih seimbang.
Elang Jawa dikenal sangat selektif dalam berkembang biak. Ia hanya bertelur satu butir per periode, dan bila merasa terganggu, ia bisa meninggalkan telurnya begitu saja. Bisa dibayangkan betapa sulitnya Elang Jawa berkembang biak. Jangankan bertelur, cari jodohnya pun juga sulit. Karena itulah, keberadaan Elang Jawa di suatu kawasan menjadi indikator alami bahwa hutan di sana masih sehat.
“Menegakkan hukum lingkungan bukan hanya soal pasal dan sanksi. Ini tentang menjaga kehidupan. Tentang memastikan agar elang-elang itu tetap terbang, agar langit kita tetap hidup.”
Kegiatan hari itu pun ditutup dengan ajakan bersama untuk terus menjaga alam dan menegakkan hukum dengan hati yang berpihak pada keberlanjutan. Karena, seperti kata pepatah bijak yang bergema di antara pepohonan Halimun Salak: “Jika Elang Jawa masih terbang di langit, berarti hutan kita masih hidup. Dan selama hutan masih hidup, maka kita pun masih punya harapan.”
Gimana, Guys? Menarik kan? Yuk, bersama kita jaga keseimbangan alam — mulai dari langkah kecil, karena setiap tindakan baik adalah sayap bagi langit Nusantara. 🦅🌿
Oleh: Sriti Hesti A – HY BSDK
