Tidak semua tawa di tempat kerja berarti menyenangkan. Ada kalanya, gurauan yang terdengar lucu bagi sebagian orang, justru bisa menjadi sumber ketidaknyamanan bagi yang lain. Sayangnya, ketika seseorang berani menegur, sering kali malah dianggap terlalu sensitif, nggak asyik atau tidak bisa diajak santai. Lebih parahnya lagi, tempat kerja berusaha menutupi dan melarang korban melapor dan tidak membesar-besarkan apa yang dialami korban.
Bercanda Kok Bikin Nggak Nyaman? Saat Gurauan di Tempat Kerja Jadi Bentuk Pelecehan
Pernahkah nggak sih kita merasa nggak nyaman dengan candaan atau sentuhan yang justru dianggap “biasa-biasa saja” di tempat kerja? Nah sobat BSDK, terkadang hal-hal kecil yang dianggap sepele itu ternyata bisa menjadi bentuk pelecehan seksual lho. Pelecehan seksual di lingkungan kerja bukan hanya soal tindakan fisik, tetapi juga bisa muncul dalam bentuk kata-kata, isyarat, pesan, atau sikap yang berkonotasi seksual dan membuat seseorang merasa direndahkan atau terancam. Misalnya, komentar tentang tubuh rekan kerja, gurauan bernada menggoda, atau bahkan tekanan halus dari atasan yang memanfaatkan posisi kekuasaan. Nah yang menyedihkan adalah korban kerap merasa bersalah atau takut melapor karena khawatir akan dianggap “berlebihan” atau “tidak bisa diajak bercanda”. Bahkan, ketika berani melawan, sering kali justru dianggap lebay, sensitif, atau terlalu serius menghadapi hal yang dianggap “cuma gurauan”. Padahal, batas kenyamanan setiap orang itu kan berbeda-beda, dan tidak ada yang berhak menyepelekan perasaan orang lain. Dalam lingkungan kerja yang sehat di mana batas pribadi dihormati, dan setiap orang berani bersuara ketika ada yang melanggar. Pencegahan pelecehan seksual dimulai dari kesadaran. Menjaga perilaku bukan hanya soal etika, tapi merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat sesama. Maka menjadi renungan kita bersama Apakah kita sudah benar-benar menciptakan ruang kerja yang aman, nyaman, dan bebas dari pelecehan?





Towards a harassment-free Judiciary
Terkait dengan hal tersebut, pada pagi hari ini diselenggarakan Webinar Nasional yang berlangsung secara online diikuti oleh seluruh jajaran peradilan di Indonesia, dengan mengusung tema “Towards a Harassment-Free Judiciary” atau “Menuju Peradilan yang Bebas dari Pelecehan”. Kegiatan ini merupakan gagasan Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) bekerja sama dengan Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI), sebagai wujud komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan peradilan yang aman, berintegritas, dan berkeadilan gender.
Webinar dibuka oleh Ketua IKAHI, Dr. Yasardin, S.H., M.Hum., yang juga Ketua Muda Kamar Agama Mahkamah Agung RI. Dalam sambutan singkatnya, beliau menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini sebagai langkah penting menuju peradilan yang aman, bermartabat, dan bebas dari pelecehan. Dr. Yasardin menegaskan pentingnya keteladanan, integritas, dan kesetaraan di lingkungan peradilan serta mengajak seluruh aparatur untuk tidak menoleransi perilaku diskriminatif. Selanjutnya Beliau menutup dengan harapan agar seminar ini menjadi ruang refleksi dan komitmen bersama menuju peradilan yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.
Menyingkap Realitas Pelecehan Seksual di Dunia Kerja
Webinar yang dipandu oleh Moderator Camila Bani Alawiya, SH. Hakim PN Metro, dengan narasumber pertama – Imelda Riris dari Never Okay Project (NOP) adalah seorang peneliti yang menaruh perhatian besar pada isu-isu perempuan dan gender, khususnya kasus pelecehan seksual di tempat kerja. Dalam berbagai temuannya, Imelda menegaskan bahwa pelecehan seksual tidak hanya menimpa perempuan, tetapi juga lelaki. Meski demikian, perempuan tetap menjadi kelompok yang paling rentan. Bentuk pelecehan pun beragam — mulai dari fisik, verbal, tertulis, visual, isyarat, hingga online. Tak jarang, tindakan ini terjadi berulang bahkan dilakukan secara berkelompok, menciptakan tekanan hebat yang membuat korban tak berdaya untuk melapor. Melalui penelitiannya, Imelda menawarkan sejumlah indikator untuk menilai keberpihakan tempat kerja terhadap korban pelecehan seksual, seperti aspek gender, posisi dan status kerja, senioritas, disabilitas, ras, agama, karakteristik industri, lingkungan kerja, representasi perempuan, keberadaan peraturan internal, serta peran serikat pekerja. Pesannya jelas: tempat kerja yang aman bukan hanya bebas dari pelecehan, tetapi juga aktif berpihak dan melindungi korban dari ketidakadilan struktural. Jangan menormalisasi pelecehan seksual. Dalam kesimpulannya Imelda Riris menegaskan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja merupakan masalah serius yang sering berakar pada relasi kuasa yang timpang. Bentuknya beragam Dari fisik hingga online, dan kerap terjadi berulang karena budaya diam dan ketimpangan struktural. Ia menyoroti pentingnya keberpihakan institusi terhadap korban, melalui kebijakan yang jelas, mekanisme pelaporan yang aman, serta budaya kerja yang menghormati kesetaraan. Diakhir sesi Imelda menegaskan “Pelecehan seksual bukan sekadar tindakan individu, tapi cerminan budaya organisasi. Kita semua bertanggung jawab menciptakan ruang kerja yang aman, setara, dan bebas dari pelecehan.”
Hakim Ashleigh Parker – Menegakkan Keadilan dengan Hati dan Integritas Narasumber kedua adalah Hakim Ashleigh Parker, sosok inspiratif dari Pengadilan Distrik Wake County, Carolina Utara, Amerika Serikat, yang dikenal karena komitmennya terhadap keadilan, kesetaraan, dan pendidikan hukum. Di luar ruang sidang, Hakim Parker aktif membimbing generasi muda calon pengacara melalui program Law Day dan kegiatan mentoring. Filosofi kepemimpinannya terangkum dalam satu kata: “R.E.A.L” — Respectful, Efficient, Active in the community, and Learned in the law.


The Elephant in the Courtroom
Mengawali presentasinya dari Comand Center BSDK MARI, Hakim Ashleigh Parker mengajak audiensi untuk berpikir kritis dengan sebuah pertanyaan sederhana namun tajam: “Menurut Anda, pelecehan seksual seperti apa yang paling sering terjadi di tempat kerja?” Dari berbagai jawaban yang muncul, sebagian besar peserta menyebut “bercandaan dengan muatan seksual yang tidak pada tempatnya”, disusul oleh body shaming dan cat calling. Hakim Parker menegaskan bahwa akar dari sebagian besar kasus pelecehan seksual adalah relasi kuasa — ketika posisi atau jabatan digunakan untuk menekan, merendahkan, atau membungkam pihak lain. Beliau kemudian menyinggung tulisannya tahun 2020 berjudul “Sexism: The Elephant in the Courtroom”, yang membuka mata publik bahwa bahkan di Amerika Serikat termasuk di ruang sidang, pelecehan dan bias gender tetap nyata terjadi. Dengan nada reflektif, beliau kembali bertanya kepada audiensi: “Ketika Anda mendengar kata seksisme, apa yang terlintas dalam pikiran Anda? Dan seperti apa bentuk seksisme di Indonesia?”
Hakim Parker menjelaskan bahwa seksisme adalah prasangka dan diskriminasi berbasis gender, sering kali bersifat halus namun berdampak panjang. Ia menegaskan, alasan kita harus peduli terhadap isu ini sangat jelas — karena dampaknya sungguh besar dan sistemik. Di tempat kerja yang toksik akibat pelecehan dan seksisme, produktivitas menurun, korban sering mengalami kecemasan, stres kronis, kehilangan fokus, bahkan depresi berat yang kadang memerlukan intervensi medis atau terapeutik. Tak hanya itu, pelecehan juga merusak reputasi lembaga, mengikis kepercayaan pada pimpinan, dan menggoyahkan kredibilitas institusi. Lebih jauh, ketika pimpinan memilih diam atau mengabaikan kasus pelecehan, yang terjadi adalah normalisasi diskriminasi. Lingkungan kerja kehilangan keragaman dan inklusivitas, dan para pemimpin yang gagal bertindak pun kehilangan otoritas moral di mata timnya. Akhirnya, lahirlah budaya penularan perilaku beracun — ketika diam menjadi bentuk bertahan, dan perilaku salah justru dianggap biasa.
Dengan gaya bicara yang tenang namun menggugah, Hakim Parker menutup bagiannya dengan pesan yang kuat: “Ketika pelecehan dan seksisme dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan rasa hormat namun kehilangan kemanusiaan di tempat kerja.” Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari pelecehan seksual bukan sekadar tanggung jawab individu, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen organisasi. Beliau menekankan 4 langkah penting yang harus menjadi komitmen nyata setiap lembaga:
- Menetapkan kebijakan yang tegas untuk menangani dan mencegah pelecehan seksual.
- Memberikan edukasi berkelanjutan kepada seluruh karyawan mengenai kebijakan dan etika perilaku di tempat kerja.
- Melindungi pelapor dan korban, agar mereka merasa aman untuk berbicara tanpa takut akan pembalasan.
- Menangani setiap laporan secara cepat dan transparan, demi menegakkan keadilan dan menjaga kepercayaan publik.
Beliau menyampaika pesan moral: “Untuk melindungi masyarakat, kita juga harus saling melindungi dari setiap bentuk pelecehan yang melanggar hukum.” Pesan ini menjadi pengingat bahwa keadilan dan keselamatan tidak akan terwujud hanya dengan aturan, tetapi dengan kepedulian dan keberanian untuk bertindak.
Penutup
Mengakhiri sesi webinar, Hakim Agung Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum. menyampaikan refleksi mendalam bahwa dari berbagai tanggapan peserta, tampak jelas bahwa pengadilan kita pun belum sepenuhnya bebas dari pelecehan seksual. Beliau mengingatkan, hakim adalah pencari dan penemu kebenaran, tidak hanya di ruang sidang, tetapi juga dalam cara kita memperlakukan sesama. Kepada para Ketua Pengadilan, beliau berpesan agar pimpinan hadir dan berperan aktif dalam menjamin lingkungan kerja yang bebas dari pelecehan, serta memberikan dukungan nyata kepada korban. Dan kepada para hakim, beliau mengajak untuk saling menghormati, menjaga batas, dan menumbuhkan kepekaan, agar tercipta lingkungan kerja yang aman, sehat, dan saling menghargai. Dr. Nani menutup dengan harapan sederhana namun kuat: “Kita ingin setiap warga pengadilan berangkat bekerja dengan rasa aman dan pulang dengan rasa bangga.” Beliau menegaskan bahwa BPHPI bersama IKAHI akan terus berkomitmen dalam mewujudkan lingkungan peradilan yang bebas dari pelecehan dan penuh rasa hormat. Mari kita ingat, tempat kerja yang sehat bukan hanya tempat kita mencari nafkah, tetapi ruang di mana setiap orang berhak merasa aman, dihargai, dan dihormati. Menghapus pelecehan seksual dan memperjuangkan kesetaraan gender bukan sekadar isu perempuan, melainkan tanggung jawab kemanusiaan. Setiap langkah kecil menegur perilaku yang salah, mendengarkan korban, atau berani bersuara adalah bentuk nyata dari keberanian dan empati. “Ketika kita menghormati satu sama lain, kita bukan hanya menjaga martabat orang lain, tapi juga menjaga kemanusiaan kita sendiri.” Mari bersama mewujudkan lingkungan yang bebas dari pelecehan, berkeadilan, dan berjiwa saling menghargai.


