Dalam sesi Pelatihan Tingkat Lanjut Hakim Lingkungan “Penanganan Perkara Lingkungan Hidup Yang Berorientasi Pada Pemulihan dan Keadilan Iklim” Bagi Hakim Lingkungan Wilayah Sumatera Kalimantan, Profesor Zuzy Anna dari SDGs Center Universitas Padjadjaran menyampaikan pentingnya pendekatan ekonomi dalam penegakan hukum lingkungan, terutama di daerah yang kaya akan sumber daya seperti Sumatera dan Kalimantan. Ia menjelaskan bahwa dengan pendekatan ini, kerusakan lingkungan yang sering kali sulit untuk diukur, seperti hilangnya populasi ikan, kualitas udara, atau fungsi ekosistem, dapat diterjemahkan menjadi nilai ekonomi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan.
Lebih lanjut, Prof Zuzy menguraikan bahwa penilaian ekonomi terdiri dari 2 (dua) aspek utama. Pertama adalah pemulihan utama (primary restoration), yang bertujuan untuk mengembalikan ekosistem ke keadaan semula sebelum kerusakan terjadi, contohnya melalui rehabilitasi hutan mangrove atau restorasi terumbu karang. Kedua adalah kerugian sementara (interim loss), yang merujuk pada nilai jasa lingkungan yang hilang selama proses pemulihan, seperti berkurangnya hasil tangkapan nelayan atau pengurangan manfaat dari wisata alam. Pendekatan ini sejalan dengan praktik internasional yang dikenal sebagai Natural Resource Damage Assessment (NRDA) yang diterapkan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat pada kasus Tumpahan Minyak Exxon Valdez (1989). Dalam kasus tersebut, perhitungan ganti rugi tidak hanya mencakup biaya pemulihan ekologis, tetapi juga nilai sosial dan non-penggunaan, seperti nilai eksistensi ekosistem bagi masyarakat.

Di Indonesia, meskipun telah ada landasan hukum yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 mengenai nilai baku kerugian lingkungan. Namun, menurut Zuzy, nilai baku ini sebaiknya dijadikan acuan awal dan bukan satu-satunya dasar. Hakim diharapkan dapat memperluas penerapan pendekatan NRDA untuk menghitung jasa ekosistem dan kerugian sementara, sehingga penilaian menjadi lebih adil, kontekstual, dan berbasis ilmu pengetahuan. Hal ini karena “Keadilan lingkungan harus didasarkan pada bukti, bukan sekadar angka. Oleh karena itu, pendekatan ekonomi memungkinkan hukum dan sains berkolaborasi untuk mencapai keadilan ekologis yang nyata,” tegas Zuzy. Menarik untuk disimak karena Prof Zuzy juga memberikan contoh-contoh kasus yang menggunakan HEA/HEM/REA untuk perhitungan Interim Loss. Materi pada sesi ini sangat penting bagi para hakim, meskipun hakim bukan ahli dalam menghitung kerugian lingkungan. Di sinilah peran ahli ekonomi lingkungan menjadi sangat krusial—memberikan dasar ilmiah dan angka yang dapat dipercaya bagi hakim untuk membuat keputusan yang adil dan berbasis bukti.

Di akhir sesi beliau memberikan motivasi bagi para peserta bahwa putusan yang adil bagi lingkungan dan masyarakat bukan hanya menghitung biaya pemulihan/restorasi, tetapi juga memperhitungkan nilai pemanfaatan jasa lingkungan yang hilang selama proses pemulihan – yang harus dilakukan secara terukur, transparan dan dapat dievaluasi.
Oleh: Sriti Hesti Astiti
