Kakek Rudi dan Kakek Surya adalah dua orang kakek yang rumahnya bersebelahan. Mereka berdua adalah veteran dalam hal bertanam bunga. Kakek Rudi, dengan gaya militernya yang masih kental, mengatur tanamannya bak barisan tentara—rapi, teratur, dan disiram tepat pukul 06.00. Sementara Kakek Surya, si seniman, menanam bunganya dengan gaya ‘bohemian’—semrawut tapi penuh warna, mengikuti kata hatinya.
Permusuhan mereka dimulai dari satu hal sepele: seekor siput.
Suatu pagi, Kakek Rudi menemukan daun mawar kesayangannya yang hijau dan sempurna, telah bolong dimakan siput. Matanya yang tajam segera menangkap jejak lendir silver yang mengarah ke taman Kakek Surya. Baginya, ini jelas sabotase!
“Sur!” teriaknya dari balik pagar, “Awas ya, kalau ada ‘mata-mata’ darimu yang masuk ke wilayahku lagi, akan kuambil tindakan tegas!”
Kakek Surya yang sedang asyik menyanyikan lagu untuk bunganya hanya melengos. “Mungkin itu siputnya lebih suka suasana yang tertib, Rud. Coba kau nyanyi untuk mereka, biar hatinya lembut.”
Pertengkaran itu merembet ke hal-hal lain. Jika Kakek Rudi membeli pot baru yang besar, esok harinya Kakek Surya akan membeli gembor penyiraman yang lebih modern. Jika Kakek Surya berhasil membuat bunga sepatunya mekar lebat, Kakek Rudi akan memamerkan anggrek langka yang “hanya cocok untuk kalangan tertentu”.
Suatu hari, bencana datang. Badai menerjang kawasan mereka di malam hari. Keesokan paginya, kedua taman itu hancur berantakan. Pot-pot pecah, bunga-bunga tercabut, dan daun-daun berantakan. Kedua kakek itu keluar rumah hampir bersamaan, wajah mereka pucat melihat kehancuran yang terjadi.
Kakek Rudi, dengan tangan bergetar, memunguti satu per satu pecahan pot kesayangannya. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu di antara reruntuhan taman Kakek Surya: pot keramik bergambar burung merak, hadiah dari almarhumah istrinya, kini pecah berkeping-keping. Dia tahu betapa Kakek Surya menyayangi pot itu.
Tanpa banyak bicara, Kakek Rudi berbalik, masuk ke rumahnya, dan keluar membawa lem dan sebuah pot geranium merah muda yang masih utuh. Dia mendekati pagar.
“Sur,” katanya, suaranya serak. “Ini… untuk mengganti yang pecah. Dan… aku punya lem kuat.”
Kakek Surya memandanginya lama. Lalu, dengan mata berkaca-kaca, dia membuka pintu pagu. “Aku juga punya ampas teh untuk membersihkan daun-daun yang kotor. Lebih ampuh dari kimia-kimiaanmu itu.”
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, kedua kakek itu bekerja sama. Kakek Rudi dengan presisi dan ketelitiannya, menyusun kembali pot-pot yang bisa diselamatkan. Kakek Surya dengan pengetahuannya yang dalam tentang tanah dan tanaman, merawat akar-akar yang rusak.
Sambil bekerja, mereka bercerita. Kakek Rudi bercerita bahwa istrinya dulu yang suka menanam geranium. Kakek Surya bercerita bahwa pot burung merak itu dibeli di pasar loak saat ia dan istranya masih pacaran.
Taman mereka akhirnya pulih, tapi dengan wajah baru. Kakek Rudi menyisipkan beberapa tanaman warna-warni ala Kakek Surya di antara barisan tanamannya yang rapi. Kakek Surya, di sudut tamannya, membuat sebuah barisan bunga yang tertata rapi, “seksi khusus untuk menghormati sang jenderal,” katanya.
Mereka masih berdebat, tentu saja. Tapi sekarang topiknya berbeda.
“Rud, kopimu terlalu pahit! Aku kasih sedikit gula, ya?”
“Jangan berani-beraninya, Sur! Itu kopi perang, harus tetap pahit seperti semangat!”
Tapi akhirnya, Kakek Rudi tetap membiarkan Kakek Surya memasukkan sepotong gula batu ke dalam cangkirnya, sambil menggerutu pelan.
Mereka sadar, persaingan selama ini hanyalah cara mereka yang kikuk untuk mengisi kekosongan. Dan di usia senja mereka, seorang rival yang akhirnya menjadi sahabat, adalah bunga paling indah yang bisa tumbuh di taman kehidupan mereka
Disten Noort
Pengembang Teknologi Pembelajaran BSDK MARI