Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Rumusan Kamar Mengisi Kekosongan Hukum Agar Keadilan Benar Secara Hukum, Pasti dan Bermanfaat Bagi Masyarakat

10 November 2025 – 23:30 WIB

Pelatihan Singkat Hak Kekayaan Intelektual Gelombang Kedua: Menguatkan Kapasitas Hakim Indonesia Melalui Sinergi Strategis Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI dan JICA

10 November 2025 – 21:57 WIB

YM Dr. Dwiarso Budi resmi menjadi WKMA Non Yudisial

10 November 2025 – 18:32 WIB
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • SuaraBSDK
  • Video
Home » Sebatang Aren Sebatang Kara
Features

Sebatang Aren Sebatang Kara

Seri Cerpen Mistikologi --- Syamsul Arief
6 November 2025 – 14:20 WIB16 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Matahari jatuh di penghujung petang. Semburat jingga menyembul diujung barat puncak Salak. Pangrango di lintang timur melambai menyambut sang redup malam.

Kara ada diantara celah lembah dua Arga purba itu. Dia bergegas pada sentuhan akhir memperbaiki saluran air kolam ikan dipenghujung petang di Badiklat itu.

Azan Magrib telah lewat satu menit tapi rasanya tanggung dia mau menyelesaikan pekerjaan tersisa sedikit. Tetiba tubuhnya terdorong kebelakang. Ada kekuatan yang tidak bisa ditahan membuatnya terjungkal duduk di sore sunyi sendiri.

Suara daun bambu seperti serentak menderu lalu mendadak senyap. Bulu kuduknya terasa berdiri. Ada sensasi rasa yang tidak pernah dia rasa sebelumnya. Adakah ini rasa takut? ngeri? Atau ini sensasi menyeramkan semacam rasa ruh dalam tubuh bertemu ruh diluar tubuh? Membatin dalam hati. Telinganya awas. Pandangan matanya mendadak dalam dimensi dunia yang lain. Kara seperti bisa merasakan suara angin berbisik. Instingnya seperti bisa bercakap dengan sunyi. Indera penciumannya menjadi tajam. Ada bau semacam bau bunga cempaka tapi sepertinya bau daun pandan tapi Kara cepat menangkap diotaknya ini adalah bau yang mengarah seperti bau urin hewan nokturnal, Binturong, Musang besar.

Lalu sekelebat seperti ada sosok tubuh berselimut kain cokelat kegelapan. Berjalan membelakanginya keluar dari rumpun bambu lalu menghilang dibalik batang pohon aren tua didepannya. Malam sekejap datang. Baru kali ini Kara merasa takut. Segera diraihnya parang, gergaji, sapu lidi dan pengki lalu berdiri menjauhi tempat itu. Ia menatap satu-satunya pohon Aren di taman hutan indah itu.

Kara penyuka flora dan fauna karena diajarkan ibunya menanam bunga di pot pekarangan, menyayangi tokek berisik di dinding kayu rumah dan memanjakan kucing kelabu malas dikeset beranda pintu rumahnya. Dia selalu kagum pada hewan dan tumbuhan. Dia maksimalkan Google Lens pada smartphone-nya untuk menganalisa gambar objek tumbuhan dan hewan jika ingin menelusuri informasi tentang nama, manfaat dan morfologi hewan dan tumbuhan.

Kara percaya pohon Aren atau Enau berasal dari jenis pohon yang sama jutaan tahun yang lalu. Asal Garis keturunan evolusioner keluarga tumbuhan Aren pasti tidak serumit garis keturunan dirinya.

Pohon Aren itu berada dalam famili palma (Arecaceae) yang merupakan keluarga tumbuhan berbunga tertua. Keanekaragaman Pohon Aren (Arenga pinnata) berevolusi sejak periode Kapur yang berlangsung sekitar 145 juta hingga 66 juta tahun yang lalu. Periode masa terakhir dari Era Mesozoikum yakni masa di mana Dinosaurus mendominasi daratan dan tumbuhan berbunga pertama kali terlihat ada. 

Kara curiga etimologi dan semantik penamaan Aren berasal dari kata Nira dalam bahasa dan literatur Sansekerta di Kitab Weda. Neera dalam akar bahasa Proto Indo Eropa, Nere/Nairi/Nafra dalam bahasa Iran kuno, Nero dalam bahasa Slavia gereja kuno, Nar dalam bahasa Latin, Nera dalam bahasa Irlandia kuno yang semuanya menunjuk pada arti : air murni, sungai, cairan, basah, getah dan sari buah dari pohon. Bahkan dari etimologi Aren kita mengenal sejarah panjang budaya yang diciptakan dibelakangnya, termasuk minuman Nira fermentasi yang disebut Tuak-Twak/Arak-Harak.

Arak atau Tuak yang berasal dari fermentasi Nira asal Indonesia sudah terkenal sejak jaman dulu kala. Tuak/Arak bahkan terukir pada relief Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 itu. Relief menggambarkan orang berkumpul di bawah pohon aren yang sedang menikmati minuman fermentasi tradisional yang diberikan oleh pelayan dan ada juga relief yang menggambarkan seorang laki-laki yang membawa tuak. Minuman ini juga muncul dalam karya sastra kuno seperti Negarakertagama tahun 1365, Babad Tanah Jawi tahun 1722, dan Serat Centini tahun 1814.

Nira Indonesia sudah sangat terkenal di zaman Hindia Belanda. Bertong-tong dulu usaha nira fermentasi diekspor karena menjadi minuman primadona di negara-negara Eropa. “Batavia Arak” adalah nama arak nusantara yang terkenal dikalangan pedagang dan penikmat minuman fermentasi alkohol benua Eropa. “Arak Batavia jauh lebih bagus kualitasnya ketimbang Rum Jamaika. Ini fakta yang harus diakui oleh orang-orang Inggris sekalipun,” tulis akademisi politik sekaligus ahli rum asal Prancis Joseph-Francois Charpentier de Cossigny dari catatan perjalanannya ke Batavia tahun 1796.

Kebun-kebun Nira sebagai sumber pembuatan arak terbaik itu berasal dari wilayah jawa barat khususnya Ciawi Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Dahulu pohon-pohon Aren tumbuh subur di tanah Priangan dan juga seluruh wilayah Nusantara. Itu sebabnya tumbuhan ini ada yang menyebut tumbuhan asli Indonesia yang menyebar ke wilayah Asia Tenggara.

Pohon Aren tua di taman Badiklat itu satu-satunya Arenga Pinnata, yang tersisa dari wilayah Mega Mendung itu. Konon sudah menjadi sifat alami pohon ini jika tinggal tersisa sendiri dia senang memanggil segala yang hidup dan yang ghoib.

Kara berada dalam situasi mengikuti rasa penasaran untuk mendekati sosok gelap yang bersembunyi dibalik Pohon Aren itu atau mengikuti instingnya untuk menyuruhnya mundur dan berlari menuju ruang mess karyawan. Jauhi sumber takut itu.

Kolam Ikan itu menampung air dari sumber mata air alami. Air keluar dari perut bumi dari celah berumpun pohon bambu apus diatasnya. Hulu mata air kolam ini adalah Gunung Gede-Pangrango beratus kilometer jaraknya. Kolam ikan Badiklat itu adalah bagian dari cekungan besar. Terbentuk karena proses erosi yang berlangsung lama karena aliran air dan sungai atau karena aktivitas tektonik dari dua gunung berapi aktif yakni Gunung Gede dan Gunung Salak. Gede meletus sebanyak 27 kali sejak tahun 1747 dan terakhir meletus tahun 1957. Letusan hebat terjadi Tahun 1840 mengakibatkan kerusakan parah wilayah disekitarnya. Sehingga tahun 1864 ibukota Keresidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung. Gunung Salak meletus tujuh kali sejak abad ke-16. Erupsi pertama kali tahun 1668 dan terakhir erupsi pada tahun 1938. Kara merasa bahwa kampungnya Ciawi dan tempatnya bekerja itu adalah bagian dari lembah purba.

Kara mandi cepat. Pintu sengaja tidak ditutup rapat. Jika sosok gelap itu mendadak datang dia bisa segera meloncat. Ia berwudhu dan berguman dalam hati bahwa sholat magrib yang akan dilaksanakannya adalah sholat pertama yang dia sudah lupa kapan terakhir ia tegakkan. Diruang sempit itu dia bentangkan sajadah milik Pak Pulo Mandor Taman Hutan Badiklat. Lalu ia sholat 3 rakaat. Dalam sila usai sholat ia bermunajat kepada Allah dilimpahi keberanian agar kelak dia bertemu kembali dengan sosok itu. Karena memang selama ini Kara bertekad ingin menemui makhluk itu. Ia ingin melepaskan marah atau setidaknya bertanya. Adakah sosok petang mejelang malam itu tadi adalah makhluk yang membuat bapaknya celaka?.

Kara baru dua tahun bekerja sebagai penjaga taman hutan disana. Usai lulus SMA dengan nilai Ujian Nasional terbaik di sekolahnya dia memilih bekerja sebagai sopir angkot jurusan Gadok-Cisarua. Tawaran kuliah tanpa tes dari IPB tidak diambilnya karena tidak ada biaya. Apalah gunanya ditawarkan saja tapi tidak ada beasiswa. Dia ingin menabung untuk melanjutkan kuliah di kampus dan bidang ilmu yang dia suka. Tapi akhirnya dia bekerja di Badiklat itu menggantikan Pardi, bapaknya yang mendadak sakit lalu menggal dunia.

Abah Pardi – begitu dia memanggil bapaknya – bersama Kang Darca, sore itu tidak lagi mampu berjalan dan berbicara usai keduanya menebang pohon kapuk dibelakang asrama Badiklat itu.
Sore itu Abah Pardi bersama Kang Darca bekerja menebang Pohon Kapuk Tua berdiameter dua lingkar pelukan tangan orang dewasa dibelakang Asrama Badiklat itu. Keduanya bersedia menebang pohon kapuk tua setelah beberapa kali proyek penebangan pohon itu dimintakan kepada beberapa orang dari vendor pihak ketiga. Beberapa kali didatangkan tukang namun tidak jua berhasil ditebang. Akhirnya Mandor Taman Pak Pulo disuruh atasannya yang biasa disapa Bang Beni itu mencari OB diklat untuk menebang pohon kapuk itu. Terpilihlah Abah Pardi dan Kang Darca.

Usai Pohon Kapuk berhasil tumbang Abah Pardi dan Kang Darca mengalami kejang. Eka dokter klinik Badiklat segera memeriksa kesehatan Pardi dan Darca di Klinik Kesehatan Badiklat sore itu. Setelah tensi dan mendengar denyut nadi melalui stetoskop dokter Eka segera merekomendasikan keduanya untuk dibawa ke RSUD Ciawi.

Semalam setelah perawatan, dokter di RSUD Ciawi mendiagnosa keduanya mengalami stroke ringan. Dokter bilang keduanya kebanyakan makan cumi, makan daging Idul Fitri dan durian mentega dicampur kopi. Dua hari lamanya dirawat di RSUD Abah Pardi dan Kang Darca diperbolehkan pulang karena permintaan Kara dan istri Kang Darca. Dua malam Kara menemani abah Pardi di RSUD Ciawi ruang kelas tiga. Meski lama tidak pernah sholat Kara terus melafazkan tasbih, tahmid dan takbir ditelinga abah, satu-satunya keluarga tersisa setelah Emak meninggal sepuluh tahun berlalu. Alhamdulillah Abah Pardi sudah bisa berjalan pelan dan berbicara perlahan.

Dua hari perawatan, Kang Darca pun sudah mampu berjalan dan bisa sedikit berbicara tapi belum bisa bercerita, tatapan Kang Darca kadang masih kosong tapi mulutnya tidak mengot.

Diantar pulang oleh Pak Pulo dan Bang Beni menggunakan mobil Ambulan mereka tiba dirumah berdinding kayu berubin semen tipis Desa Sukamana dua kilometer dari Badiklat itu. Kara membopong Abah Pardi masuk kamar dalam rumah dan merebahkannya. Pak Pulo sebelum pamit pulang berbisik kepada Kara, “Ra, abah Pardi jangan ditinggal dulu ya, jagain. Abah ini kesambet setan sepertinya”, ucap pak Pulo tanpa saringan kata sambil matanya menatap genteng langit rumah tak berplafon. Bang Beni yang sedari awal tegang dan sibuk berkomunikasi dengan atasannya di Badiklat melalui HT dan HP mendekat menyalami Kara dan menyerahkan amplop berisi uang “Jaga abah, kabari perkembangannya”, ucap Bang Beni singkat padat bergizi dengan nada empati.

Satu bulan setelah peristiwa itu abah Pardi meninggal dunia. Dua minggu sebelumnya abah Pardi meminta Kara mendatangi Pak Pulo. Kara dititipi abah sepucuk kertas yang tidak boleh dibukanya. Pak Pulo membuka surat lalu membawanya menemui Bang Beni. Bang Beni menatap Kara lalu berkata “Senin depan kamu mulai bekerja disini Ra”, Ucap Bang Beni sambil memberi isyarat kepada Pak Pulo membawa Kara. Kara baru tahu kalau isi dalam surat itu singkat saja “Bang Beni saya titip anak saya bekerja gantikan saya”. Seminggu kemudian abah Pardi meninggal dunia.

Kara adalah satu-satunya yang tersisa dalam keluarga. Dia anak semata wayang. Emak meninggal 10 tahun lalu kini menyusul abahnya tiada. Maka tinggalah Kara sebatang kara dalam pengertian idiom maupun makna harfiah sebenarnya.

Dia diberi abahnya nama lengkap : Sakara Dumadi. Kata Abah Pardi, Sakara Dumadi adalah akronim Sangkan Paraning Dumadi yang memiliki arti “dari mana berasal disitulah kembali”. Dumadi juga singkatan dari nama Emak Dumiati dan Abah Supardi digabung menjadi Dumadi. Entah apa maksud utak-atik kata dan makna namanya dari Abah dan Emaknya waktu dia lahir itu. Mungkin maksudnya Abah Pardi dan Emak Dumiati ingin cepat mati menghadap illahi. Getir jika ia mengingat itu.

Abahnya adalah pemeluk islam kejawen. Menjalankan syariat islam abangan. Kadang abah sholat kadang tidak. Abah ada pergi ke masjid, ikut tahlilan dan maulidan dengan masyarakat. Akan tetapi seringnya abah jika sendiri menjalankan tirakat kebatinan kejawen dengan falsafah nilai leleuhur Jawa.

Sewaktu kecil Kara sering mendengar Abahnya di sepertiga malam bersuara lirih. Kara awalnya kira abah sholat tahajud namun setelah Kara sempurna terjaga ternyata abah mendendangkan tembang jawa seperti ini syairnya :

Ahadiyat durung nana wiji
Kang dihin mung Allah
Dzat jumeneng klawan pribadine
Awang-uwung alam sunyaruri
Nang ning unong uning
Nang nung ning nong ning gung

Belakangan setelah Kara besar Abah memberitahu bahwa itu tembang Mijil yang ia dendangkan maknanya tentang sebelum semesta tercipta Tuhan telah lebih dulu ada. Tuhan mampu berdiri dengan Dzat-nya sendiri. Jadi setiap makhluk yang awalnya tiada lalu diciptakan menjadi ada. Kemudian makhluk kembali tiada karena diminta kembali kepadaNYA.

Kara tumbuh dari ingatan dendang tembang jawa indah yang didengarnya sejak kecil sehingga membentuk dirinya menjadi lebih tenang, iklas juga waspada. Kara belakangan hafal dan ikut melantunkan tembang jika dia terjaga disepertiga malam.

Dedalane guna lawan sekti,
Kudu andhap asor,
Wani ngalah luhur wekasane,
Tumungkula yen dipundukani,
Bapang den simpangi,
Ana catur mungkur. 

(Jalannya orang berilmu,
Harus rendah hati,
Berani mengalah bagus hasilnya,
Jangan membantah ketika dinasihat,
Jauhilah pesta pora,
Jauhilah pergunjingan)

Emak Dumiati adalah seorang lemah lembut dalam arti makna kata sesungguhnya. Tubuhnya lemah bertahun setelah melahirkan Kara. Lemah karena beragam sakit hingga terakhir cancer stadium tiga lengkap paripurna. Emak lembut dalam bersuara dalam arti yang sebenarnya. Kalimat yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. Dari Emak, Kara sudah terbiasa belajar dari suara sunyi. Dari isyarat anggukan, sorot mata dan gerakan tubuh Emak. Kara suka dipeluk Emak. Ada energi yang diserap dari tubuh emak yang ia rasakan itu adalah energi percaya. Emak jarang bercerita tapi Kara tahu semua isi dada dan Kepala Emak meski tanpa cerita. Emak tidak pernah dilihatnya menangis. Mungkin tangisnya ditahan untuk tidak perlu ditunjukan kesedihan didepan anak semata wayangnya yang masih anak-anak waktu itu. Emak hanya makan sekali sehari. Kara pernah bertanya dan emak menjawab sekali makan cukup bagi emak karena emak tidak ingin memberi makan buat penyakitnya. Kara dalam pelukan Emak sepanjang malam. Ditepuk lembut pantatnya, diusap punggung dan dielus kepalanya. Seperti mantra yang mengalir di darahnya Kara tertidur pulas. Setelah pagi tiba ternyata emak sudah tiada dalam pelukannya.

Kara tidak menangis di usia penghujung SD saat itu. Karena emak yang mengajarkan tidak menangis. Abah Pardi memegang pundaknya ketika liang lahat ditutup. Lalu sepuluh tahun setelah emak tiada, Kara kembali tidak menangis ketika Abah meninggal dunia. Keduanya kini telah tiada. Berdampingan pusara kembali padaNYA. Kini Kara sebatang kara. Matahari jatuh di ufuk barat. Semburat jingga menyembul di puncak Salak. Pangrango di lintang timur melambai menyambut redupnya malam.

Kara sholat subuh di Masjid Al-Maghfirah Badiklat. Dia lupa kapan sholat di masjid terakhir kalinya. Semalam dia kurang tidur karena lama bercerita kepada Pak Pulo di Mess Karyawan. “Saya bertemu dengan sosok gelap yang pernah diceritakan Pak Pulo di pohon aren tua itu”, ucap Kara pelan. Pak Pulo yang baru masuk mess dan masih mengenakan sarung dan peci mendadak diam dan menatap tajam Kara. “Dimana kamu bertemu Ra?”, tanya Pak Pulo sambil melepas peci. Lalu Kara menceritakan peristiwa sore itu. Kara lalu bertanya “Apakah Pak Pulo pernah juga bertemu makhluk itu?”.

Pak Pulo menarik nafas dan bercerita bahwa pernah disuatu pagi dia ingin menebang Pohon Aren tua itu karena disuruh Bang Beni tapi ketika ingin menebas selalu parangnya terlepas dari gagangnya. Lalu Pak Pulo menggunakan parang lain yang baru saja dibelinya tapi lagi parang terlepas dari gagangnya. “Bulu kuduk berdiri Ra, lalu saya minta maaf sama pohon Aren tua itu”, cerita Pak Pulo.

Seminggu setelah usaha Pak Pulo ingin menebang pohon itu dia jatuh sakit. Tidak bisa berdiri dan berjalan. Setelah seminggu istirahat, dia merasa sanggup berdiri dan berjalan kemudian mendatangi kembali Pohon Aren di Badiklat itu. “Saya minta maaf lagi ke pohon Aren, saya taburi bunga cempaka dibawah batangnya Ra”, ujar Pak Pulo. Lalu Kara bertanya: “Apakah sosok gelap yang bersemayam di pohon Aren Tua itu yang menyebabkan Abahnya sakit lalu meninggal dunia?”, tanya Kara penasaran. Pak Pulo menasihati “Ra gak boleh asal menuduh. Bahkan dengan yang terlihat saja kita tidak boleh menuduh apalagi menuduh dengan yang ghoib. Sudahlah iklas soal Abah Pardi ya Ra”, saran Pak Pulo bijak.

Pagi itu usai berdoa di sholat subuh untuk arwah Abah dan Emaknya, Kara membawa Parang dan Kapak kehadapan Pohon Aren Tua itu. Dia bertekad menebang Pohon Aren Tua itu di terik pagi yang hangat. Di depan tumbuhan Palma serba guna itu dia menatap waspada. Tinggi pohon Aren itu 12 meter. Batangnya diselimuti serabut berwarna hitam yang disebut dengan Ijuk. Ijuk dimanfaatkan untuk bahan sapu, atap alami rumah dan filter alami air. Pohon Aren tua itu sedang berbuah. Buahnya disebut kolang kaling yang kaya serat, rendah kalori, bagus untuk pencernaan. Bunganya sebelum berubah menjadi buah itu bisa menghasilkan nira minuman manis. Jika difermentasi menjadi tuak. Lalu jika dimasak nira berubah menjadi gula merah. Kara memperhatikan batang dan pelepahnya semua berguna. Bahkan sampai akarnya dimanfaatkan orang untuk minuman herbal. Kara lalu mengajak pohon aren itu berbincang. “Jika saya menebangmu maka saya menghentikan manfaatmu. Sedangkan sebaik-baiknya species adalah dia yang bermanfaat. Bagaimana mungkin saya menghentikan species yang sedang sebaik-baiknya?” tanya Kara. Lalu Kara melihat tumpukan bunga cempaka segar dibawah pohon Aren itu. “Mungkin Pak Pulo yang meletakan lagi bunga cempaka subuh tadi sebelum berangkat ke Jakarta. Bagaimana bisa Pak Pulo yang sudah dibuat sakit oleh dia yang bersemayam di Pohon Aren ini masih memperlakukan dengan baik Pohon Aren ini?”, batin Kara sambil berpikir kapan waktunya Pak Pulo menebar bunga Cempaka. Lalu Kara menyarungkan kembali Parang dan Kapak di pinggangnya.

Kara meletakan kedua tangannya di batang pohon Aren yang banyak ditumbuhi tanaman Pakis. Benar adanya dari apa yang dipelajari melalui smartphonenya bahwa Pakis yang tumbuh di batang pohon Aren adalah epifit. Pakis tumbuh menempel dibatang sebagai inang, tetapi Pakis tidak mengambil nutrisi dari pohon Areng tersebut. Pakis mendapatkan air dan nutrisi sepenuhnya dari udara, air hujan, dan sisa-sisa organik yang terkumpul di sekitar akar yang menempel. Jadi Pohon aren hanya tempat hidup untuk menumpang, memfasilitasi pakis untuk mendapatkan akses sinar matahari yang lebih baik. Interaksi ini dikenal sebagai komensalisme, di mana pakis diuntungkan sementara pohon aren tidak dirugikan. Kara berpikir bahkan sesama tanaman yang menempel di Batang Aren ini pun tidak ingin merugikan pohon Aren tua itu. Kara tersadar. Bahwa pohon Aren tidak bersalah pohon Aren tidak berdosa. Mengapa tidak dibiarkan saja dia tumbuh sebaik-baiknya dengan memberi manfaat selama Pohon Aren ini hidup.

Kara memeluk batang Pohon Aren. Dibuka bajunya agar skin to skin. Detak jantungnya bisa merasakan pembuluh kapiler berbunyi mengaliri nutrisi makanan dari air yang diserap akar ditanah menuju batang, daun, ranting, bunga dan buah pohon aren tua itu. Kara mendekap erat pohon sambil berucap dihati “wahai sosok gelap yang bersemayam di pohon Aren, masih ada dendamku. Jawab pertanyaanku, adakah kamu yang membuat abahku jatuh sakit lalu mati?”.

Hari Sabtu itu adalah hari libur buat Kara. Selepas kemarin dia keras bekerja di Taman Badiklat itu. Sabtu memang dulu dipercaya sebagai hari dimana Tuhan beristirahat pada hari ketujuh setelah menyelesaikan kerja penciptaan. Hari Sabat dulu disebutnya. Secara harfiah artinya “hari istirahat”. Sabat adalah hari kudus untuk istirahat, berdoa dan bersyukur.Tuhan memang tidak beristirahat karena lelah. Maka Orang jawa bilang “Tuhan Ora Sare”, Tuhan memberkati dan menguduskan hari Sabtu, agar manusia beristirahat, menyukuri dan menikmati semesta alam ciptaanNYA.

Sabtu itu Kara seharian tidur dan terbangun siang. Sore ba”da Ashar dia berangkat ziarah ke makam kedua orangtuanya. Di perkuburan kampung itu dia melihat beberapa orang penziarah masih membersihkan pusara dan beberapa khidmat membaca Surat Yassin. Kara membungkuk dan tersenyum melewati dua tiga rombongan penziarah. Hati-hati ia melewati ratusan batu nisan di perkuburan itu. Lalu tibalah ia di gundukan tanah bernisan kayu yang setiap sabtu sore didatanginya itu. Mendadak terkejut dan bulu kuduknya berdiri. Kara menemukan diatas Pusara Abah dan Emaknya bertaburan Bunga Cempaka segar warna putih dan kuning.

Kara tetiba merasakan suasana yang sama ketika pertama kali dia terjungkal di kolam ikan Taman Badiklat itu. Bulu kuduknya berdiri. Telinganya awas. Pandangan matanya mendadak dalam dimensi dunia yang lain. Kara bisa merasakan suara angin berbisik. Instingnya seperti bisa bercakap dengan sunyi. Indera penciumannya menjadi tajam. Ada bau semacam bau bunga cempaka. Tapi indera penciuman Kara juga mencium wangi pandan urin hewan nokturnal, Binturong Musang besar. Sosok gelap itu mengikutinya seperti memberi jawaban atas pertanyaannya. Seperti Pak Pulo menaburkan Bunga Cempaka dibawah Batang Pohon Aren sebagai tanda maaf dan berdamai. Adakah sosok gelap ini yang menaburkan dua bunga cempaka putih dan kuning di pusara orangtuanya adalah tanda maaf, berdamai dan ikut berduka. Kara menghentikan pikirannya. Dia berjongkok dan mengusap Kayu nisan Abah dan Emaknya. Berdoa kiranya Tuhan menyatukan arwah keduanya dalam keabadian. Arwah Abah dan arwah Emak mungkin sudah bertemu di alam ghoib dengan sosok gelap itu. Mungkin Abah dan Emak sengaja memanggilnya di perkuburan itu, berdamai dengannya. Kara menginsyafi. Dadanya lega pikirannya tenang. Kara bukannya hanya perlu berdamai dengan pohon Aren yang tidak bersalah itu tapi Kara harus berdamai juga dengan makhluk itu. Suara rerimbun ilalang menderu lalu tiba-tiba senyap. Sunyi suara sembunyi, dari mata terpejam Kara menetes air mata.

Uncu Syamariefa
Syamsul Arief BSDK MA, Penggemar lari, sastra & kopi
Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Rumusan Kamar Mengisi Kekosongan Hukum Agar Keadilan Benar Secara Hukum, Pasti dan Bermanfaat Bagi Masyarakat

10 November 2025 – 23:30 WIB

Pelatihan Singkat Hak Kekayaan Intelektual Gelombang Kedua: Menguatkan Kapasitas Hakim Indonesia Melalui Sinergi Strategis Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI dan JICA

10 November 2025 – 21:57 WIB

DIPERSIMPANGAN RASA

10 November 2025 – 16:19 WIB
Demo
Top Posts

Rumusan Kamar Mengisi Kekosongan Hukum Agar Keadilan Benar Secara Hukum, Pasti dan Bermanfaat Bagi Masyarakat

10 November 2025 – 23:30 WIB

Kelas Inpirasi : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Hukum Keadilan

16 May 2024 – 18:01 WIB

Badan Strajak Diklat Kumdil Gelar Donor Darah dalam Rangka HUT RI dan HUT MA RI Ke-80

21 August 2025 – 11:42 WIB
Don't Miss

Rumusan Kamar Mengisi Kekosongan Hukum Agar Keadilan Benar Secara Hukum, Pasti dan Bermanfaat Bagi Masyarakat

By Kontributor SuaraBSDK10 November 2025 – 23:30 WIB

Penutupan Rapat Pleno Kamar MA ditutup Ketua MA, YM Sunarto Senin malam (10/11) di Convention…

Pelatihan Singkat Hak Kekayaan Intelektual Gelombang Kedua: Menguatkan Kapasitas Hakim Indonesia Melalui Sinergi Strategis Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI dan JICA

10 November 2025 – 21:57 WIB

YM Dr. Dwiarso Budi resmi menjadi WKMA Non Yudisial

10 November 2025 – 18:32 WIB

A Digital Witness

10 November 2025 – 16:51 WIB
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Hubungi Kami

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

Kategori
Beranda Artikel Berita Features Sosok
Filsafat Roman Satire SuaraBSDK Video
Connect With Us
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3 Logo 3
Logo 4 Logo 4 Logo 4 Logo 5 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.