Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Home » Sertifikasi Perikanan: Ujian di Darat, Ketakutan di Laut
Artikel

Sertifikasi Perikanan: Ujian di Darat, Ketakutan di Laut

19 November 2025 • 14:46 WIB4 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Pasal 71 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menghadirkan apa yang seharusnya menjadi tonggak modernisasi hukum lingkungan di Indonesia: Pengadilan Perikanan. Di sana, Mahkamah Agung tidak hanya dituntut menyediakan Hakim yang mahir teknis dan teori, tetapi juga memahami denyut nadi filsafat hukum lingkungan—mulai dari prinsip bahaya (harm principle) hingga penafsiran hukum dengan pendekatan ekosentrisme (eco-centrism).

Namun, teori memang selalu lebih ramah dibanding kenyataan. Di ruang-ruang kantor, muncul bisik-bisik klasik: “Kalau ikut sertifikasi Hakim Perikanan, nanti ditempatkan di daerah pesisir, jauh dari kota. Bisa-bisa dari Hakim berubah jadi ‘Hakim Ikan’.” Satire ini muncul tampaknya karena ketakutan paling filosofis dari Para Hakim modern bukan pada ketidakadilan ekologis, tetapi pada kemungkinan ditempatkan di kota yang tidak punya mall lima lantai.

Padahal, BSDK MARI melalui Pusdiklat Teknis MARI sudah melaksanakan Sertifikasi Hakim Perikanan dengan idealisme besar: menghasilkan Hakim yang tidak hanya terampil, tetapi juga mampu memberi keadilan bagi alam (pro natura). Namun, sebagian “Sang Pengadil” tampaknya masih lebih takut pada ombak daripada pada krisis ekologis.

Sertifikasi Perikanan memang tidak mudah—tetapi rupanya, yang lebih menakutkan bukan soal ujian sertifikasi hakim perikanan, melainkan ujian hidup tanpa lampu kota. Ketika nama-nama seperti Bitung, Tual, Natuna, Sorong, hingga Merauke disebut, sebagian Hakim langsung merasa seperti tengah membaca daftar lokasi pengasingan. Ironis, sebab justru di tempat-tempat itulah hukum lingkungan paling membutuhkan kehadiran seorang Hakim yang berwawasan ekologis.

Untuk menjadi Hakim Perikanan, seseorang harus memahami pertanyaan ontologis yang tidak ringan:

“Apakah alam hanya objek atau subjek moral?”

“Apakah ikan-ikan itu punya hak?”

“Bagaimana prinsip kehati-hatian menjaga kelestarian laut?”

“Apa itu keadilan ekologis bagi masyarakat pesisir?”

Tetapi, di tengah urgensi ini, sebagian Hakim justru lebih resah pada pertanyaan yang jauh lebih eksistensial:

Baca Juga  Mengarusutamakan Keadilan Ekologis Laut: Transisi dari Antroposentrisme Menuju Biosentrisme & Ekosentrisme

“Ada sinyal 5G atau tidak di sana?”

Seorang Hakim Perikanan dituntut memahami marine ethics, precautionary principle, intergenerational justice, hingga metode penafsiran ekosentris. Namun untuk sebagian Hakim, tampaknya tuntutan moral ini kalah oleh ketakutan menghadapi matahari terbenam dari tepi pantai—sesuatu yang, sayangnya, tidak tersedia dalam aplikasi hiburan kota. Padahal, menjadi Hakim berarti memilih perjalanan panjang yang tidak pernah berhenti serta selalu belajar dan menjadi Hakim Perikanan bukanlah hukuman; itu amanah—bukan hanya dari Mahkamah Agung, tetapi juga dari laut beserta seluruh biota yang ada didalamnya. Sebab pada akhirnya, ada pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh hati seorang Hakim:

“Mampukah seorang Hakim berlaku adil bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada paus, karang, dan ikan-ikan yang diam-diam menagih keadilan melalui setiap ombak yang datang?”

Maka ketika sebagian Hakim berkata,

“Tapi itu kan jauh dari kota…”

mungkin filsafat hukum lingkungan perlu menjawab dengan satire lembut:

“Justru di tempat yang sunyi itulah, seorang Hakim belajar mendengar suara yang selama ini tidak terdengar.”

Terlepas seorang Hakim Perikanan atau bukan, tuntutan mempelajari seluruh wawasan di atas sesungguhnya adalah tuntutan etis bagi Sang Pengadil. Satire ini hanya ingin mengingatkan bahwa kecakapan teknis mungkin dapat dipelajari dalam ruang kelas, tetapi kebijaksanaan ekologis menuntut keberanian moral dan apabila seorang Hakim bergeming hanya karena takut angin laut, bagaimana mungkin ia berdiri tegak ketika berhadapan dengan badai ketidakadilan yang jauh lebih besar?

Seorang Hakim Perikanan dituntut memahami marine ethics, precautionary
principle, intergenerational justice, hingga metode penafsiran ekosentris. Namun untuk
sebagian Hakim, tampaknya tuntutan moral ini kalah oleh ketakutan menghadapi matahari
terbenam dari tepi pantai—sesuatu yang, sayangnya, tidak tersedia dalam aplikasi hiburan
kota. Padahal, menjadi Hakim berarti memilih perjalanan panjang yang tidak pernah berhenti
serta selalu belajar dan menjadi Hakim Perikanan bukanlah hukuman; itu amanah—bukan
hanya dari Mahkamah Agung, tetapi juga dari laut beserta seluruh biota yang ada
didalamnya. Sebab pada akhirnya, ada pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh hati
seorang Hakim:
“Mampukah seorang Hakim berlaku adil bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada
paus, karang, dan ikan-ikan yang diam-diam menagih keadilan melalui setiap ombak yang
datang?”
Maka ketika sebagian Hakim berkata,
“Tapi itu kan jauh dari kota…”
mungkin filsafat hukum lingkungan perlu menjawab dengan satire lembut:
“Justru di tempat yang sunyi itulah, seorang Hakim belajar mendengar suara yang selama
ini tidak terdengar.”
Terlepas seorang Hakim Perikanan atau bukan, tuntutan mempelajari seluruh
wawasan di atas sesungguhnya adalah tuntutan etis bagi Sang Pengadil. Satire ini hanya ingin
mengingatkan bahwa kecakapan teknis mungkin dapat dipelajari dalam ruang kelas, tetapi
kebijaksanaan ekologis menuntut keberanian moral dan apabila seorang Hakim bergeming
hanya karena takut angin laut, bagaimana mungkin ia berdiri tegak ketika berhadapan dengan
badai ketidakadilan yang jauh lebih besar?

Baca Juga  Mengakrabi Laut dari Tragedi, Fiksi, hingga Mistikisme
Dr. H. Syamsul Arief, S.H., M.H.
Hartanto Ariesyandi, S.H. Hakim Pengadilan Negeri Pulang Pisau

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI

mangrove
Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Demo
Top Posts

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB

Putusan yang Tak Bisa Dibacakan di Surga

26 November 2025 • 13:48 WIB

BSDK MA Gelar Pelatihan Filsafat Hukum untuk Hakim: Kelas Eksklusif Bagi Para Pencari Makna Keadilan

25 November 2025 • 12:16 WIB
Don't Miss

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

By Redpel SuaraBSDK28 November 2025 • 20:01 WIB

Di ufuk utara Nusantara, Pulau Weh berdiri seperti batu karang agung yang sejak abad ke-16…

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Hubungi Kami

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

Kategori
Beranda Artikel Berita Features Sosok
Filsafat Roman Satire SuaraBSDK Video
Connect With Us
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3 Logo 3
Logo 4 Logo 4 Logo 4 Logo 5 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.