MEGA MENDUNG, 2 Oktober 2025 – Dalam rangkaian kunjungan kerjasama antara delegasi Federal Court of Australia (FCA) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, sesi pertama yang bertema “Keadilan Iklim dan Litigasi Lingkungan” mengundang perhatian banyak pihak. Sesi ini dibuka dengan pemaparan oleh Chief Justice Debra Mortimer, yang berbagi pengalaman Australia dalam menangani gugatan hukum terkait perubahan iklim. Diskusi ini juga melibatkan Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha, serta dihadiri oleh 80 hakim yang mengikuti Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup dari seluruh Indonesia.
Chief Justice Debra Mortimer memaparkan tentang tren gugatan hukum yang semakin meningkat terkait dampak perubahan iklim, yang tidak hanya berasal dari kelompok masyarakat adat yang menggugat perusahaan tambang, tetapi juga dari generasi muda yang semakin sadar akan pentingnya hak-hak lingkungan hidup mereka. Salah satu kasus yang menarik perhatian dalam sesi ini adalah Pabai v Commonwealth, di mana masyarakat Kepulauan Torres Strait menggugat pemerintah Australia karena dianggap lalai dalam menangani krisis iklim yang mengancam tanah leluhur mereka. Kasus ini mencerminkan semakin meluasnya tuntutan masyarakat terhadap perlindungan lingkungan, terutama di daerah-daerah yang terancam oleh perubahan iklim.
Sesi ini juga membuka ruang bagi diskusi lebih mendalam mengenai litigasi lingkungan, dengan fokus pada upaya hukum yang digunakan untuk melindungi hak masyarakat terhadap kerusakan lingkungan. Para peserta tidak hanya mendapatkan wawasan mengenai praktik hukum di Australia, tetapi juga berdiskusi tentang bagaimana sistem hukum Indonesia dapat merespon tantangan serupa, dengan mengedepankan keadilan iklim yang lebih adil dan merata.

Peran Pengadilan dalam Litigasi Lingkungan
Pentingnya pengadilan dalam menangani tuntutan atas kerusakan lingkungan semakin terlihat dalam berbagai jenis gugatan, seperti litigasi lingkungan, tuntutan kelompok (seperti generasi muda atau masyarakat adat), hingga tuntutan terhadap pemerintah dan perusahaan besar yang terlibat dalam polusi atau perusakan alam. Sejumlah kasus hijau juga mulai marak, di mana perusahaan-perusahaan yang mengklaim sebagai ramah lingkungan tetapi tidak menjalankan praktik yang sesuai, terlibat dalam “greenwashing“. Kasus seperti ini menjadi bahan pertimbangan penting dalam strategi litigasi iklim global.
Tantangan Hukum dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Para hakim di Indonesia juga diingatkan untuk lebih terbuka terhadap penerapan hukum iklim yang lebih fleksibel dan tidak kaku dalam menghadapi perubahan zaman. Seperti yang dicontohkan oleh Kasus Smith v Fonterra di Selandia Baru, di mana perusahaan besar yang berkontribusi pada perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca dipertanggungjawabkan atas kerusakan yang ditimbulkan terhadap hak-hak masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan perubahan hukum dapat datang dari berbagai lapisan masyarakat untuk menciptakan keadilan iklim yang lebih adil dan merata.
Sesi ini juga menjadi kesempatan bagi Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha untuk memberikan pandangannya tentang peran peradilan Indonesia dalam menghadapi tantangan litigasi perubahan iklim. Dalam hal ini, para peserta diingatkan untuk lebih proaktif dalam menangani sengketa lingkungan yang dapat mempengaruhi hak-hak masyarakat, serta memperhatikan pentingnya keadilan iklim bagi seluruh lapisan masyarakat.
