Pendahuluan
Pada umumnya, pejabat negara diambil sumpah jabatan dan/atau dilantiknya dilakukan oleh pimpinan tertinggi dari lembaga negara dimana pejabat negara tersebut berada. Dapat dicontohkan pengaturan kewenangan pelantikan pejabat negara di lingkup kekuasaan eksekutif seperti Bupati/Walikota. Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 58 huruf m Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) bahwa Bupati/Walikota merupakan Pejabat Negara. Berdasarkan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2Ol4 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang dan peraturan turunannya terkait tata cara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota ditentukan bahwa Bupati/Walikota sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji[1] yang dipandu oleh pejabat yang melantik[2] diantaranya yaitu Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan.[3] Pelantikan Bupati/Walikota oleh Presiden tersebut dapat dilakukan secara serentak. Bilamana Presiden berhalangan, Gubernur atas nama Presiden melantik Bupati/Walikota.[4] Dalam hal Gubernur berhalangan, maka pelantikan Bupati/Walikota dilakukan oleh Menteri.[5]
Berdasarkan pengaturan pelantikan dalam rezim pemerintahan (eksekutif) tersebut di atas, jelas dan tegas diatur bahwa Presiden selaku pimpinan tertinggi dari kekuasaan eksekutif (pemerintahan) diberikan kewenangan melantik para pejabat negara yang dibawahinya dalam berbagai jenjang pemerintahan (provinsi, kabupaten, maupun kota), termasuk kepala daerah seperti Bupati/Walikota. Meskipun demikian, tetap diadakan pengaturan mengenai delegasi kewenangan pelantikan secara berjenjang vertikal dari atas ke bawah (tingkat/lingkup pemerintahannya), yaitu bilamana Presiden berhalangan maka diwakilkan kepada Gubernur, dan bilamana Gubernur berhalangan maka diwakilkan kepada Menteri. Akan tetapi ditegaskan juga bahwa sewaktu-waktu Presiden menghendaki maka pelantikan atau pengambilan sumpah terhadap para Kepala Daerah seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota dapat dilakukan secara serentak oleh Presiden. Dalam konteks ini, asal kewenangan pengambilan sumpah atau pelantikan terhadap para Kepala Daerah tersebut ada pada Presiden.
Berbeda dengan pengaturan pengambilan sumpah atau pelantikan dari lembaga yudikatif, yang notabene oleh undang-undang (peradilan umum, agama dan TUN) diatur (secara eksplisit) penjenjangan kewenangan secara vertikal dari bawah ke atas sehingga menampakkan “ke-musykil-an” (mengalami kekaburan pemahaman) bilamana Ketua Mahkamah Agung selaku pimpinan tertinggi dari lembaga peradilan (yudikatif) tidak diberikan kewenangan untuk melantik hakim pengadilan yang dibawahinya, baik tingkat pertama maupun banding (kecuali terhadap Ketua Pengadilan Tingkat Banding). Berdasarkan fakta yang demikian, Penulis berasumsi bahwa pengaturan yang demikian (masih) didasarkan atas kedudukan hakim yang “masih” berstatus atau berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Transformasi Kedudukan Jabatan Hakim: dari PNS ke Pejabat Negara
Ditinjau dari perspektif normatif, status jabatan hakim mengalami 3 (tiga) kali transformasi dalam perundang-undangan di bidang kepegawaian atau ASN yaitu:
- sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang berbunyi “Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah: … – Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas Negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan lain-lain”;
- sebagai Pejabat Negara “tertentu” berdasarkan Penjelasan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang berbunyi “Yang dimaksud Pejabat Negara tertentu adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan …”.
- sebagai Pejabat Negara berdasarkan Pasal 58 huruf e UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN yang berbunyi “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, yaitu: … e. Ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc …”.
Transformasi status jabatan hakim yang diatur oleh perundang-undangan di bidang kepegawaian atau ASN tersebut di atas sejalan dengan perundang-undangan mengenai peradilan dan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan masanya. Sebagaimana dicontohkan sebagai berikut ini:
- sebagai PNS diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan peradilan umum, agama dan TUN, dan berbunyi sebagai berikut:
- Pasal 13 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 yang berbunyi: “pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman”. Pasal ini memiliki penjelasan yang berbunyi: “hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena itu, Menteri Kehakiman wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim dalam rangka mencapai daya guna dan hasil guna sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri”.
- Pasal 12 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Agama”. Penjelasan pasal ini berbunyi: “Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena itu, Menteri Agama wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Hakim dalam rangka mencapai daya guna dan hasil guna sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri”.
- Pasal 13 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi: “Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri, dilakukan oleh Menteri Kehakiman”. Penjelasan pasal ini berbunyi”: Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian”.
- sebagai Pejabat Negara tertentu yang berasal dari PNS diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan peradilan umum, agama dan TUN, dan berbunyi sebagai berikut:
- Pasal 14 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2004 yang berbunyi: “Untuk dapat diangkat menjadi Hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
- Pasal 13 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2006 yang berbunyi: “Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun”.
- Pasal 14 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 yang berbunyi: “Untuk dapat diangkat menjadi Hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”
- sebagai Pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 19 UU 48 Tahun 2009 yang berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang undang”.
Jika ditelaah dari aspek historisnya, ketentuan perundang-undangan tentang kepegawaian atau ASN yang mentransformasikan status jabatan hakim dari PNS menjadi Pejabat Negara tertentu dan Pejabat Negara (tanpa ada “tertentu”-nya) menjadi acuan pengaturan kedudukan hakim dalam perundang-undangan tentang peradilan dan kekuasaan kehakiman. Sebagaimana tersebut di atas bahwa saat diatur bahwa pengawasan dan pembinaan terhadap hakim sebagai PNS dilakukan oleh Menteri Kehakiman atau Menteri Agama dan diberlakukan UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Berbeda saat diatur bahwa hakim merupakan Pejabat Negara maka pengawasan dan pembinaannya tidak lagi dilakukan oleh Menteri (di bawah kekuasaan eksekutif) tetapi dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yusidisial (dalam hal pengawasan eksternal). Artinya, terdapat konsekuensi logis dari penetapan hakim pengadilan sebagai pejabat negara tersebut terhadap manajemen jabatannya yang tidak sama atau dibedakan dengan PNS mulai dari pengadaan, pendidikan dan pelatihan, pengangkatan, pelantikan, pembinaan, pengawasan dan pemberhentiannya.
Pada faktanya, masih terdapat beberapa pengaturan menajemen jabatan hakim yang mengacu (dikelola) sebagaimana PNS, seperti pengadaan melalui jalur Calon PNS, kepangkatan dan golongan ruang, promosi dan mutasi, sistem kenaikan pangkat serta penilaian kinerjanya. Oleh karena itu, terdapat keresahan dari kalangan hakim pengadilan sehingga mengungkapkan perasaannya bahwa status mereka adalah “pejabat negara rasa PNS”.[6]
Pengaturan Kewenangan Pelantikan Hakim selayaknya PNS
Selain beberapa bagian manajemen jabatan hakim yang dikelola seperti PNS tersebut di atas, terdapat pengaturan mengenai pelantikan baru dari Calon Hakim (Cakim) pengadilan tingkat pertama yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan tempat dimana yang bersangkutan ditugaskan. Pelantikan yang dimaksud adalah upacara resmi atau prosesi pengucapan sumpah atau janji dari seorang calon pejabat sebelum memangku jabatannya. Pada kondisi saat ini, meskipun menurut Pasal 16 ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009 ditentukan bahwa “Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung”. Namun demikian untuk pelantikannya tidak dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung selaku pimpinan puncak lembaga peradilan, tetapi justru dilantik oleh Ketua Pengadilan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 17 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2004 yang mengatur bahwa “Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri”.
Ketentuan pelantikan hakim baru yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan diatur oleh UU Peradilan Umum era reformasi tersebut di atas, senyatanya juga diatur persis sama dengan era orde baru sebelumnya, sebagaimana ketentuan Pasal 17 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1986 mengatur bahwa “Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri”. Bahkan jika dirunut lagi ke belakang yaitu era orde lama, senyatanya juga menentukan pelantikan hakim baru dilakukan oleh Ketua Pengadilan, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) huruf a PP No. 10 Tahun 1947 yang mengatur bahwa “Hakim, panitera dan panitera-pengganti pada pengadilan bersumpah dihadapan ketua pengadilan, dimana mereka melakukan jabatan mereka”.
Berdasarkan keberlangsungan pengaturan pelantikan hakim baru yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan dari era orde lama, orde baru hingga reformasi tersebut di atas menampakkan kesan tidak ada dampak dari perubahan status jabatan hakim sebagai PNS dengan saat ini yaitu sebagai Pejabat Negara. Kami berasumsi demikian bukan tanpa alasan, sebab ketentuan yang demikian seiring dengan ketentuan lain yang terkait yaitu disandingkannya pengaturan pelantikan hakim baru dengan PNS yang menjabat sebagai Panitera dan Panitera Pengganti, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) huruf a PP No. 10 Tahun 1947.
Di era reformasi saat ini pun, Pasal 38 ayat (1) Jo. Pasal 42 ayat (1) Jo. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Umum juga mengatur mengenai Panitera, Wakil Panitera, Panitera Pengganti, Juru Sita, Juru Sita Pengganti dan Wakil Sekretaris yang notabene PNS yang menduduki jabatan fungsional dan struktural tersebut juga dilantik oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. Pengaturan pelantikan hakim baru yang disamakan dengan pejabat PNS di pengadilan tersebut di atas dapat menimbulkan kesan yang kuat seolah menyetarakan kedudukan pejabat negara dengan PNS. Padahal seharusnya dibedakan.
Gagasan Reformulasi Kewenangan Pelantikan Hakim
Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan serta refleksi historis tersebut di atas maka memunculkan pertanyaan yaitu mengapa hakim baru yang memiliki kedudukan sebagai pejabat negara dilantik oleh Ketua Pengadilan tingkat pertama dan bukan oleh Presiden atau Ketua Mahkamah Agung? Jika hakim masih memiliki status jabatan sebagai PNS, merupakan hal yang relevan bilamana terdapat delegasi berjenjang secara vertikal dari Presiden kepada Menteri Kehakiman atau Menteri Agama, dan membagikan kewenangannya yaitu:
- kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengambil sumpah atau melantik hakim dan Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Pertama;
- kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding untuk mengambil sumpah atau melantik hakim dan Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Banding; dan
- kepada Ketua Mahkamah Agung mengambil sumpah atau melantik Ketua Pengadilan Tingkat Banding.
Pengaturan delegasi kewenangan pelantikan secara bertingkat tersebut masih berada dalam rezim UU Kepegawaian yang menempatkan pimpinan satuan kerja sebagai pengambil sumpah jabatan dari hakim baru yang bertugas atau ditempatkan di pengadilan yang dipimpinnya. Hal ini sesuai dengan pengaturan pembagian kewenangan tersebut di atas diberlakukan yang mengacu pada ketentuan Pasal 25 UU Pokok-pokok Kepegawaian yang berbunyi “Untuk memperlancarkan pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Menteri atau pejabat lain”. Pengaturan kewenangan pelantikan Cakim menjadi hakim yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama tersebut berasal dari pembagian dari Menteri ke “pejabat lain” yang dimaksud sesuai dengan tingkatan atau satuan kerja dimana yang bersangkutan bertugas.
Saat ketentuan mengenai pelantikan hakim tersebut berlaku adalah era orde baru yang menerapkan sistem manajemen jabatan hakim dilakukan secara “dua atap”. Pada konteks era reformasi saat ini dimana hakim telah berubah statusnya sebagai Pejabat Negara dan telah diterapkannya manajemen peradilan secara “satu atap” (dibawah Mahkamah Agung), maka sudah tentu pengaturan ini “seharusnya” diubah atau disesuaikan. Namun demikian, senyatanya pengaturan pelantikan hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama masih diberlakukan sebagaimana era pengaturan hakim sebagai PNS, karena itu dapat dikatakan bahwa hal ini yang “tertinggal” atau tidak menyesuaikan dengan perubahan status hakim sebagai Pejabat Negara.
Merujuk pada gagasan pengaturan pelantikan hakim dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim ditentukan bahwa yang melakukan pengambilan sumpah atau janji jabatan hakim adalah Presiden. Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 25 ayat (2) RUU Jabatan Hakim yang berbunyi “pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Presiden”.
Pengaturan dalam ius constituendum yang demikian dapat diasumsikan sebagai konsekuensi logis atas status hakim yang merupakan pejabat negara, karena itu menurut pembentuk RUU Jabatan hakim tersebut merupakan hal yang relevan bilamana pengambilan sumpah jabatan terhadap hakim dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara. Persoalannya, RUU Jabatan Hakim tidak mengatur lebih lanjut mengenai bilamana Presiden berhalangan, tidak ada pengaturan mengenai delegasi kewenangan kepada Ketua Mahkamah Agung selaku pimpinan tertinggi kekuasaan yudikatif.
Merujuk pada pengaturan kewenangan pelantikan Kepala Daerah sebagaimana diuraikan pada pendahuluan tersebut di atas, idealnya kewenangan pengangkatan hakim tetap ada pada Presiden selaku Kepala Negara, tetapi untuk kewenangan pengambilan sumpah dan/atau pelantikan hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung selaku pimpinan tertinggi Lembaga yudikatif. Selanjutnya, diatur mengenai delegasi kewenangan bilamana Ketua Mahkamah Agung berhalangan maka didelegasikan kewenangannya secara berjenjang kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding. Dalam hal Ketua Pengadilan Tingkat Banding juga berhalangan maka dapat didelegasikan kewenangan pelantikan hakim kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
[1] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah Dan/Atau Wakil Kepala Daerah
[2] Pasal 2 ayat (2) Permendagri No. 35 Tahun 2013
[3] Pasal 164B UU No. 10 Tahun 2016 menentukan bahwa “Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat melantik Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak”.
[4] Pasal 3 ayat (1) Permendagri No. 35 Tahun 2013
[5] Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 35 Tahun 2013
[6] Keresahan ini dipotret dalam rangkaian FGD penelitian kedudukan hakim sebagai pejabat negara pada tahun 2015. Budi Suhariyanto. Kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara. (Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, 2015)


