Pagi itu, udara di Pengadilan Negeri Daya terasa dingin dan asing di relung hati Arga Wahyu, S.H., M.H.. Rutinitasnya sebagai seorang hakim tingkat pertama yang harus menempuh 30 km dari rumahnya di kabupaten lain, kini terasa lebih berat, seolah membawa beban tak kasat mata.
Tepat pukul 06.30 pagi, ia bergegas menuju kantor. Namun, langkah kakinya terasa diperlambat oleh bayangan yang terus menghantui. Setibanya di sana, Bu Narti, panitera pengganti, menyambutnya. “Pak Arga, perkara anak atas nama Dimas akan diputus minggu depan,” ujar Bu Narti, nadanya datar, tanpa menyadari badai di hati sang hakim.
“Hari ini adalah hari musyawarah hakim terkait perkara ABH anak itu,” jawab Arga Wahyu, suaranya tercekat.
Sesampainya di parkiran, sesaat sebelum ia memasuki ruangannya, sekelebat ingatan menyergapnya sosok Dimas, sang Anak Berhadapan Hukum (ABH). Bocah itu, tak salah lagi, seusia dengan Bagas, putra sulungnya yang kini duduk di bangku kelas dua SMA.
Di balik meja kerja hakim di lantai dua Gedung Pengadilan Negeri Daya, Arga Wahyu merenung, jiwanya terperangkap dalam kasus pilu ini. Dalam kesendiriannya, wajah Dimas terbayang, betapa miripnya ia dengan Bagas, anak pertamanya. Ia teringat kembali pada kesaksian tentang tindak pidana pencabulan yang dilakukan Dimas terhadap Dio, balita berusia 5 tahun. Kedua anak itu bertetangga, ironisnya, hanya dipisahkan oleh dua rumah tetangganya.
Perbuatan itu terjadi di rumah orang tua Dio, di kamar mandi belakang yang terpisah dari rumah utama. Saat itu, Dio, yang mengingatkan Arga Wahyu pada putra keduanya, Bagus, sedang bermain di halaman belakang. Dio yang kecil, kurus, dengan tatapan tajam, sempat membuat Arga Wahyu terdiam di persidangan. Dimas sebagai pelaku dan Dio sebagai korban, dua sosok anak yang seharusnya ia sayangi dan lindungi, kini seolah menjadi representasi dari kedua putranya sendiri di dalam bilik hati sang hakim. Ia ingat jelas pengakuan Dimas di persidangan betapa lancar dan terus terangnya ia menceritakan perbuatannya.
Saat Arga Wahyu bertanya alasan di balik dosa keji itu, jawaban Dimas meruntuhkan hatinya: trauma masa kecil. Dimas juga korban pencabulan pria dewasa ketika ia masih duduk di sekolah dasar. Mendengar kenyataan bahwa pelaku Dimas belum tertangkap, hati Arga Wahyu dipenuhi kesedihan yang menusuk.
Namun, pandangannya beralih pada Dio, balita lima tahun yang tak bersalah. Hatinya kembali tersayat oleh rasa iba yang mendalam. Trauma yang mungkin akan membekas hingga dewasa menanti Dio.
Dipersimpangan Rasa.
Sebagai ayah dari anak seusia pelaku (Bagas) dan anak seusia korban (Bagus), Arga Wahyu merasa jiwanya terbelah. Emosinya bergejolak, membawanya ke dalam pusaran kebimbangan. Apakah ia harus bersikap sebagai hakim yang tegas, atau sebagai ayah yang penuh empati terhadap luka masa lalu Dimas?
Lamunannya terinterupsi oleh suara Bu Narti yang lembut, “Pak Arga, ditunggu Bu Rina untuk musyawarah majelis hakim,”.
Di ruang musyawarah, sudah ada Bu Rina selaku ketua majelis, dan Bu Serly yang menggantikan Bu Nita. Bu Serly, dengan pandangan legalistik, berpendapat bahwa perbuatan anak terbukti. Sesuai UU SPPA, meskipun penjara adalah ultimum remedium (alternatif terakhir), Dimas harus dihukum, dan ia mengusulkan hukuman pidana peringatan sebagaimana pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak, sejalan dengan tuntutan jaksa. Bu Rina menyetujui, lalu mengalihkan pandangan penuh harap kepada Arga Wahyu.
Dengan bibir gemetar dan suara terbata-bata, Arga Wahyu mulai bersuara. Kasus ini, baginya, adalah pertarungan sejati antara Bagas (Dimas) dan Bagus (Dio). Matanya berkaca-kaca. Seandainya Bagas menyakiti Bagus, ia pun akan menghukum putranya sendiri.
“Mereka berdua adalah anak-anak Arga Wahyu yang harus disayangi dan dilindungi,” ucapnya, nadanya kini penuh ketegasan yang pilu. “Tapi, kesalahan tetap salah. Walaupun pidana penjara adalah alternatif terakhir, untuk kasus ini, saya akan jatuhkan hukuman penjara.”
Keputusan itu, walau adil di mata Arga Wahyu menurut hukumnya, sungguh melukai hati perasaannya sendiri. Biarkan waktu yang menjawabnya, semoga ini adalah keadilan sejati.
Pada akhirnya, musyawarah mencapai kata sepakat.
Seminggu setelah hari musyawarah hakim, di hari pembacaan putusan, Bu Rina bertanya pada Dimas apakah ia siap. “Siap,” jawabnya lantang. Dengan suara bulat, majelis menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun untuk kasus ini. Dan putusan ini jauh diatas tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman pidana peringatan.
Penasehat hukum menyatakan pikir-pikir, demikian pula jaksa penuntut umum. Namun, ketika ditanya, Dimas dengan lantang dan tegar menyatakan menerima putusan tersebut. Jawaban yang lantang dari Dimas itu menenangkan sedikit hati Arga Wahyu yang tengah terluka. Ia menghela napas, sebuah doa terbisik: semoga Dimas sanggup menerima konsekuensi perbuatannya dan menjadi manusia yang lebih baik ke depannya. Harapan lainnya adalah semoga Dio mendapat keadilan dan tidak mengalami traumatik masa kecil dan tumbuh menjadi anak yang baik. Dan harapan terakhirnya ia berharap orang yang telah merusak Dimas segera ditemukan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
ARI GUNAWAN, S.H., M.H.
Hakim Yustisial BSDK


