Pada penghujung hari ketiga seri pelatihan filsafat hukum dan keadilan, setelah sebelumnya menjelajahi pemikiran Cicero, Al-Ghazali, Kant, Hegel, hingga A.V. Dicey, peserta dibawa masuk menyelami hakikat Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum. Haris Azhar, tokoh penggiat HAM, mengajak peserta mendalami konsep HAM, Hukum, dan Hakim serta keterkaitan di antara ketiganya.
Sebagai fondasi, HAM tak terpisahkan dari hukum dan keadilan, sehingga nyaris mustahil membicarakan keduanya tanpa menyelami martabat manusia sebagai inti pembahasannya. Bukan sekadar seperangkat aturan, HAM adalah simbol kebutuhan dasar manusia yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti kebutuhan akan air, udara, pendidikan, dan pekerjaan. Jika kebutuhan tersebut terpenuhi, maka manusia dapat mencapai kondisi terbaik, membuat pilihan, dan karenanya bermartabat (human dignity).
Inti HAM adalah martabat itu sendiri. Proses manusia untuk mencapai kondisi yang lebih baik bergantung pada kapasitas dan konteks (lokasi, umur, dan situasi). Namun, proses ini tidak terjadi secara otomatis. Pada titik inilah negara dan hukum berperan sebagai representasi kekuasaan untuk memfasilitasi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Dengan demikian, hukum adalah ketentuan yang menunjukkan nilai yang ingin dibela sekaligus melahirkan mekanisme negara untuk melindungi nilai tersebut.
Hal menarik lainnya yang memancing diskusi adalah perbedaan konsep antara Law of Human Rights (LHR) dan Human Rights Law (HRL). LHR merujuk pada nilai HAM yang melekat pada setiap orang, tanpa memandang identitas seperti ras, agama, atau status. Sementara itu, HRL adalah aturan hukum positif yang diterapkan negara untuk melindungi hak-hak tersebut. Dalam positivisme hukum, HAM ditempatkan sebagai salah satu bidang atau kompartemen hukum positif, sebagaimana bidang-bidang seperti hukum kepailitan atau hukum pelayaran. Menurut Haris Azhar, ini tidak sepenuhnya salah karena negara memerlukan cara praktis untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Namun, HRL tidak boleh dianggap mutlak, karena belum tentu seluruh nilai HAM universal tercakup di dalamnya dan perkembangan baru dalam kesadaran HAM mungkin belum diakomodasi oleh hukum positif.
Ketika HAM tidak terfasilitasi oleh negara atau hukum, peran itu jatuh pada Hakim. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Hakim harus independen, bebas, dan mencari kebenaran. Hakim bertindak sebagai guardian of rights, mengontrol kekuasaan negara, memeriksa aduan, dan mencari kebenaran yang melampaui aturan hukum semata, dengan fokus pada martabat manusia. Hakim menjadi jembatan bagi isu-isu HAM yang semakin kompleks dan berkembang, sehingga dituntut memiliki kapasitas untuk melakukan penerobosan melalui konstruksi hukum sebagai pintu masuk untuk menguji dan mencari nilai dari setiap peristiwa. Tidak hanya mencocokkan fakta dan aturan, Hakim harus menggunakan kewenangannya untuk mengungkap suatu kebenaran (truth).
Namun, penting pula diingat adanya risiko bahwa Hakim justru dapat menjadi pelanggar HAM ketika ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk mengawasi, memperbaiki, ataupun menghukum pelanggaran yang terjadi.
Sesi ini menumbuhkan kesadaran bahwa sebagai guardian of rights, Hakim memiliki tujuan utama untuk menemukan ketidakcocokan antara hak manusia dan kewajiban negara serta mengidentifikasi adanya pelanggaran. Hakim juga perlu menelisik aturan yang tidak efektif, serta menentukan bentuk hukuman, pemulihan, dan pihak yang bertanggung jawab. Dalam penutup kelas dialektika ini, Haris Azhar menegaskan bahwa Hakim memiliki posisi strategis untuk menemukan kebenaran dan menghadirkan putusan-putusan yang sensitif terhadap HAM.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI


