Pengantar Pembuktian Ilmiah Dalam Perkara Lingkungan Hidup Bersama Windu Kisworo dan Fasilitator Mayor Laut (H) Ahmad Junaedi, S.H., M.H.
Perkara lingkungan hidup merupakan salah satu jenis perkara yang paling kompleks dalam sistem peradilan modern. Kompleksitas tersebut bukan hanya disebabkan oleh dimensi ekologis yang luas, namun juga karena perkara lingkungan memerlukan dukungan pembuktian ilmiah yang kuat, multidisipliner, dan sering kali mengandung ketidakpastian (uncertainty). Dalam pelatihan dan pendidikan Sertifikasi Lingkungan Hidup bagi hakim di seluruh Indonesia, pemahaman mengenai pembuktian ilmiah menjadi landasan penting dalam memutus perkara secara adil, objektif, dan akuntabel.
Sebagai fasilitator, saya mendampingi Narasumber Windu Kisworo untuk memberikan pengantar komprehensif mengenai aspek-aspek penting pembuktian ilmiah bagi hakim, termasuk hubungan antara hukum dan sains, tantangan pembuktian ilmiah, metode ilmiah, serta kerangka evaluasi bukti berdasarkan standar internasional maupun PERMA No. 1 Tahun 2023.
1. Mengapa Bukti Ilmiah itu penting?
Perkara lingkungan hidup memiliki karakteristik yang unik, antara lain:
- Multidimensional, karena menyangkut ekologi, kesehatan, ekonomi, sosial, dan tata ruang.
- Kompleks secara ilmiah, mengingat sifat pencemaran dan kerusakan lingkungan memerlukan analisis teknis dan laboratorium.
- Mengandung ketidakpastian, karena dinamika alam tidak selalu dapat diprediksi dengan absolut.
Karakteristik tersebut membuat pembuktian sebab akibat (causation) dalam perkara lingkungan membutuhkan penggunaan bukti ilmiah dalam jumlah besar dan pendekatan multidisipliner. Kemampuan hakim untuk mengakses, memahami, dan menilai bukti ilmiah menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan penegakan hukum lingkungan.
2. Apa keterkaitan Hukum dan Sains?
2.1 Relasi Fundamental
Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup:
- Sains menyediakan bukti, data, dan penjelasan mengenai sebab, dampak, serta risiko.
- Hukum menyediakan kerangka normatif untuk menilai, mengatur, dan memutus sengketa berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Namun hubungan keduanya tidak sederhana. Sains bekerja berdasarkan probabilitas dan ketidakpastian, sedangkan hukum menuntut kepastian. Hakim perlu memahami perbedaan epistemik ini agar dapat menilai kualitas bukti ilmiah secara tepat.
2.2 Tantangan dalam Relasi Hukum dan Sains
- Masalah Demarkasi: bagaimana menentukan apakah suatu klaim benar-benar ilmiah.
- Tantangan Spesifisitas: beberapa bidang ilmu memiliki kedalaman sangat teknis sehingga tidak ada satu orang pun yang mampu memahami seluruh aspeknya.
Pemahaman mengenai karakterisasi bukti ilmiah menjadi penting untuk mencegah masuknya pseudosains atau klaim teknis yang tidak teruji.
3. Tantangan dan Kebutuhan Hakim dalam Menilai Bukti Ilmiah
Peran hakim dalam perkara lingkungan tidak hanya menilai alat bukti semata, tetapi juga:
- Memahami pengetahuan ilmiah yang relevan dengan perkara.
- Mengidentifikasi prinsip-prinsip ilmiah yang terkait dengan isu lingkungan.
- Menafsirkan pendapat ahli, terutama ketika terdapat bukti yang saling bertentangan.
- Menguasai prinsip dasar metode ilmiah dan penyelidikan ilmiah.
Hakim membutuhkan science literacy dasar agar dapat menilai kredibilitas ahli, kekuatan data, dan validitas metodologi yang diajukan.
4. Tujuan Pembelajaran Hakim dalam Konteks Pembuktian Ilmiah
Hakim tidak diharapkan menjadi ilmuwan. Namun, hakim perlu memahami:
- Bagaimana ilmu pengetahuan bekerja.
- Bagaimana menilai validitas metode ilmiah.
- Bagaimana merumuskan pertanyaan kritis yang tepat kepada ahli.
- Bagaimana melakukan penalaran hukum berbasis bukti ilmiah tanpa terjebak pada judicial overreach.
Pemahaman ini memungkinkan hakim memperkuat pertimbangan hukum ketika melakukan judicial activism secara proporsional.
5. Penyelidikan Ilmiah (Scientific Inquiry) dan Relevansinya bagi Hakim
Scientific inquiry adalah proses ilmiah dalam mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban berdasarkan bukti yang dapat diverifikasi. Prinsip-prinsip penyelidikan ilmiah mencakup:
5.1 Objektivitas
Penelitian harus bebas dari bias dan pengaruh kepentingan. Dalam persidangan, objektivitas memastikan pendapat ahli netral dan menjunjung integritas ilmiah.
5.2 Replikabilitas, Transparansi, dan Peer Review
Studi ilmiah harus dapat diuji ulang oleh peneliti lain. Dokumentasi metode dan data harus jelas. Peer review menjadi mekanisme penting untuk menjamin kualitas.
5.3 Independensi dan Presisi
- Independensi berkaitan dengan kebebasan penelitian dari subjektivitas.
- Presisi menuntut definisi dan pengukuran yang jelas sehingga dapat diuji dan dipahami oleh pihak lain.
5.4 Falsifikasi (Karl Popper)
Sebuah teori ilmiah harus dapat dibuktikan salah melalui pengujian empiris. Klaim yang tidak dapat diuji bukanlah klaim ilmiah.
Prinsip-prinsip ini membantu hakim membedakan bukti ilmiah dari pseudosains serta mengidentifikasi metode penelitian yang lemah.
6. Metode Ilmiah (Scientific Method): Kerangka Evaluasi Bukti
Metode ilmiah adalah pendekatan sistematis untuk memperoleh pengetahuan. Tahapannya meliputi:
6.1 Observasi
Pengamatan fenomena lingkungan secara langsung atau menggunakan alat ukur.
6.2 Penyusunan Pertanyaan Ilmiah
Pertanyaan harus spesifik, dapat diuji, dan relevan dengan fenomena.
6.3 Hipotesis
Dugaan yang dapat diuji untuk menjelaskan hubungan sebab akibat.
6.4 Eksperimen dan Pengumpulan Data
Penelitian lapangan, pengujian laboratorium, atau pemodelan ilmiah dengan prosedur terstandar.
6.5 Analisis Data
Menggunakan teknik statistik dan model ilmiah untuk menetapkan hubungan kausalitas.
6.6 Penarikan Kesimpulan dan Pelaporan
Laporan harus transparan, menjelaskan keterbatasan, dan menyampaikan tingkat ketidakpastian.
Pemahaman metode ilmiah membantu hakim menilai kualitas laporan ilmiah dan apakah kesimpulan yang ditarik dapat dipertanggungjawabkan.
7. Standar Internasional Evaluasi Bukti Ilmiah
7.1 Kriteria Daubert (Amerika Serikat)
Dipakai untuk menentukan apakah bukti ilmiah dapat diterima di pengadilan. Kriterianya antara lain:
- Dapat diuji (falsifiability).
- Memiliki tingkat kesalahan yang diketahui (error rate).
- Telah melalui peer review dan publikasi.
- Mengikuti standar prosedur teknis.
- Diakui secara umum dalam komunitas ilmiah.
7.2 Preston’s Test (Australia)
Uji keandalan pendapat ahli, meliputi:
- Relevancy Test: apakah membantu hakim menyelesaikan isu.
- Special Knowledge Test: apakah pendapat didasarkan pada pengetahuan ilmiah yang sah.
- Qualification Test: apakah ahli memiliki kualifikasi memadai.
- Basic Test: apakah kesimpulan berbasis metode yang jelas dan dapat diuji.
8. Pembuktian Ilmiah dalam PERMA No. 1 Tahun 2023
PERMA ini memberikan pedoman konkret terkait jenis bukti ilmiah, antara lain:
- Keterangan ahli.
- Pendapat ahli tertulis.
- Hasil uji laboratorium.
- Laporan penelitian.
- Hasil forensik lingkungan.
- Bukti ilmiah lain sesuai perkembangan sains.
Dokumen ilmiah seperti KLHS, Amdal, UKL-UPL, hasil interpretasi satelit, dan audit lingkungan diakui sebagai bukti ilmiah sepanjang dapat diuji dan dikuatkan oleh ahli.
Hakim harus menilai:
- Kesesuaian metode dengan standar ilmiah.
- Ada tidaknya publikasi atau peer review.
- Validitas fakta dan relevansinya dengan isu perkara.
Jika terdapat perbedaan pendapat ahli, hakim dapat:
- Memanggil ahli tambahan, atau
- Memilih pendapat ahli yang paling kuat dengan memberikan argumentasi hukum yang jelas.
9. Bagaimana Hakim menguji Bukti Ilmiah?
Hakim memeriksa bukti ilmiah melalui tiga parameter:
① Apakah sesuai dengan ilmu pengetahuan?
Teori dan metodologi harus diakui secara ilmiah.
② Apakah ada publikasi atau rujukan?
Data harus dapat ditelusuri pada jurnal, standar laboratorium, atau panduan ilmiah.
③ Apakah telah melalui peer review?
Peer review memastikan bahwa metode atau teori telah diuji oleh rekan ahli.
10. Key Take Aways
- Perkara lingkungan sangat bergantung pada bukti ilmiah.
- Hakim perlu science literacy dasar untuk menilai kualitas data dan pendapat ahli.
- Hakim tidak perlu menjadi ilmuwan, tetapi harus mampu mengajukan pertanyaan ilmiah yang tepat.
- Prinsip Daubert, Preston, dan metode ilmiah dapat menjadi kerangka konseptual evaluasi bukti.
- PERMA No. 1 Tahun 2023 mempertegas standar pembuktian ilmiah di Indonesia.
11. Rekomendasi
- Meningkatkan pengetahuan dasar tentang sains (basic science literacy).
- Mengkaji putusan yang menggunakan bukti ilmiah sebagai referensi.
- Menyelenggarakan pelatihan lanjutan berbasis sains.
- Melatih kemampuan merumuskan pertanyaan kritis kepada ahli.
Pembuktian ilmiah bukan hanya alat bantu, tetapi fondasi bagi tegaknya hukum lingkungan. Dengan Perma No. 1/2023, Indonesia telah membangun kerangka kuat bagi para hakim untuk menilai bukti ilmiah secara lebih objektif.
Peran hakim menjadi semakin strategis:
menerjemahkan bahasa sains ke dalam bahasa hukum – demi keadilan ekologis yang berpihak pada generasi kini dan mendatang.
-Sekian-
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI


