Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Home » Laut adalah Saudaraku, Prinsip Suku Bajau dalam Menghormati Laut
Artikel

Laut adalah Saudaraku, Prinsip Suku Bajau dalam Menghormati Laut

17 November 2025 • 12:49 WIB4 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

            Suku Bajau atau Orang Laut merupakan salah satu etnis yang mendiami wilayah perairan Indonesia, Malaysia, Filipina dan Brunei. Dikenal sebagai penyelam yang hebat karena setiap aktifitasnya banyak dihabiskan di laut baik untuk memancing, berlayar dan menyelam. Pemukiman Suku Bajau berada tepat diatas laut dengan menggunakan rumah yang terbuat dari kayu dengan jembatan bambu yang saling menghubungkan antar rumah. Dunia internasional menjuluki mereka dengan sebutan Sea Gypsies (Orang Gipsy Lautan), bukan tanpa sebab karena Orang Bajau melakukan hidup nomaden dengan berpindah mengikuti pasang surut air laut dan migrasi ikan. Bagi orang Bajau Laut bukan hanya sebagai rumah atau tempat berlayar tetapi merupakan “saudara” yang memberikan identitas, sumber kehidupan dan warisan.

            Dalam memenuhi kebutuhannya, Orang Bajau melakukan kegiatan “Mamia Kadilao” yang berarti mencari ke laut, yang dimaksudkan untuk mencari sumber daya sebagai bahan pangan di laut. Selama pelaksanaan kegiatan Mamia Kadilao, terdapat sejumlah larangan yang harus dipatuhi baik oleh para nelayan yang sedang melaut maupun keluarga yang berada di rumah. Larangan-larangan ini memiliki nilai ekologis yang penting, antara lain tidak boleh membuang air cucian tripang, sisa arang, abu dapur, air bekas cabai atau jahe, serta tidak diperkenankan mencuci peralatan masak di wilayah perairan laut dan air cucian maupun bahan-bahan tersebut hendaknya ditampung kemudian dibuang di daratan. Larangan-larangan itu mencerminkan kesadaran ekologis masyarakat Bajau, karena pembuangan limbah tersebut ke laut dapat menyebabkan pencemaran dan mengganggu keseimbangan ekosistem, termasuk kehidupan berbagai biota laut seperti ikan, kepiting, kerang, dan lainnya. Masyarakat Bajau juga masih meyakini bahwa kumpulan terumbu karang merupakan tempat bersemayamnya roh para leluhur mereka. Karena itu, mereka menjaga kelestarian terumbu karang adapun mereka kerap melarang anggota keluarga untuk menangkap ikan di area tersebut sebelum menjalankan ritual tertentu terlebih dahulu. Kegiatan tersebut menunjukkan wujud kepedulian masyarakat Bajau dalam melindungi ekosistem laut yang menjadi ruang hidup mereka.

Baca Juga  “Nyanyian Owa dan Langkah Para Penjaga Hukum”

            Pada era modernisasi ini terdapat beberapa pergeseran budaya, begitupun juga masyarakat bajau yang tergerus karena reklamasi dan aktivitas pertambangan mineral atau pengeboran minyak serta godaan akan kemudahan hidup di daratan. Konflik-konflik tersebut telah banyak termuat dalam tulisan dan berita yang lebih sering kita abaikan. Sebagai Negara Maritim yang besar, Republik Indonesia hendaklah tidak hanya mengakui keberadaan suku Bajau sebagai bagian NKRI namun harus dapat menjaga eksistensi akan kehidupan luhur masyarakat Bajau terhadap laut juga sebagai contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk menghormati laut yang merupakan 2 (dua)/per 3 (tiga) wilayahnya adalah perairan.

            Kita dapat belajar untuk melakukan hal itu dari Negara Jepang. Dalam menghadapi tekanan terhadap ruang hidup tradisional, Jepang menjaga komunitas pesisirnya melalui model Funaya di Desa Ine, Kyoto. Funaya adalah rumah tradisional berbentuk panggung yang berdiri di atas air, berfungsi sekaligus sebagai hunian dan tempat menyimpan perahu. Kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai warisan budaya nasional, disertai penerapan zonasi khusus serta perlindungan hukum. Dengan mengadopsi prinsip Rights, Restrictions, Responsibilities (RRRs), Funaya berhasil menjaga identitas budaya sambil mendorong keberlanjutan lingkungan dan ekonomi berbasis ekowisata. Model tersebut membuktikan bahwa pelestarian budaya dan alam dapat berjalan seiring dan saling menguatkan, asalkan dirancang melalui regulasi yang adaptif, inklusif, dan berkeadilan.

            Walaupun suku bajau hidup secara nomaden namun itu bukanlah suatu hambatan, melainkan sebuah keuntungan karena suku bajau dapat menjaga dan melestarikan ekosistem laut tersebut di beberapa spot/titik perairan Indonesia yang luas sesuai dengan kebiasaan mereka. Bahwa dari Suku Bajau kita dapat mempelajari hal-hal kecil namun sangat bermakna bagi lingkungan yang hendaknya dapat disebarluaskan kepada banyak orang karena satu perubahan baik akan menciptakan banyak perubahan baik lainnya. Dan dari penghormatan terhadap Ekosistem tersebut penulis memaknai jika mencintai bukan hanya memiliki namun yang terpenting adalah menjaga dan memeliharanya. Maka jika kita mencintai alam, alam pun akan mencintai kita.

Baca Juga  Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar
Firzi
Firzi Ramadhan, S.H. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Redeb

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI

lingkungan
Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Demo
Top Posts

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB

Putusan yang Tak Bisa Dibacakan di Surga

26 November 2025 • 13:48 WIB

BSDK MA Gelar Pelatihan Filsafat Hukum untuk Hakim: Kelas Eksklusif Bagi Para Pencari Makna Keadilan

25 November 2025 • 12:16 WIB
Don't Miss

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

By Redpel SuaraBSDK28 November 2025 • 20:01 WIB

Di ufuk utara Nusantara, Pulau Weh berdiri seperti batu karang agung yang sejak abad ke-16…

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Hubungi Kami

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

Kategori
Beranda Artikel Berita Features Sosok
Filsafat Roman Satire SuaraBSDK Video
Connect With Us
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3 Logo 3
Logo 4 Logo 4 Logo 4 Logo 5 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.