Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Home » Pergeseran Paradigma Filosofis dalam Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia
Artikel

Pergeseran Paradigma Filosofis dalam Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia

“Manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat” (Immanuel Kant)
25 November 2025 • 09:28 WIB8 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Pendahuluan

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan pidana Indonesia telah mengalami transformasi sosial dan politik yang mendalam. Dalam empat dekade terakhir, tuntutan terhadap perbaikan fundamental dalam penegakan hukum semakin menguat, terutama yang berakar pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, keadilan substantif, dan penemuan kebenaran yang bermartabat. RKUHAP, yang secara konsisten diwacanakan dan diperdebatkan, akhirnya pada tanggal 18 November 2025 resmi disahkan. Pembaruan KUHAP tidak hanya menyentuh aspek prosedural semata, tetapi juga menandai pergeseran paradigma filosofis yang signifikan dari model retributif-positivistik menuju pendekatan yang lebih humanis.

Kebaruan Pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Paradigma filosofis yang mendasari KUHAP 1981 sebagian besar adalah model peradilan pidana adversarial yang sangat menekankan pada pembuktian formal dan kepastian hukum. Meskipun ia adalah transformasi ke arah yang lebih baik dari sistem peradilan pidana kolonial, pada praktiknya sering kali terjebak dalam formalisme hukum, di mana tujuan utama proses peradilan pidana adalah menjatuhkan pidana sebagai pembalasan (retributif) atas kesalahan pelaku tindak pidana yang dibuktikan secara hukum positif. Di sisi lain, korban kerap kali hanya menjadi saksi, bukan subjek yang dipandang penting memiliki hak pemulihan. Negara, melalui aparat penegak hukumnya, mendominasi proses, dan peradilan pidana seolah-olah menjadi urusan antara negara melawan pelaku, bukan antara korban, pelaku, dan masyarakat.

Perubahan paling fundamental dalam kerangka pikir KUHAP yang baru adalah penguatan prinsip Due Process of Law yang diimbangi dengan paradigma Keadilan Restoratif. Keadilan Rehabilitatif, dan Keadilan Korektif agar menyelaraskan paradigma KUHP Nasional. Secara filosofis, hal tersebut merupakan perwujudan transisi dari pandangan bahwa “kejahatan adalah pelanggaran terhadap negara” menjadi “kejahatan adalah pelanggaran terhadap individu dan sistem sosial.”

Pada spektrum yang lain, penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, merupakan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab spesifik dari setiap aktor dalam sistem peradilan pidana (SPP). Secara filosofis dan yuridis, diferensiasi ini didasarkan pada prinsip trias politica dan check and balance. Adapun tujuan utamanya ialah mencegah tumpang tindih kewenangan yang dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan memastikan bahwa setiap tahapan proses pidana (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses peradilan) dilaksanakan oleh otoritas yang paling kompeten.

Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan sinergitas dalam proses penegakan hukum, mulai dari tahap awal hingga penuntutan. Pembaharuan ini merasionalisasi kewenangan masing-masing aparat sesuai fungsi utamanya. Dengan demikian, reformasi kelembagaan ini adalah langkah strategis untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada hasil yang adil, melalui pembagian peran yang jelas dan koordinasi yang efektif.

Kebaruan KUHAP secara eksplisit mengakui kebutuhan akan perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, dan orang lanjut usia. Pengakuan ini didasarkan pada prinsip keadilan substantif, yang menegaskan bahwa kesamaan di hadapan hukum harus diterjemahkan menjadi perlakuan yang adil, yang mengakomodasi kerentanan spesifik setiap kelompok. Tujuannya adalah memastikan bahwa proses peradilan tidak menjadi sumber viktimisasi sekunder atau traumatisasi tambahan.

Secara terperinci, terjadi penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan. Hal ini merupakan internalisasi terhadap Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Perlindungan ini mencakup penyediaan akomodasi yang layak (reasonable accommodation), seperti juru bahasa isyarat, fasilitas yang aksesibel, dan prosedur pemeriksaan yang disesuaikan untuk menjamin bahwa mereka dapat berpartisipasi dan memahami proses hukum secara penuh tanpa hambatan diskriminatif.

Baca Juga  Kelindannya Putusan, Struktur Cerita, dan Ongkos Mahal sebuah Kemudahan

Kebaruan-kebaruan ini secara kolektif mengindikasikan pergeseran paradigma KUHAP, dari sistem yang didominasi oleh kekuasaan negara menuju sistem yang menempatkan martabat dan hak individu, terutama yang rentan, sebagai prioritas tertinggi.

Kebaruan pada KUHAP juga memperkenalkan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah (plea bargaining) dan perjanjian penundaan penuntutan korporasi (deferred prosecution agreement). Jika berbicara mengenai plea bargaining, secara prosedural mekanisme ini memungkinkan terdakwa untuk mengakui kesalahannya sebagai imbalan atas keringanan hukuman. Tujuannya adalah untuk modernisasi hukum acara pidana guna mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

Sedangkan, penundaan penuntutan korporasi adalah mekanisme yang memberikan opsi kepada jaksa untuk menunda penuntutan terhadap korporasi jika syarat-syarat tertentu (misalnya, pembayaran ganti rugi atau restitusi kepada korban, pelaksanaan program kepatuhan hukum atau perbaikan tata kelola korporasi yang anti-korupsi, kewajiban pelaporan dan kerja sama dengan penegak hukum selama proses penundaan penuntutan, atau  tindakan korektif lainnya yang dianggap perlu oleh Penuntut Umum) dipenuhi. Tujuannya adalah menyeimbangkan penegakan hukum dengan dampak ekonomi dan sosial dari pembubaran atau penuntutan korporasi secara total.

KUHAP baru memperjelas pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang selama ini sering kali mengalami ambiguitas. Kebaruan ini mengakomodasi fakta bahwa tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan lingkungan sering dilakukan oleh subjek hukum korporasi, bukan hanya individu. Aturan ini memungkinkan penegak hukum untuk memproses dan menjatuhkan sanksi yang spesifik (denda, pencabutan izin, pembubaran) langsung kepada badan hukum tersebut, memastikan prinsip keadilan ditegakkan pada tingkat kelembagaan.

Tak kalah penting, KUHAP baru secara tegas mengatur hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan. Adanya pengaturan restitusi dan kompensasi menegaskan pandangan bahwa keadilan harus mencakup pemulihan kerugian materiil dan immateriil korban. Korban berhak mendapatkan ganti rugi (restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara jika pelaku tidak mampu). Sedangkan pengaturan mengenai Rehabilitasi menekankan pada pemulihan nama baik dan kondisi fisik/psikologis korban dan pihak yang tidak bersalah. Pengaturan ini menempatkan korban sebagai subjek yang haknya harus diprioritaskan.

Pergeseran filosofis yang progresif lainnya adalah diadopdsinya konsep keadilan restoratif secara eksplisit dalam tatanan hukum acara pidana. Jika KUHAP 1981 hanya berfokus pada keadilan retributif—memandang sanksi sebagai sarana utama untuk memulihkan ketertiban sosial. Sebaliknya, KUHAP baru menegaskan pentingnya pengaturan keadilan restoratif  yang berfokus pada perbaikan kerugian yang dialami korban, serta mengutamakan reintegrasi sosial.

Secara filosofis, keadilan restoratif mengakui bahwa pidana penjara, meskipun perlu, sering kali gagal memulihkan kerusakan yang sesungguhnya terjadi dan justru memperburuk masalah sosial melalui stigma dan residivisme. Pendekatan keadilan restoratif dalam KUHAP baru mencerminkan pandangan bahwa korban tidak lagi dipandang hanya sebatas tumpukan berkas perkara, tetapi menjadi pihak sentral yang suaranya didengar dan kebutuhannya dipertimbangkan. Penerapan keadilan restoratif di tingkat penyidikan dan penuntutan, terutama untuk tindak pidana ringan, menggarisbawahi filosofi ultimum remedium (hukum pidana sebagai upaya terakhir). Hal tersebut merupakan wujud pergeseran dari over-criminalization menuju penyelesaian konflik dengan menjaga martabat manusia (human dignity).

Baca Juga  Ketika Hak Jadi Milik Negara : Tragedi Maling Beras dan membaca riuh Ijazah Jokowi

Pergeseran filosofis yang telah diuraikan oleh Penulis di atas turut memengaruhi modernisasi teknis dalam proses peradilan. KUHAP baru telah mengakomodasi proses persidangan jarak jauh melalui sarana elektronik (teleconference) dan penggunaan alat bukti elektronik secara lebih jelas. Secara filosofis, langkah ini mencerminkan komitmen terhadap prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang merupakan inti dari efisiensi peradilan, tanpa mengorbankan kualitas pembuktian.

Salah satu prinsip paling fundamental dan esensial yang telah diadopsi KUHAP baru adalah exclusionary rules (aturan pengecualian alat bukti). Hal ini merupakan pengejawantahan prinsip due process of law yang menuntut agar negara, melalui aparat penegak hukumnya, tunduk pada hukum dalam upaya pencarian kebenaran.

Exclusionary rules adalah prinsip dalam hukum acara pidana yang mengesampingkan alat bukti yang diperoleh oleh aparat penegak hukum melalui cara-cara yang melanggar hukum atau hak asasi manusia. Prinsip tersebut, dibungkus dengan metafora “the fruit of the poisonous tree” yang bermakna alat bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah tidak dapat digunakan.

Adapun tujuan dari pengaturan exclusionary rules secara tegas, guna mencegah lembaga peradilan menjadi institusi yang melegitimasi kejahatan negara (pelanggaran hukum oleh aparat) dengan menolak menerima bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah, mendorong aparat penegak hukum untuk mengumpulkan alat bukti dengan mematuhi prosedur hukum yang telah diatur, dan melindungi hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi.

KUHAP baru telah memastikan bahwa due process of law tidak hanya menjadi frasa dan slogan semata, tetapi terwujud melalui ketentuan yang memaksa aparat penegak hukum untuk menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai koridor hukum, menjamin bahwa keadilan ditegakkan bukan hanya dari apa yang ditemukan, tetapi juga dari bagaimana hal tersebut ditemukan.

Menuju Keadilan Substantif

Pembaruan KUHAP, jika dipandang dari perspektif filosofis, adalah upaya besar untuk menggeser landasan peradilan pidana Indonesia dari model yang kaku, retributif, memandang pihak yang berperkara hanya sebatas tumpukan berkas, yang berorientasi pada kepastian formal, menuju model yang lebih fleksibel, humanis, dan restoratif, yang berorientasi pada keadilan substantif.

Pergeseran ini membawa risiko dan tantangan, terutama dalam hal kesiapan sumber daya manusia (aparat penegak hukum) yang harus mengubah pola pikir dominan law and order yang tersemat di dalam paradigma crime control model menjadi pola pikir yang menjunjung tinggi martabat manusia (Human Dignity) yang terpatri di dalam paradigma Due Process of Law. Pada akhirnya, lahirnya pembaruan KUHAP diharapkan bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang bukan hanya menghukum, tetapi juga memulihkan, mendamaikan, dan memperkuat kembali tatanan sosial. Reformasi ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa keadilan di Indonesia tidak hanya sebagai slogan semata, tetapi juga dapat dirasakan, di mana martabat setiap individu, dikonstruksikan sebagai nilai tertinggi.

Daftar Referensi

Arief, Barda Nawawi. (2007). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media.

Kant, Immanuel. (1996). Groundwork for the Metaphysics of Morals. Cambridge University Press.

Mertokusumo, Sudikno. (2006). Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty

Muladi. (2002). Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Undip.

Zehr, Howard. (2015). The Little Book of Restorative Justice (Revised and Updated). Good Books.

Syailendra
Syailendra Anantya Prawira, S.H., M.H. Hakim Pengadilan Negeri Bantaeng

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI

artikel
Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Demo
Top Posts

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB

Putusan yang Tak Bisa Dibacakan di Surga

26 November 2025 • 13:48 WIB

BSDK MA Gelar Pelatihan Filsafat Hukum untuk Hakim: Kelas Eksklusif Bagi Para Pencari Makna Keadilan

25 November 2025 • 12:16 WIB
Don't Miss

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

By Redpel SuaraBSDK28 November 2025 • 20:01 WIB

Di ufuk utara Nusantara, Pulau Weh berdiri seperti batu karang agung yang sejak abad ke-16…

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Hubungi Kami

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

Kategori
Beranda Artikel Berita Features Sosok
Filsafat Roman Satire SuaraBSDK Video
Connect With Us
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3 Logo 3
Logo 4 Logo 4 Logo 4 Logo 5 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.