Close Menu
Suara BSDKSuara BSDK
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Instagram YouTube
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Suara BSDKSuara BSDK
Deskripsi Gambar
  • Beranda
  • Artikel
  • Berita
  • Features
  • Sosok
  • Filsafat
  • Roman
  • Satire
  • Video
Home » Mengakrabi Laut dari Tragedi, Fiksi, hingga Mistikisme
Artikel

Mengakrabi Laut dari Tragedi, Fiksi, hingga Mistikisme

18 November 2025 • 08:32 WIB9 Mins Read
Share
Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Kuda-kuda, ratusan jumlahnya, seperti berlarian di dasar dada saya. Kepanikan membuat jantung saya terpompa kelewat buru-buru.

Dan semua perlahan mulai lindap. Sisa napas seolah sia-sia belaka.

Syukur, ketidakberdayaan masih bernasib mujur. Tangan kanan saya berhasil meraih ban karet yang entah datangnya. Sekonyong-konyong tarikan Ibu menyeret tubuh kecil saya ke darat, lalu ditelentangkan di atas pasir di bibir pantai.

Sebuah pengalaman pahit, lagi menakutkan. Andai tidak ada ban karet, bisa jadi tamasya saya kebablasan hingga ke alam baka. Pada masa itu, saya berusia tujuh tahun. Sebagai ingusan kampung yang sedang tamasya ke Jakarta, betapa senang ketika Paman membawa kami sekeluarga jalan-jalan ke Pantai Ancol, meski akhirnya nyaris mati konyol.

Ancol adalah wahana air pertama di tengah rasa ketertarikan saya perihal bagaimana cara berenang. Arkian, atas kejadian nahas itu, saya seperti dikutuk tak bisa berenang sampai sekarang.

Sekembalinya ke kampung, bertahun-tahun tak pernah saya datangi laut mana pun, meski terbilang dekat dengan pesisir pantai selatan. Kunjungan saya ke laut barulah terjadi di masa kuliah, tiga belas tahun setelah peristiwa itu. Akan tetapi, toh dewasa berserta sempalan-sempalannya memang muskil dihindari. Usai lolos seleksi pegawai negeri, tak cuma mengunjungi, bahkan saya harus mengakrabi laut. Sebagai misal, di Mamuju, jarak gedung kantor dengan bibir laut tak kurang dari 150 meter. Bila menyusuri jalan arteri, sepanjang 5 kilometer pendengaran saya akan jelas menangkap debur-debur ombak, sebab jarak antara jalan arteri dengan laut terpisah 15 meter saja.

Bagi ukuran saya, geografis tersebut sudah cukup mendeskripsikan betapa intimnya saya dan laut.

Saya berziarah ke ingatan bulan-bulan awal di sana, yaitu ketika Mamuju diguncang gempa berkekuatan 5.8 SR dengan kedalaman 10 kilometer pada 22 Juni 2022. Orang-orang sekitar masih diliputi trauma gempa 6.2 SR yang terjadi setahun lalu. Sebab itulah manakala gempa datang lagi, suasana di kota bagai pasir yang diayak-ayak. Tunggang-langgang mereka lari mencari tempat aman di atas bukit.

Kecuali kami, orang-orang kantor.

Sesudah guncangan mereda, Ketua PA Mamuju langsung memberi instruksi untuk mendirikan tenda darurat di halaman, lalu meminta para pegawai bermalam bersama di tenda itu demi berjaga-jaga terhadap gempa susulan. Klerek-klerek macam kami ini sudah galibnya menurut saja. Tatkala malam tiba, saya berbincang-bincang dengan Taslim, seorang kawan sesama pegawai. Dasar dia gemar berkelakar, saya baru ngeh situasi ketika dia bilang begini, “Biar mi orang-orang naik ke bukit, kita di sini saja menunggu tsunami datang.” Lalu tawa pecah di antara kami.

Tidak salah juga, sebab kalau dipikir-pikir 150 meter bukanlah jarak yang sulit bagi gelombang laut untuk menjilat tenda darurat kebanggan kami.

Berlayar dan Harga Diri

Waktu pun terpelesat. Hari-hari sudah itu, semua kekhawatiran tidak pernah terjadi. Saya tetap menikmati apa pun yang tersedia di Mamuju: bekas reruntuhan gempa, mal yang rusak, gedung-gedung retak, sampai festival perahu sandeq.

Nenek moyangku orang pelaut

Gemar mengarung luas samudera

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa

Angin bertiup layar terkembang

Ombak berdebur di tepi pantai

Pemuda berani bangkit sekarang

Ke laut kita beramai-ramai

Di Provinsi Sulawesi Barat, setiap tahun rutin diadakan festival perahu sandeq. Kiranya lagu gubahan Ibu Sud di atas layak diketengahkan sebagai mukadimahnya. Lagu yang melempar kita pada akar bahari nusantara. Sandeq adalah perahu tradisional suku Mandar, suku pesisir wilayah Sulawesi Barat. Dalam khazanah, suku Mandar masyhur sebagai pelaut andal.

Pada tahun 2023 lalu, sebanyak 36 perahu sandeq berlomba menyusuri laut dan ombak menggunakan perahu-perahu kayu berpenggerak layar, bukan mesin. Rutenya ditaksir sepanjang 700 kilometer, dengan titik berangkat dari Pasangkayu, lalu Mamuju, Majene, dan berakhir di Polewali Mandar.

Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak takjub. Meski hanya festival dan bersifat insidentil, barang tentu tradisi perahu sandeq menjaga ingatan tentang muasal moyang kita yang sudah kawin-mawin dengan bahari. Ekspedisi maritim zaman lampau tak terbatas pada urusan ikan-ikan, melainkan rihlah hidup menuju suaka baru. Bahkan, tidak berlebihan pula kalau kita mengamini ketangguhan berlaut para moyang yang menyentuh hal-ihwal muruah serta harga diri.

Baca Juga  Etika Publik, Integritas Hakim, dan Fair Trial: Fondasi Moral dalam Penegakan Keadilan

Laut dalam Dunia Rekaan

Sejenak boleh kita tinggalkan alam nyata, berganti membincang laut dalam semesta fiksi.

Herman Melville, penulis asal Amerika Serikat, terpaksa melaut demi bertahan hidup setelah kematian ayahnya. Merville menulis novela Moby Dick pada tahun 1950-1951. Roman itu berkisah perjalanan tokoh Ishmael bergabung bersama kapal pencari ikan paus yang dipimpin Kapten Ahab.

Melville mengemas cerita secara padat namun kaya konflik. Selain tantangan alam, Ishmael juga harus berhadapan dengan karakter-karakter kru kapal yang mulai menyadari obsesi gila bosnya. Kapten Ahab telah kehilangan satu kaki, sehingga ia memakai kayu sebagai gantinya.

Berbulan-bulan kapal itu berlayar, dan tangkapan paus sudah pula mencapai target. Namun Kapten Ahab bersikeras untuk terus berlayar mencari paus putih yang ia namai Moby Dick. Akhirnya Ishmael tahu bahwa keinginan itu berasal dari bara dendam Kapten Ahab terhadap paus putih dalam pertempuran lama mereka yang telah membuat kaki sang kapten lenyap. Celakanya, perjuangan itu mau tidak mau menyebabkan nyawa kru kapal tidak lagi berharga.

Berjalan waktu keadaan kian bancuh dan genting. Momen pertarungan Kapten Ahab melawan Moby Dick bakal diingat Ishmael sepanjang hidupnya. Belasan tombak yang tertancap di tubuh binatang itu mengubah laut berkubang merah. Tapi Moby Dick tetap gigih melawan. Ia seolah paham kepada siapa amarahnya harus dialamatkan. Dan akhirnya semuanya berakhir ketika temali tombak melilit leher Kapten Ahab. Paus putih membawa jasad sang kapten ke kuburan di dasar samudera.

Jika Herman Melville memotret laut dari sudut pandang sifat manusia tamak, maka dua tahun sesudahnya yakni 1953, Ernest Hemingway merekam perjuangan dari seorang lelaki tua.

Dalam novel The Old Man and The Sea, tokoh Santiago adalah nelayan tua yang menyedihkan. Ia menanggung cemooh dari orang-orang karena selama delapan puluh empat hari melaut tak satu pun ikan berhasil dibawa pulang. Mulanya ekspedisi ikan itu ditemani Manolin. Namun setelah puluhan hari tak mampu menangkap seekor pun ikan, orang tua Manolin melarangnya membantu Santiago.

Pertarungan Santiago hingga hari ke delapan puluh empat hanyalah dengan dirinya sendiri. Di atas kapal di tengah laut lepas, Hemingway membingkai perilaku Pak Tua yang gigih. Sehari berselang kailnya disambar mangsa. Yang tak sempat disangka oleh Santiago, perihal apa yang kini tersangkut di kail. Seekor marlin raksasa berukuran melebihi kapalnya.

Pak Tua tetap berusaha keras berhari-hari menarik marlin itu. Sesekali justru kapalnya-lah yang terseret marlin. Pada ujung waktu ketika marlin mulai menyerah, masalah baru muncul dari hiu-hiu yang menggerogoti tubuh ikan marlin.

Santiago tugur dan bekerja kerasa untuk membawa pulang kehormatannya. Anggapan buruk orang-orang terhadapnya ingin dibayar lunas tak berbekas.“Seluruh tubuhnya tampak tua, kecuali sepasang matanya yang warnanya bagai laut serta cerah dan tak kenal menyerah (hlm. 2).”

Tekad yang ulet dalam diri Pak Tua Santiago sukses menggugah pembaca. Dan apa yang akhirnya terjadi di penghujung novel? Ya, begitu Santiago berhasil menepi, monster marlin itu hanya tersisa tulang-belulang. Perjalanan pulang yang melelahkan membuat tubuh marlin raib.

Membaca Moby Dick adalah membaca watak serakah manusia. Di mana eksploitasi menjadi satu-satunya motif industri alam bahari. Kita mengenal Kapten Ahab sebagai pemimpin orotiter bagi anak buahnya, yang tidak menganggap penting nasib mereka sama sekali. Sikap demikian toh berakibat pada kehancuran dirinya sendiri, yaitu kematian.

Sedangkan dalam diri Santiago, Ernest Hemingway melalui The Old Man and The Seaingin menunjukkan sosok yang kesatria, yang berjuang sampai titik penghabisan meski harus dilandasi krisis percaya diri dan demi pemulihan martabat. Sekalipun ikan marlin yang ditangkap Santiago sudah tak wujud utuh lagi, namun rangka belulangnya telah membuat orang-orang takjub.

Baca Juga  Keshalehan Diri Pribadi dan Keadilan Sosial

Secara teoretis saya tak paham landasannya, namun secara praktik, pembacaan terhadap fiksi seringkali menimbulkan sebuah ‘gangguan’ mendalam. Refleksi atas novela Moby Dick dan novel The Old Man and The Seadi atas setidaknya contoh sederhana yang mampu saya tulis tentang laut dan sejumlah hal yang bersinggungan dengannya.

Rob di Pantura

Saya pernah begitu dekat dengan laut bukan sebatas harfiah. Sering kali saya dan istri saya pergi sekadar duduk-duduk di pinggir jalan arteri memandangi lautan. Kami berbincang tentang hari itu, atau tentang hari kemarin atau selumbari yang belum selesai dibicarakan.

Tetapi ketika saya harus meninggalkan Mamuju untuk pindah ke Semarang, tidak ada lagi ingatan-ingatan baru perihal laut kecuali banjir rob. Daerah terawan terkena rob adalah jalur pantura Semarang-Demak, persisnya di Kecamatan Sayung.

Penurunan muka tanah yang ekstreme berakibat mudahnya wilayah itu terkena banjir rob. Menurut data, dalam kurun sepuluh tahun (2010-2021), tanah di wilayah pantura mengalami penurunan lebih cepat hingga 9 kali lipat dibanding tingkat kenaikan permukaan laut global. Di Jakarta, misalnya, penurunan muka tanah berkisar antara 1-28 cm per tahun, Semarang sendiri menunjukkan angka 14-19 cm per tahun.[1]

Kendati tak ada rencana untuk menetap di Jakarta, saya selalu jeri mengingat penelitian Nature Communications dan LIPI (sekarang BRIN) yang mengatakan Jakarta bakal tenggelam di tahun 2050 mendatang.

Dalam artikel yang sama, masalah rob di pesisir pantura ini sudah mendapat perhatian serius pemerintah pusat. Presiden Prabowo menegaskan untuk memulai megaproyek Giant Sea Wall. Tanggul raksasa itu sedianya dibangun membentang sepanjang 500 kilometer dari Tangerang (Banten) hingga Gresik (Jawa Timur). Upaya pemerintah mesti diapresiasi, tentu saja. Walakin tidak membendung masukan-masukan dari unsur lain yang lebih merekomendasikan resolusi berbasis alam, seperti konservasi ekosistem mangrove.

Warga Magunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, membentuk Kelompok Mangrove Lestari untuk pelestarian mangrove berbasis komunitas. Inisiasi dimulai oleh sepasang suami-istri yang sehari-hari bekerja sebagai petambak dan pencari kepiting. Kesadaran adiluhung itu dilatarbelakangi kekhawatiran sepele, sebatas tidak mau garis pantai terus-terusan mendekat ke kampung mereka, yang pada waktunya bisa menyebabkan banjir rob.[2]

Dan, begitulah hari-hari saya di Semarang. Kalau cuaca terik, perpaduan antara lokasi gedung kantor yang berada persis di pinggir jalur pantura dengan deru truk logistik bermuatan besar, saya merasa kecipratan tulah lahar sangking panas dan semerawut. Kalau cuaca hujan, bercurah sedang, lebih-lebih berlangsung lama, di beberapa titik sudah pasti tergenang banjir.

Mistikisme Bahari

Sebelum mencukupkan tulisan ini, saya mengingat pembacaan saya terhadap cerpen Sebatang Aren Sebatang Kara karya YM. Syamsul Arief. Takhayul itu memang masih diyakini banyak orang. Di lain sisi, siasat moyang seakan tak habis akal, demi sebatas memastikan alam tetap autentik dan lestari adanya.

Usai mengikuti kisah Kara, syahdan mengetik tulisan ini, saya merasai pelita muncul dalam kepala saya, walau temaram. Jika kelak pelita itu toh akhirnya padam, saya sungguh berharap ingatan-ingatan bahari saya tetap terjaga. Mulai peristiwa hampir mati di Pantai Ancol, menyaksikan perahu-perahu sandeq suku Mandar yang gagah berlayar, mengingat kecamuk Kapten Ahab dan Pak Tua Santiago di belantara laut, banjir rob di jalur pantura, hingga para jin penunggu alam: jin pohon aren BSDK, Nyi Roro Kidul di pantai selatan, dan Dewi Lanjar di sepanjang pantai utara.

Arkian, untuk urusan jaga-menjaga ekosistem, satu-dua kali, yang wujud bahkan perlu dibantu-ingatkan oleh mereka yang gaib.


[1] Seftyana Khairunisa, “Ambisi Pembangunan Giant Sea Wall di Pantura dan Dampak Yang Harus Diantisipasi”, Green Network, 30 Juni 2025, https://greennetwork.id/gna-knowledge-hub/ambisi-pembangunan-giant-sea-wall-di-pantura-dan-dampak-yang-harus-diantisipasi/ (diakses pada 14 November 2025).

[2] Balqis Anindita Jawza Quraisy, “Menengok Inisiatif Restorasi dan Pelestarian Mangrove berbasis Komunitas di Semarang”, Green Network, 8 September 2025, https://greennetwork.id/gna-knowledge-hub/menengok-inisiatif-restorasi-dan-pelestarian-mangrove-berbasis-komunitas-di-semarang/ (diakses pada 13 November 2025).

Indarka PP
Indarka PP Hakim Pengadilan Agama Tanah Grogot

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI

artikel mangrove
Share. Facebook Twitter Threads Telegram WhatsApp

Related Posts

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

28 November 2025 • 20:01 WIB

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB
Demo
Top Posts

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB

Putusan yang Tak Bisa Dibacakan di Surga

26 November 2025 • 13:48 WIB

BSDK MA Gelar Pelatihan Filsafat Hukum untuk Hakim: Kelas Eksklusif Bagi Para Pencari Makna Keadilan

25 November 2025 • 12:16 WIB
Don't Miss

Pulau Weh: Riwayat Tentang Ombak, Batu Karang, dan Para Pengembara

By Redpel SuaraBSDK28 November 2025 • 20:01 WIB

Di ufuk utara Nusantara, Pulau Weh berdiri seperti batu karang agung yang sejak abad ke-16…

Pray for Sumatera — Doa, Empati, dan Solidaritas untuk Saudara Kita yang Terdampak Bencana

28 November 2025 • 16:42 WIB

JEJAK API YANG TAK BISA BERBOHONG

27 November 2025 • 15:05 WIB

Menjalin Jejak Kolaborasi Hijau: BSDK dan Departemen Kehakiman AS Bahas Kerja Sama Pelatihan Penegakan Hukum Satwa Liar

26 November 2025 • 19:14 WIB
Stay In Touch
  • Facebook
  • YouTube
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Twitter
  • Instagram
Top Trending
Demo
Hubungi Kami

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539

Kategori
Beranda Artikel Berita Features Sosok
Filsafat Roman Satire SuaraBSDK Video
Connect With Us
  • Instagram
  • YouTube
  • WhatsApp
Aplikasi Internal
Logo 1 Logo 2 Logo 3 Logo 3
Logo 4 Logo 4 Logo 4 Logo 5 Logo 5

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.