Megamendung, 2 Oktober 2025 – Pokja Mediasi Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Ketua Kamar Pembinaan, YM. Syamsul Maarif, S.H., LL.M., Ph.D., mengadakan diskusi dengan Federal Court of Australia (FCA) di Ruang K.9 Pusdiklat MA pada pukul 14.00 WIB. Pertemuan ini diselenggarakan dalam rangka pembaharuan peraturan Mediasi di Pengadilan.
Dalam paparannya, YM. Tuakabin menyampaikan bahwa Mahkamah Agung (MA) telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan efektivitas mediasi, termasuk membentuk Pokja Mediasi sejak 2016. Namun, hasil yang dicapai hingga kini masih belum menggembirakan. Beliau menekankan perlunya memperhatikan sejumlah faktor mulai dari regulasi, sumber daya manusia, hingga budaya masyarakat. Untuk itu, MA merasa penting belajar dari keberhasilan negara lain salah satunya Australia yang memiliki tingkat penyelesaian perkara melalui mediasi cukup tinggi.

Kegiatan ini dihadiri oleh Pokja Mediasi, Hakim Agung YM. Dr. Pri Pambudi Teguh, S.H., M.H., Hakim Agung YM. Agus Subroto, S.H., M.Kn., Kepala BSDK Dr. H. Syamsul Arief, S.H., M.H., serta para Hakim Yustisial BSDK yang juga merupakan pengajar Diklat Mediator. Dari Federal Court of Australia (FCA) hadir Mr. Timoty Loctton yang menjabat sebagai Judicial Registrart dan Mr. Martin C (Program Manager FCA).
Timoty yang merupakan mediator berpengalaman menyampaikan bahwa di Australia setiap tahunnya tingkat keberhasilan penyelesaian perkara melalui mediasi mencapai 50–70 persen. Keberhasilan tersebut didukung oleh keseriusan para pihak dalam menyelesaikan perkara, dukungan dari para pengacara, peran aktif mediator, serta dukungan dari hakim.
Lebih lanjut, Timoty juga memaparkan proses mediasi yang biasa dijalankan. Pada tahap awal, mediator bertemu dengan para pihak secara terpisah agar mereka merasa nyaman, percaya, dan terbuka menyampaikan permasalahannya. Setelah itu, dilakukan pertemuan bersama dimana mediator menjelaskan proses mediasi secara singkat dan mendorong para pihak untuk menemukan solusi penyelesaiannya secara mandiri. Dalam beberapa kasus, mediator bahkan memberi kesempatan kepada para pihak untuk bertemu dan berkomunikasi tanpa kehadiran mediator. Bila diperlukan, mediator juga dapat mengadakan pertemuan khusus dengan pengacaranya sehingga pengacara turut aktif mendukung tercapainya perdamaian. Mediator tidak perlu terburu-buru mengakhiri atau menyelesaikan mediasi, melainkan mengarahkan para pihak untuk mencapai kesepahaman. Dengan demikian, keinginan berdamai muncul secara alami dari para pihak sendiri.
Menurut Timoty, proses mediasi di Australia tidak dibatasi waktu melainkan disesuaikan dengan kebutuhan para pihak. Meski tidak diwajibkan sebagai prasyarat penyelesaian perkara perdata, mayoritas pihak justru memilih jalur mediasi karena kesadaran sendiri. Dalam perkara niaga, tingkat penyelesaiannya juga cukup tinggi: dari sekitar 2.500 perkara setiap tahun, 300 di antaranya berhasil diselesaikan melalui mediasi. Ditekankan pula bahwa membangun budaya masyarakat yang sadar menyelesaikan sengketa melalui mediasi memerlukan waktu puluhan tahun. Untuk itu, dibutuhkan peran aktif pemerintah dalam mendorong kesadaran dan dukungan terhadap mediasi. Mengakhiri kegiatan, Ketua Pokja Mediasi menyampaikan bahwa dalam waktu dekat Mahkamah Agung akan mengesahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Mediasi untuk menyempurnakan aturan yang telah ada. Pokja berkomitmen untuk terus memasyarakatkan mediasi dan membangun budaya hukum masyarakat, sehingga masyarakat yang berperkara di pengadilan tidak hanya berorientasi pada kemenangan tetapi juga mencari penyelesaian terbaik.
