Bagian Kedua – Cerita Bersambung – D.Y. Witanto
SEPASANG MATA TERDAKWA
Sebelum sidang dimulai, aku menatap sekeliling ruang persidangan yang sudah penuh sesak dengan para pengunjung. Suasana tegang dan penuh harap menyelimuti ruang sidang yang terasa dingin mencekam.
“Penuntut umum, apakah persidangan bisa kita mulai?” tanyaku dengan suara lantang, memecah keheningan.
“Siap, Yang Mulia,” jawab penuntut umum dengan tegas.
“Baiklah kalau begitu, Aku meraih palu sidang dan kuhentakkan ke alas kayu yang ada di atas meja. “Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. Kepada penuntut umum, diperintahkan untuk menghadirkan terdakwa ke depan persidangan.”
Tak lama setelah itu, seorang perempuan muda dibawa masuk oleh seorang petugas kejaksaan. Dia berjalan dengan langkah gontai, wajahnya tertunduk, seolah menghindari tatapan mata para pengunjung sidang.
“Silakan duduk,” kataku.
“Terima kasih, Pak Hakim,” jawabnya pelan, suaranya gemetar hampir tak terdengar.
“Apakah saudari terdakwa dalam keadaan sehat?” “Sehat, Pak,” jawabnya singkat.
“Saudari siap untuk menjalani persidangan ini? Dia menjawab dengan anggukan kepala.
“Nama saudari?” “Indah Wulandari.” “Binti?”
“Binti Sulaeman.”
Sepanjang aku bertanya, entah kenapa, wajah perempuan itu terasa sangat familiar bagiku. Aku menatapnya lebih lama, berusaha untuk mencari tahu dari mana aku pernah mengenal wajahnya.
“Apakah saudari didampingi penasihat hukum?” tanyaku, sambil tetap berusaha fokus.
“Tidak, Pak,” jawabnya pelan.
“Ijin Yang Mulia,” tiba-tiba penuntut umum memotong pembicaraanku. “Terdakwa sebelumnya didampingi penasihat hukum, namun dalam sidang ini belum ditunjuk lagi, karena penasihat hukum sebelumnya mengundurkan diri dengan alasan sakit.”
“Oh begitu,” aku mengangguk paham. “
“Apakah saudari memiliki penasihat hukum sendiri?”
“Saya tidak punya uang untuk membayarnya, Pak,” jawabnya pelan, nyaris suaranya tak terdengar.
“Kalau begitu kami akan menunjuknya dan itu akan menjadi tanggungan negara.”
“Oleh karena terdakwa belum didampingi penasihat hukum, maka persidangan ini harus ditunda untuk menunjuk penasihat hukum terlebih dahulu.” Kalimat itu kemudian diakhiri dengan ketukan palu sidang.
***
Setelah menunda sidang, aku kembali ke ruang kerjaku. Namun, wajah perempuan itu terus membayangi pikiranku. Aku penasaran apa sebenarnya yang terjadi dengan perempuan itu, kuambil berkas perkara yang tergeletak di meja yang tadi sengaja kubawa dari ruang sidang. Aku mulai membaca kalimat demi kalimat uraian dakwaan yang menggambarkan perbuatan si terdakwa. Selama membaca dakwaan tersebut, aku merasa ada yang aneh. Sebagai hakim, aku sudah sering menangani kasus yang serupa, namun kali ini rasanya berbeda. Entah kenapa aku merasa ada yang tak beres dengan uraian dalam dakwaan ini.
Perempuan itu, adalah seorang housekeeper di sebuah Hotel, ia didakwa membunuh seorang tamu hotel karena ketahuan mencuri uang milik korban dan yang membuatku sangat terkejut adalah, ternyata hotel tempat kejadian pembunuhan tersebut adalah hotel tempat aku menginap saat aku pertama kali datang di kota ini.
“Ya Tuhan, berarti terdakwa adalah perempuan yang pernah aku lihat di balkon saat aku menginap di hotel beberapa bulan yang lalu, pantesan aku merasa pernah bertemu dengan perempuan itu.” perasaanku seketika mulai bercampur aduk. Bersamaan dengan itu aku mulai bertanya pada diriku sendiri “bolehkan aku tetap menyidangkan perkara ini sedangkan aku sebenarnya berkualitas sebagai saksi dalam kejadian itu, karena aku menyaksikan sendiri saat kejadian itu terjadi?” Apakah aku harus mengundurkan diri dari perkara ini dan mengajukan diri sebagai saksi?
Aku termenung sambil mengingat-ingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. “Jika dia benar-benar membunuh, mengapa dia berteriak meminta tolong?” Bisikku dalam hati. Kenapa perempuan itu—yang dituduh sebagai pelaku—justru terlihat begitu ketakutan?
“Aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Wajah perempuan itu seperti sedang meminta bantuan, atau bahkan ada sesuatu yang lebih misterius dari apa yang aku ketahui.” Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku, hingga aku tersadarkan oleh suara adzan yang berkumandang.
***
Aku bergegas ke luar dari ruang kerja menuju ke mushola kantor. Saat berjalan menuruni tangga, aku sempat melirik ke arah ruang tahanan yang letaknya tepat di samping kanan tangga ke arah mushola. Tanpa sengaja, mataku menangkap sepasang mata yang sedang menatapku tajam dari balik jeruji besi ruang tahanan. Aku berhenti sejenak, wajah perempuan itu kembali muncul, terbungkus oleh gambaran kesedihan dan ketakutan di wajahnya. Air matanya mengalir perlahan di pipinya, seolah ia sedang memohon belas kasihan dariku.
Tanpa sadar, aku balas menatapnya. Apakah benar dia pelakunya? Ataukah ada sesuatu di balik itu? Pikiranku terus berputar. “Tapi jika dia benar telah membunuh, maka itu adalah konsekuensi yang harus dia hadapi,” gumamku dalam hati, berusaha untuk menenangkan diri.
Aku melanjutkan langkah menuju mushola, berusaha menepis keraguan yang terus menggerogoti pikiranku. Tapi, perasaan itu sulit untuk hilang dari benakku.
“Ya Tuhan, berikan hamba petunjuk untuk mengungkap kebenaran di balik perkara yang sedang hamba tangani ini.”
Bersambung…


