“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
adalah kalimat sakral yang wajib dicantumkan pada setiap putusan hakim di Indonesia. Meski sering dianggap sekadar pembuka putusan, makna filosofis dan historis yang dikandungnya jauh lebih dalam. Irah-irah bukan hanya rangkaian kata, melainkan kompas moral, basis pertanggungjawaban, dan pengingat sumpah jabatan yang mengikat setiap hakim dalam menjalankan kewenangannya. Ia merupakan simbol bahwa setiap putusan bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Beberapa waktu lalu muncul usulan dari salah satu forum advokat yang menginginkan agar hakim diwajibkan membacakan sumpah tambahan sebelum membacakan putusan. Usulan tersebut dibacakan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR pada 10 November 2025 oleh seorang advokat dari Forum Advokat Pembaharuan Hukum Acara Pidana, yang mengajukan rumusan sumpah sebagai berikut:
“Demi Allah, demi Tuhan, saya bersumpah bahwa putusan yang saya bacakan merupakan hasil dari pertimbangan hukum yang objektif dan berdasarkan keadilan tanpa adanya pengaruh atau imbalan dari pihak mana pun serta saya mengambil keputusan ini dengan penuh tanggung jawab dan integritas.”
Sekilas, usulan ini terdengar logis bahwa penegasan sumpah sebelum pembacaan putusan akan memperkuat integritas hakim. Namun jika ditelaah lebih mendalam, usulan tersebut justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap sistem peradilan, khususnya mengenai makna irah-irah dalam putusan dan sumpah jabatan hakim yang selama ini telah mengikat.
Irah-Irah adalah Sumpah yang Hidup, Bukan Sekadar Frasa
Setiap hakim di Indonesia, sebelum menjalankan tugasnya, telah diwajibkan oleh undang-undang untuk mengucapkan sumpah jabatan yang berbunyi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Sumpah ini bersifat melekat pada diri setiap hakim yang memangku jabatan itu seumur hidupnya. Ia bukan sumpah simbolik, melainkan sumpah profesional, etis, dan spiritual. Oleh karena itu, seorang hakim tidak perlu mengulang sumpah tersebut sebelum membaca setiap putusan, sama seperti seorang dokter tidak perlu mengulang sumpah Hipokrates sebelum menangani setiap pasien.
Dalam konteks inilah, irah-irah berfungsi sebagai pengingat sumpah tersebut. Ketika hakim menyatakan, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, ia meneguhkan bahwa putusan yang dijatuhkannya:
- Berlandaskan nilai Ketuhanan;
- Memuat tanggung jawab moral di hadapan Allah SWT baik kepada Tuhan maupun pada dirinya sebagai penerima amanah.
- Menjadi representasi integritas hakim sebagai wakil Tuhan di dunia, yang bertugas menegakkan keadilan tanpa takut, tanpa suap, dan tanpa intervensi.
Dengan demikian, irah-irah bukan hanya kata-kata pemanis putusan. Ia adalah pernyataan sekaligus bentuk sumpah, doa, ikrar, dan pertanggungjawaban etik yang melekat pada setiap putusan hakim.
Mengapa Usulan Penambahan Sumpah Tidak Diperlukan?
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa penambahan sumpa sebelum pembacaan putusan bukan hanya dinilai berlebihan melainkan juga menunjukkan ketidakpahaman terhadap sistem etik dan bentuk pertanggungjawaban hakim dalam menjalankan jabatannya sebagai penjaga keadilan, yaitu:
Pertama, hakim sudah mengucapkan sumpah jabatan secara resmi dan mengikat sepanjang masa pengabdiannya. Sumpah ini bukan sekadar formalitas, melainkan pernyataan moral dan hukum yang melekat seumur hidup. Mengulang sumpah sebelum setiap putusan tidak hanya tidak praktis, tetapi juga berisiko mengosongkan makna sakral dari sumpah itu sendiri.
Kedua, irah-irah yang dibacakan dalam setiap putusan sudah berfungsi sebagai penegasan nilai ketuhanan dan integritas hakim. Ungkapan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan hiasan retoris, tetapi deklarasi bahwa putusan tersebut dibuat dengan kesadaran penuh bahwa hakim mempertanggungjawabkannya bukan hanya di hadapan hukum, tetapi juga di hadapan Tuhan. Fungsi ini, pada hakikatnya, sama dengan tujuan sumpah tambahan yang diusulkan.
Ketiga, prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa hakim harus bebas dari intervensi, tekanan, maupun insinuasi bahwa mereka tidak cukup objektif atau berintegritas. Meminta hakim mengulang sumpah menjelang pembacaan putusan dapat menimbulkan kesan keliru seolah-olah integritas hakim masih harus “dipertanyakan” setiap kali mereka hendak memutus perkara.
Keempat, penambahan prosedur sumpah baru berpotensi mengganggu tatanan hukum acara yang sudah mapan. Baik dalam perkara pidana maupun perdata, struktur acara peradilan telah diatur dengan jelas. Memasukkan ritual tambahan tanpa dasar konseptual dan normatif yang kuat dapat menimbulkan ketidakteraturan prosedural tanpa memberikan manfaat substantif bagi keadilan itu sendiri.
Kelima, sumpah adalah tindakan sakral, bukan rutinitas seremonial. Kekuatannya justru terletak pada bobot moral dan spiritualnya, bukan pada seberapa sering ia diucapkan. Pengulangan berkala dapat menurunkan nilai kesakralan sumpah itu sendiri.
Dengan demikian, usulan advokat tersebut pada dasarnya menggambarkan miskonsepsi terhadap makna irah-irah dan kurangnya pemahaman mengenai sejarah, struktur, dan filosofi pembentukan putusan hakim di Indonesia. Irah-irah bukan sekadar kalimat pembuka melainkan merupakan manifestasi nilai, sumpah, dan moralitas hakim yang sudah melekat jauh sebelum putusan dibacakan.
Sejarah dan Makna Irah-Irah dalam Putusan Hakim Indonesia
Pada masa kolonial, putusan hakim Hindia Belanda selalu dibuka dengan frasa “In naam der Koningin”, yang menandakan bahwa otoritas hakim berasal dari mahkota Belanda. Pada periode ini, irah-irah berfungsi semata-mata sebagai legitimasi politik, tanpa dibingkai oleh nilai moral atau spiritual. Ia adalah penanda kekuasaan kolonial, bukan ekspresi etika peradilan.
Perubahan besar terjadi setelah Indonesia merdeka. Penggunaan irah-irah kolonial dihapuskan dan digantikan oleh frasa “Atas Nama Negara”. Selanjutnya, ketika Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), irah-irah kembali berganti menjadi “Atas Nama Keadilan”, sebagaimana dicatat dalam arsip dan catatan sejarah yang dihimpun oleh Dandapala. Pergeseran ini menunjukkan upaya bangsa Indonesia mencari identitas hukum sendiri, bergerak dari legitimasi kekuasaan kolonial menuju legitimasi rakyat serta orientasi keadilan. Puncak penataan terjadi pada tahun 1970 melalui UU No. 14 Tahun 1970, ketika frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ditetapkan sebagai irah-irah resmi. Ketentuan ini diperkuat kembali oleh UU No. 48 Tahun 2009 yang mewajibkan pencantuman irah-irah pada setiap putusan pengadilan.
Secara filosofis, irah-irah mengandung tiga lapis makna yang membentuk fondasi etika kehakiman Indonesia. Pertama, makna teologis, yakni kesadaran bahwa putusan hakim pada akhirnya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Kedua, makna etis, yang berfungsi mengingatkan hakim pada sumpah jabatannya untuk berlaku jujur, objektif, dan adil. Ketiga, makna yuridis, karena tanpa irah-irah, putusan dianggap tidak memenuhi unsur formil yang diwajibkan undang-undang. Bismar Siregar bahkan menegaskan, sebagaimana dikutip Dandapala, bahwa irah-irah bukan sekadar formula hukum, melainkan doa yang seharusnya direnungkan oleh hakim sebelum mengambil keputusan. Pandangan ini memperlihatkan bahwa irah-irah telah menjadi bagian yang melekat pada moralitas hakim.
Berdasarkan kepada sejarah, filosofi, dan bobot spiritual yang terkandung di dalamnya, menjadi jelas bahwa gagasan untuk menambahkan sumpah baru sebelum pembacaan putusan tidak hanya tidak diperlukan, tetapi berpotensi menutupi makna irah-irah yang sudah sangat mendalam. Dalam frasa singkat itu saja, terkandung nilai keimanan, integritas, kemandirian hakim, serta pertanggungjawaban moral yang jauh melampaui sumpah tambahan yang diusulkan. Irah-irah bukan sekadar kata pembuka, tetapi ikrar yang dihidupkan kembali oleh hakim setiap kali putusan dibacakan menjadi sebuah penegasan bahwa keadilan harus ditegakkan tidak hanya dengan logika hukum, tetapi juga dengan hati dan kesadaran ketuhanan.
Referensi
[1] C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië, Leiden: Brill, 1931.
[2] Satjipto Rahardjo, Sejarah Peradilan di Indonesia, Jakarta: UI Press, 1999.
[3] “Indonesia Pernah Ubah Irah-Irah Putusan, Ini Sejarahnya!“, 18 Maret 2025,
https://dandapala.com/article/detail/indonesia-pernah-ubah-irah-irah-putusan-ini-sejarahnya
[4] Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah. HukumOnline, 12 Juli 2015.
Diakses dari : https://www.hukumonline.com/berita/a/irah-irah–kepala-putusan-yang-bermakna-sumpah-lt55a26de809417/
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI


