Hukum tidak pernah hidup hanya dalam pasal. Ia tumbuh dari moralitas, akal budi, dan denyut kemanusiaan yang menghidupi setiap proses peradilan. Gagasan itulah yang mengalir kuat dalam Pelatihan Filsafat dan Hukum yang diselenggarakan Badan Strategi Kebijakan Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, sebuah forum perenungan mendalam yang bertujuan membentuk Hakim yang tidak hanya cerdas secara hukum, tetapi juga peka terhadap nurani dan nilai.
Pada Rabu, 19 November 2025, sesi ke-8 pelatihan ini menjelma menjadi ruang intelektual yang penuh energi. Sebanyak 219 Hakim Peradilan Umum hadir berdasarkan peminatan, memadati forum yang hangat dengan diskusi, tanya jawab mendalam, dan refleksi filosofis yang jarang muncul dalam rutinitas peradilan.
Sesi ini menghadirkan Prof. Dr. Robertus Robet, M.A. sebagai Narasumber, seorang pemikir publik dan akademisi Universitas Negeri Jakarta yang dikenal kritis, jernih, dan luas dalam memahami hubungan politik, hukum, dan filsafat negara.
Acara dipandu oleh Rikatama Budiyantiye, S.H., M.H., Hakim Yustisial pada Badan Strategi Kebijakan Diklat Kumdil MA RI, yang tampil sebagai Moderator dan berhasil menganyam alur diskusi secara lincah, mendalam, namun tetap membumi.
Politik sebagai Ruang Martabat Manusia
Dalam pemaparannya, Prof. Robet menghidupkan kembali gagasan republikanisme dengan cara yang renyah, filosofis, namun tetap relevan untuk konteks Indonesia hari ini. Ia menekankan bahwa:
“Manusia yang mulia adalah manusia yang berpartisipasi dalam politik. Politik dalam republikanisme adalah arena dignitas—bukan ajang transaksi.”
Dengan semangat Civic Humanism, beliau menjelaskan bagaimana politik harus dipisahkan dari dominasi ekonomi, dan bagaimana republik hanya mungkin tumbuh jika warganya aktif menjadi penjaga moral publik.
Prof. Robet melukiskan perjalanan panjang republikanisme melalui Aristoteles, Cicero, Machiavelli, Rousseau, hingga Locke—membentangkan peta pemikiran dari fondasi moral kuno hingga modernitas yang menekankan kebebasan.
Di tengah paparan tersebut, beliau menyampaikan peringatan penting yang membuat ruangan seketika hening:
“Demokrasi tanpa cita-cita republikanisme akan mudah merosot menjadi oligarki, dan pada akhirnya membusuk karena korupsi.”
Namun beliau juga menghadirkan nuansa optimis. Merujuk pada pemikiran klasik yang ekstrem, ia berkata:
“Jika ingin melakukan perbaikan besar, mintalah untuk dilahirkan di negara yang paling korup—karena di dalam kehancuran itulah kesempatan moral terbesar lahir.”
Pandangan itu beresonansi dengan semangat para pendiri bangsa yang memilih bentuk negara Republik sebagai simbol bahwa Indonesia adalah milik seluruh rakyat, bukan milik segelintir elite.
Moderasi ala Rikatama: Menjembatani Filsafat dan Praktik Peradilan
Peran Rikatama Budiyantiye sebagai moderator tidak sekadar mengatur jalannya acara, tetapi turut memperkaya pembelajaran. Dengan gaya bertanya yang terarah, reflektif, dan penuh relevansi praktik, ia membantu peserta menghubungkan gagasan besar republikanisme dengan peran Hakim dalam keseharian.
Rikatama menegaskan bahwa filsafat bukan langit yang jauh di atas kepala Hakim.
Filsafat justru adalah kompas yang membimbing:
- bagaimana Hakim menimbang keadilan,
- bagaimana Hakim memahami manusia dalam perkara,
- dan bagaimana Hakim menjaga martabat peradilan melalui integritas dan nurani.
Kehadiran moderator yang komunikatif ini menjadikan alur diskusi lebih hidup, mengalir, dan mudah dicerna tanpa mengurangi kedalaman intelektual.
Republikanisme untuk Indonesia Hari Ini
Prof. Robet merangkum urgensi republikanisme bagi Indonesia dalam empat poin yang kembali ditegaskan oleh moderator untuk memperjelas esensinya:
- Mengembalikan politik sebagai arena kemuliaan manusia (Civic Humanism).
- Membangun sistem yang menghalangi kekuasaan sewenang-wenang di semua level.
- Menjadikan kritik sebagai ekspresi kewargaan yang sehat.
- Mendorong partisipasi publik dalam berbagai asosiasi sosial.
Energi Baru bagi Masa Depan Peradilan
Diskusi yang berlangsung hampir tak terasa waktu. Pertanyaan-pertanyaan peserta dinilai oleh narasumber sebagai “sangat berkualitas dan penuh kegelisahan intelektual”. Moderator pun berkali-kali harus menahan antusiasme peserta karena waktu yang terbatas.
Sesi ditutup dengan suasana yang hangat dan penuh semangat—layaknya embun pagi yang menandai hari yang lebih cerah. Para peserta pulang membawa perspektif baru, keberanian baru, dan optimisme baru untuk menghadirkan peradilan yang lebih manusiawi, lebih bijaksana, dan lebih berpihak pada martabat manusia.
“Selamat datang, Generasi Muda Peradilan Indonesia yang Humanis.”
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI


