Bogor, 10 November 2025 – Matahari pagi yang cerah menyinari Lapangan Upacara Badan Strajak Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI di Megamendung, Bogor, seakan turut memuliakan sebuah pagi yang bersejarah. Pada pukul 08.00 WIB yang tepat, di hari Senin yang tenang itu, denyut nadi bangsa sejenak diselaraskan oleh irama langkah tegap dan hormat, dalam sebuah prosesi sakral: Upacara Peringatan Hari Pahlawan 2025.
Di bawah bendera Merah Putih yang sudah berkibar, Peserta Upacara berbaris dari unsur Pejabat Struktural, Hakim, TNI, PNS, dan PPPK telah bersiap dengan khidmat. Pakaian seragam Korpri, PSL, dan PDU I terlihat rapi, mencerminkan keseriusan menghormati sebuah warisan yang tak ternilai. Suara Komandan Upacara, Mayor Laut Junaidi, memecah kesunyian, memimpin jalannya upacara dengan presisi dan wibawa.
Filsafat kesadaran kolektif hadir dalam setiap gerak. Ini bukan sekadar rutinitas protokoler, melainkan sebuah teatrikal publik di mana setiap peserta, sejenak, melebur menjadi satu entitas: Bangsa Indonesia yang merdeka, berdiri di atas pundak para pendahulunya.
Puncak dari kesadaran itu tiba pada pukul 08.15 WIB. Saat bunyi sirine melengking memekakkan kesunyian, seluruh lapangan—dipimpin oleh Inspektur Upacara, Andi Akram, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan—terjun ke dalam 60 detik hening yang paling bermakna. Dalam keheningan itu, waktu seolah merapat. Jiwa-jiwa yang hadir diajak berdialog dengan para pahlawan yang gugur. Apa arti pengorbanan mereka di tengah hiruk-pikuk zaman now? Di sinilah upacara berubah dari seremoni menjadi ruang refleksi publik.
Hening cipta bukan sekadar diam. Ia adalah ruang kosong yang kita ciptakan agar suara para pahlawan dari masa lalu dapat bergema di hati kita di masa kini, terasa begitu nyata dalam diam yang bersahaja.
Prosesi kemudian berlanjut dengan pembacaan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, diikuti pesan-pesan pahlawan yang dibacakan. Setiap kata yang dibacakan adalah jembatan yang menghubungkan semangat 1945 dengan tantangan 2025.
Amanat Menteri Sosial RI, yang dibacakan oleh Inspektur Upacara, menyentuh relung terdalam. Ia bukan sekadar pidato, melainkan narasi publik yang mengajak setiap insan untuk merenung.
“Para Pahlawan mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak jatuh dari langit,” bunyi salah satu petikannya, mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah buah dari “kesabaran, keberanian, kejujuran, kebersamaan, dan kejiwaan.” Dalam konteks kekinian, pesan ini menjadi relevan: perjuangan kini berganti bentuk, dari bambu runcing menjadi ketajaman pikiran, dari medan tempur menjadi meja kerja dan ruang kelas. Namun, esensinya tetap sama: mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Upacara ditutup dengan laporan komandan dan penghormatan terakhir kepada Inspektur Upacara. Prosesi selesai pukul 09.00 WIB, namun maknanya baru saja ditabur.




Di bawah langit Bogor yang masih cerah, para peserta upacara bubar. Mereka kembali ke tugas masing-masing, membawa serta sebuah pertanyaan filosofis yang menggantung: Sudah sejauh mana kita, sebagai generasi penerus, menjadikan setiap langkah kita sebagai bagian dari “pengabdian” yang tulus, sebagaimana dicontohkan para pahlawan?
Upacara ini bukanlah titik akhir. Ia adalah pengingat publik bahwa menjadi pahlawan bukanlah soal gelar, melainkan tentang seberapa besar dampak yang kita tinggalkan untuk negeri. Seperti gaung dari amanat Menteri Sosial yang terus bergema: “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.”
Hari Pahlawan 2025 mungkin telah usai, tapi semangatnya baru saja dinyalakan kembali. Dan tugas kitalah untuk menjaganya agar tak pernah padam.
Kontributor: Hen-Set.


