Etika Publik, Integritas Hakim, dan Fair Trial: Fondasi Moral dalam Penegakan Keadilan
Dalam menegakan keadilan ada 3 Dimensi Etika Publik yang harus diketahui, yaitu Tujuan, Modalitas (Sarana, Fasilitas, Aturan, Sistem (Soft dan Hard Instrument)) dan Tindakan. Bila seorang pegawai sudah diberi peringatan dan diberikan hukuman tapi masih melakukan pelanggaran, pasti ada sesuatu yang mendorong dia untuk mekakukan tidakan tersebut. Pimpinan sebagai manajer wajib paham dengan hal ini, umumnya masalah tersebut terletak pada aspek modalitas.
Hukum tetap sebagai sistem yang bersifat normatif namun bisa dipengaruhi oleh penguasa atau siapa saja. Sesuai dengan teori kekuasaan dan teori negara, negara adalah organisasi kewibawaan atau kekuasaan, jelas negara mampu mempengaruhi sistem tersebut sesuai kepentingan. Namun tidak boleh dilupakan di dalam hukum itu ada etika, etika ini tidak bisa diubah dan dipengaruhi karna bersifat ajeg sebagai nilai. Nilai adalah suatu yang baik yang harus kita laksanakan dan yang buruk harus kita hindari, setiap insan manusia, setiap hati nurani pasti ada nilai semua untuk membawa kebaikan.
Manyadari hal tersebut, hakim harus memiliki 5 jenis Akuntabilitas, yaitu:
- Akuntabilitas Hukum
Hakim terikat oleh peraturan perundang undangan dan kode etik hakim yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, putusan hakim dapat diuji melalui upaya hukum yang ada, hakim dapat dikenai sangsi hukum bila terbukti melakukan pelanggaran dari paling ringan sampai terberat (pidana).
- Akuntabilitas Etis dan Profesional
Hakim wajib mematuhi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), pelanggaran kode etik dapat menimbulkan teguran, skorsing sampai pemberhentian.
- Akuntabilitas Kenegaraan
Mahkamah Agung bertanggung jawab atas pengawasan terhadap hakim yang berada dilingkungan peradilan yang dibawahnya. Komisi Yudisial berwenang mengawasi perilaku hakim, menerima laporan masyarakat, dan merekomendasikan sanksi bagi hakim yang melanggar etika.
- Akuntabilitas Publik
Putusan pengadilan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik kecuali kasus tertentu seperti pekara anak. Masyarakat dapat mengajukan pengaduan kepada Komisi Yudisial atau lembaga lain jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang oleh hakim. Media dan Organisasi Sipil juga berperan dalam mengawasi independensi dan intregritas hakim.
- Akuntabilitas Administratif dan Keuangan
Hakim wajib mempertanggung jawabkan atas penggunaan anggaran dan sumber daya yang di alokasikan oleh negara. BPKP dapat mengaudit keuangan lembaga peradilan untuk mencegah penyalahgunaan dana publik.
Dalam mewujudkan putusan yang adil, hakim sudah pasti berawal dari aliran legalitas atau positifisme hukum, namun ketika memberikan putusan selain berpegang teguh pada etika juga tidak boleh dilupakan prinsip Epikeia, yaitu suatu rasa yang pantas dan juga patut sehingga putusan bisa adil.
Hakim sebagai sang pengadil selain dituntut untuk selalu berpegang pada hukum juga harus berpegang pada budaya, artinya berpegang pada kebaikan (budi yang baik). Budaya ini memiliki 3 lapisan yang wajib dipahami oleh hakim, pertama lapisan artefak, kedua nilai-nilai dan yang ketiga adalah asumsi yang mendasar. Meskipun lapisan budaya ini sudah bagus dan kita setiap insan manusia sudah memilikinya, namun kenapa masih terjadi pelanggaran? Jawabannya, pelanggaran itu bisa terjadi tergantung dengan asumsi yang mendasari pelaku tersebut, artinya terkait dengan kepribadian si pelaku.
Selain itu, hakim atau aparatur negara juga harus berpegang teguh kepada etika. Persoalan etika setidaknya menjawab 4 hal, yaitu:
- Tanggung jawab moral
- Batasan dari tanggung jawab kita
- Keuntungan dalam arti yang fairness
- Nilai-nilai apa yang telah kita perjuangkan
Jadi berdasarkan etika ini kita sekaligus bisa menjawab tantangan pemikiran dan situasi post truth, yaitu pengadilan sudah jujur, sudah berintegritas namun masih dianggap melanggar, direspon negatif oleh masyarakat (tertentu). Namun demikian kita tidak perlu khawatir apalagi gentar, yang terpenting dalam menjalankan tugas/memutus perkara kita sudah berpegang teguh pada nilai-nilai yang positif baik tersebut.
Berkaitan dengan budaya, etika, epikeia yaitu suatu rasa yang pantas seperti tersebut diatas, agar hakim dapat melaksankan tugas sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Pasal 24, 25 Jo. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib melaksanakan peradilan yang adil atau fair trial, yaitu peradilan yang dilakukan dengan imparsial, profesional, tidak memihak, mendengarkan kedua belah pihak dan berpegang teguh pada kebenaran, yang endingnya pasti adil.
Dalam menerapkan fair trial tersebut, dalam menjatuhkan putusan mengenai berat ringannya hukuman tetap tergantung pada berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggar, karna hukum tidak bisa di samaratakan (gebyah uyah). Hakim harus selalu ingat, hukum itu bersifat abstrakto yang bersifat menyamaratakan, sementara perkara bersifat kasuistis, artinya ada hal hal yang khusus dalam suatu perkara yang wajib dipertimbangkan oleh hakim sesuai kasus tersebut, sehingga hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran. Jadi putusan yang dijatuhkan selalu mempertimbangkan hukum, etika termasuk budaya, rasa yang pantas, patut dan adil.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Suara BSDK, Follow Channel WhatsApp: SUARABSDKMARI


